Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Para Penghukum Tiruan

30 Agustus 2024   11:19 Diperbarui: 8 November 2024   12:33 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ermansyah R. Hindi - Dokpri

Kuasa yang melampaui batas telah menghasilkan kutukan, caci maki hingga perlawanan. Paling terakhir disebut ini menurunkan tanda ekspresif berupa aksi teatrikal. Nyatanya, kuasa diteatrikalisasi dalam tiruan tiang gantungan.

Di sana, ada wajah seorang lelaki mirip boneka terlalu familiar. Ia dibungkus dengan kain putih, bertuliskan kurang lebih "Tiran Mati Di Sini." 

Di sampingnya ada seorang lelaki mirip algojo siap-siap menjalankan tugasnya untuk mengeksekusi mati seorang lelaki.

Memang 'Jogja memanggil' diwarnai dengan aksi teatrikal di depan Istana Kepresiden, Gedung Agung Yogyakarta di beberapa hari yang lalu. Realitas politik berbicara demikian saat puncak kekecewaan massa tidak pernah terjadi tanpa alasan, sekalipun jarang diiringi alasan yang jitu. Mengapa? Oleh ahli, massa yang marah biasanya hanya mampu melahap energi, tetapi tidak mampu memancarkan energi. 

Lha, aksi teatrikal itu dilakukan oleh sekelompok orang kreatif. Di dalamnya punya seni perlawanan.

Apa ciri-ciri penghukumannya? Cirinya ditandai dengan cara menghukum. Mereka menghukum secara teatrikal sesuai cara 'Jogja Memanggil'. Seseorang mencoba untuk menafsirkan tentang cara menghukum dengan tiruan tiang gantungan. 

Takut, bergidik dibuatnya! Cara menghukumnya dari hasil adopsi tiang gantungan. Penghukuman tiruan dari revolusi sosial atau perlawanan massa atas kuasa tiran.

Saya pun bertanya-tanya. Mengapa massa bisa membuka kedok kuasa dengan menghukum sesuai cara memenggal seseorang yang terhukum? Mungkinkah kemarahan masyarakat sipil menguburkan pikiran rasional saat bertindak sebagai penghukum sekaligus penonton hukuman tiruan (replika) berupa alat Guillotine, sebuah alat pemancung sampai mati tahanan, dari zaman revolusi Perancis? 

Apa hubungannya dengan akal-akalan permainan untuk mengubah putusan Mahkamah Konstitusi dan keculasan?

Belum berhenti pada satu pertanyaan, muncul pertanyaan lainnya. Tidak mustahilkah jenis penghukuman dari tiruan tiang pancung ke asli tiang pancung bagi tahanan dalam hukum Indonesia, yang ditujukan pula kepada rezim penguasa karena telah berbuat kerusakan sistem kenegaraan? Apakah ini bagian dari jenis penghukuman jalanan? Dari sini, tiba-tiba kepala kita menunduk seraya hening cipta.

Sebaliknya, Anda sebagai bagian dari massa yang protes atas kondisi negara yang carut-marut harus mempertontonkan hukuman pancung dengan pakaian rompi oranye dan tangan terborgol seperti lazimnya tahanan. Sebuah tiruan tubuh dengan wajah sosok lelaki nampak berada di tiang gantungan. 

Wajah lelaki tidak pucat sebagai gambar tiruan persis alat penghukuman tiruan yang terbuat dari tiang kayu dan tali yang sengaja diikatkan pada leher lelaki yang paling tersohor seantero negeri.

Bahwa ada perubahan mendadak yang Anda memperlihatkan sebuah gambar tiruan presiden Jokowi di ujung kuasa misalnya, harus dibawa dengan mobil tahanan dan dijebloskan dalam penjara sebelum mengakhiri hidupnya di tiang pancungan? 

Anda sebagai massa protes menyaksikan sang algojo atau eksekutor menggantung tubuh tiruan Jokowi. Saya sendiri dari jauh, melalui media online sudah ngeri melihatnya. Saya seakan menyaksikan proses penghukuman yang tidak lazim diekspresikan secara bebas oleh para penghukum tiruan. 

Gambar presiden berwajah Jokowi ada dalam penghukuman tiruan, di tiang pancungan mirip penjahat kelas kakap.

Begitulah yang dipertontonkan oleh para penghukum tiruan di antara  aksi massa protes yang melampaui seni teatrikal. 

Yang menonton hukuman secara terbuka melalui aksi teatrikal membuktikan bagaimana kemampuan masyarakat untuk menghukum rezim penguasa yang dianggap telah membegal konstitusi demi kepentingan keluarga hingga mencoba untuk melanggengkan kuasa.

