Selama ini, kegilaan pada persoalan perut yang tidak terpenuhi. Sedangkan, musik yang diiringi oleh jenis obat penenang sangat membantu membunuh pikiran; suatu jiwa yang rapuh di hadapan realitas “kerumunan” massa penonton.
Wahai, Descartes! “Anda jangan begitu dong.” “Anda benar-benar berbeda dengan tubuh sebagai gejala-gejala yang jelas dan nyata dari indera atau pengalaman.” Dibandingkan dengan lidah, maka warna, perut, dan bau adalah alasan langsung menjadikan manusia peka. Tetapi, ia juga diidentifikasi menjadi manipulasi semakin mendekat pada retakan-retakan.
Adakah jenis tirani, saat despot atau segala bentuk kezaliman di zaman yang telah berubah? Betapa anehnya tema ini! “Anda harus patuh, patuh pada bukan dirimu, dan selama kantuk. Jika Anda mengatakan ‘tidak’ atau ‘menolak’ berarti tanda akhir hukumannya dan kehilangan nilai mulia.”
Mungkin Anda berpikir bahwa mekanisme-mekanisme pengendalian hasrat bisa mengiringi kegilaan, yang berakhir pada pembatasan-pembatasan ekspresi: mulia, agung, pusat, tinggi, dan di atas.
Pada titik terjauh, pikiran tanpa kegilaan akan berubah menjadi makhluk lemah. Mereka digantikan dengan pikiran yang sangat cermat melihat kondisi, jika tidak dikatakan gegabah.
Kegilaan menolak frasa: “Aku sadar, Aku tidak tahu apa-apa,” “Aku tidak dirantai dengan jiwa dan tubuh.” Dunia yang kelihatan dari dalam adalah dunia yang penuh hiruk-pikuk yang digambarkan secara gila-gilaan. Mengetahui tanda kegilaan di tengah kerawanan.
Lemparkanlah rasionalisasi manusia!
Bukankah petuah-petuah lama mengatakan, bahwa kejahatan dan penindasan berawal dari kegilaan yang menyimpang? Masihkah terjadi, bahwa setiap penyimpangan ibarat orang kentuk: berbau tetapi tidak kelihatan di sekeliling tubuh kita?
Bayangkan, silogisme menuntun kita untuk menggunakan logika formal meskipun itu telah lama dikembangkan oleh Aristoteles atau dialektika Plato sebagai pemikiran klasik.
Misalnya, seorang menyebutkan dirinya berinisial A adalah manusia berakal (S), jadi A bebas (P); semua manusia cinta kebenaran, si A adalah manusia, jadi dia cinta kebenaran; atau sebaliknya semua manusia itu baik, si A adalah ‘Tuan’, jadi si A itu jahat, si ‘Tuan’ adalah jahat, jadi si ‘Budak’ adalah baik. Kesimpulan pertama tampak baik atau positif, tetapi kedua merupakan kesimpulan berasal dari pemahaman negatif. Keseluruhan dari negatif merupakan dasar dari nilai hakiki dan sisi positif merupakan bayangan atau pemantulan dari keseluruhan nilai yang telah mengalami penegasian. Sesungguhnya, negasi yang kritis adalah sifat dan nilai pembalikan dirinya.
Dalam pemikiran dialektika (pengekor Plato), sisi kegilaan mesti lebih memahami sesuatu dan menari-nari di dalam pikirannya: ‘Wujud’; ‘Non Wujud’; ‘Pergerakan’; ‘Tunggal dan Pluralitas’; ‘Pertentangan’; dan ‘Identitas’. Kita mengambil sedikit contoh logika klasik dari pemikiran dialektika yang dapat dirumuskan dalam bentuk proposisi: “x adalah y” yang dianggapnya sebagai proposisi dialektika sekaligus bibit-bibit lemah dari ide.