Tetapi, semuanya sudah tercium gelagat aneh dari akumulasi permainan politik. Tak ayal lagi, hukum menjadi alat politik. 

Dalam masa yang hampir bersamaan, akumulasi kekecewaan berubah menjadi kemarahan sosial akibatnya jumawa dan menjurus pada abainya penyelenggaraan negara untuk mengindahkan konstitusi.

Apakah memang negara dengan seperangkat hukum diciptakan untuk dilanggar? Saya semakin ragu akan aksi unjuk rasa dari mahasiswa, guru besar hingga elemen masyarakat sipil lainnya yang menolak permainan politik anggota DPR RI untuk menganulir putusan Mahkamah Konstitusi? 

Jangan sampai negeri kita semakin parah? Saya tidak bermaksud bahwa konstitusi yang ditabrak dan dikangkangi oleh rezim penguasa menjadi pembenaran atas aksi teaktrikal dalam bentuk tontonan penghukuman pancung yang meniru tiruan dari luar justeru bukan murni buatan hukum kita.

Ajaibnya, di sana sekadar ada tanda ekspresif dari  pendemo untuk menggelar aksi teatrikal dengan jenis penghukuman tiruan di tiang gantungan. 

Selain itu, tidak ada rangkaian seperti tahanan dengan tangan terborgol hingga mata tertutup saat menghadapi tiang pancungan dalam aksi tatrikal yang sesungguhnya sebagai ekspresi perlawanan atas kuasa yang telanjang dan melanggar konstitusi. Saya kira, aksi teaktrikal sebagai upaya melepaskan "uneg-uneg" yang sudah lama bercokol di kepala. 

Sebagian yang lain juga melepaskan rasa dongkol atas kondisi negeri yang kian kesini bertambah mengkhawatirkan di dunia online. Daripada acuh tak acuh, lebih baik netizen membuang curhatan di jagat medsos. 

Lalu, lepaskan dan lepaskanlah secara kreatif!

Kata lain, pilihan-pilihan ekspresi diri secara individual dan kolektif sudah cukup banyak untuk bisa disalurkan. Di samping aksi unjuk rasa di jalan, juga aksi teatrikal yang tidak mengarahkan terlalu banyak massa protes di jalan. Ini saja dengan jalan aksi teatrikal mengandung seni perjuangan untuk melawan lupa atau membongkar topeng kuasa. Saya masih teringat suatu ungkapan yang mengatakan bahwa lebih berbahaya orang yang diam dan senyap daripada yang ceriwis dan banyak ocehan. Saya juga tidak mengatakan bersuara kritis itu tidak penting. 

Coba kita lihat! Orang yang diam atau tidak banyak bicara sekali waktu beraksi, maka kesannya begitu menghentakkan.

Sudah tentu, saya melihat aparat hukum tidak akan tinggal diam untuk mengontrol aksi teatrikal yang dipertontonkan penghukuman pancung. 

Aparat negara akan merekam kata-kata: penggal, penggal, gantung, gantung Jokowi!" Teriakan massa adalah teriakan murni dari jiwa tanpa permainan.

Suara kritis mereka tetap suara yang mengajak untuk mengembalikan kuasa di atas konstitusi. Saya dan Anda sadar, bahwa mereka bersuara tanpa kepentingan  sesaat, kecuali harapan masa depan bangsa. 

Mereka mencintai sebagaimana penyelenggara negara ingin keadilan dan kesejahteraan dengan cara meninggalkan hal-hal berlawanan tujuan kita membangun negara dan bangsa. Saya kira, sampai di sini kita semua paham. Atau sebagian saja yang paham tentang kondisi negeri kita. 

Hanya Anda yang lebih tahu apa gambaran ini dan itu di kepala Anda sendiri?

***

"Anda acak-acak negara ini dengan ambisi buta politik." "Anda begal konstitusi demi dinasti Anda sendiri." "Bagi-bagilah kuasa Anda kepada yang tidak terlalu bernafsu dan yang menolak tahta." 

Kira-kira begitu kalimat yang saya bayangkan ketika terjadi aksi teaktrikal di depan Istana Kepresiden Gedung Agung Yogyakarta, Selasa, 27 Agustus 2024.

Karena terkondisikan, maka isi kepala kita sebenarnya yang teracak-acak, bukan dari luar. Cuma selama ini kita seakan "tersihir" oleh permainan politik, sehingga pihak luar atau penguasa dianggap sebagai satu-satunya biang kerok amburadulnya negara.

Padahal jika kita akui bahwa sumber masalah dari dalam diri kita sendiri. Kegaduhan dan kesemrautan tatanan negara juga berkat ulah sebagian dari warga. Coba kita koreksi diri masing-masing!

Jika muncul masalah, sedikit-sedikit tuduhan diarahkan pada oknum tertentu. Jadilah kita seperti pihak yang gampang membabi-buta, nyinyir, galau, dan mudah menyalahkan orang tanpa mengecek apa duduk perkaranya. Faktanya, tidak jarang orang begitu enteng berprasangka dan cepat menarik kesimpulan secara tergesa-gesa.

Ketika saya membaca ulang sebuah analisis mengenai mekanisme-mekanisme kuasa cenderung tidak dibangun untuk menunjukkan kuasa sebagai sesuatu yang anonim. 

Rupanya, penghukuman tiruan memiliki mekanisme tersendiri tanpa pembatasan kuasa.

Begitu pula aksi teatrikal dengan tiruan tiang gantungan sebagai ekspresi perlawanan massa punya selera anonim. Saya teringat dengan wacana politik tertentu kerapkali memainkan bahasa relasi-relasi kuasa. Saya menyontek kosa kata "perlawanan" sebagai bagian dari relasi kuasa yang didaur ulang melalui aksi teatrikal adalah kata yang masih dipakai. Termasuk jenis penghukuman dari aksi teatrikal telah memanggungkan tiruan tiang gantungan. Sebuah mainan tiang gantungan, tetapi serius masalahnya.

Meskipun ingin menguasai semua institusi negara, pada akhirnya, penguasa  yang menyeleweng dari konstitusi akan dihakimi, dikecam, dan diklasifikasi sebagai penghancur sistem kenegaraan. Penghukuman tiruan menurut para pengunjuk rasa tidak pernah lalai dalam ingatannya untuk mengorganisir kemampuan seni teatrikalnya. 

Mereka mencatat, mengidentifikasi, dan menarik kesimpulan menurut strategi perlawanannya sendiri melalui penghukumuan tiruan tiang pancungan bagi penghancur tatanan kehidupan bernegara dan berbangsa. Mereka tidak mudah diketahui dengan seabrek prestasi pembangunan yang dihasilkan oleh kuasa negara.

Sekali kebohongan menyertai kuasa negara yang berlindung di balik prestasi pembangunan akan dicatat sebagai ingatan kolektif. Apalagi kebohongan berulang kali terjadi di depan publik. Inilah ketidaksadaran kuasa, yang menganggap apa yang  diucapkan dan dilakukan penguasa sudah benar, dimana masyarakat harus patuh.

Dapat dikatakan di sini, mekanisme penghukuman sosial lebih luas daripada arti hukuman dan pelanggaran. Sebagaimana kuasa, penghukuman terpusat pada tubuh seiring penghukuman tiruan berupa tiang gantungan bagi penguasa mementingkan keluarga dan kroninya, yang melibatkan tubuh atau wajah yang dipertontonkan ke khalayak ramai.

Tiang pancung mainan sebagai pilihan penghukuman sekaligus pemusatan ekspresi kekecewaan dan perlawanan sipil atas penguasa yang melanggar konstitusi. Ada semacam bunyi sempritan: "Ini kartu merah buat penguasa yang kelewatan!" Di situlah pilihan penghukuman tiruan tiang gantungan dipersembahkan di hadapan publik.

Kuasa diungkapkan dirinya dalam bentuk titik lemah di bawah tiang gantungan tiruan. Wajah dan seluruh anggota tubuh penguasa akan disaksikan sebagai sasaran penghukuman tiruan.

Ada pendapat bahwa relasi kuasa sama sekali tidak punya "celah" jaringan yang luas dengan penjara dan larangan sebagaimana penghukuman tiruan melalui tiang gantungan yang juga tiruan bagi pelanggar konstitusi. 

"Wah, acara nongkrong ramai-ramai terancam bubar nih!"

Ketika saya menyebut penghukuman tubuh, saya tertegun karena penghukuman ini dibentuk oleh kuasa bisa juga dilakukan oleh para pelaku aksi teatrikal di depan Istana Kepresiden Gedung Agung Yogyakarta, di pagi hari.

Padahal, tiang gantungan tiruan tidak punya hubungan langsung dengan para narapidana atau penjahat. Saya kira, psikolog akan bekerja di sekitar efek dari aksi teatrikal dalam tiang gantungan tiruan. 

Ini memang 'tiang gantungan tiruan'.

Mereka mengharapkan muncul efek jera atau efek pengendalian diri melalui tiang gantungan tiruan.

Oh, begitu ya bung! "Apa lu pengen coba tiang gantungan yang asli?"

Secara manusiawi, ketika Anda mengatakan kepada seseorang yang terhukum bahwa tiang gantungan tiruan yang menampilkan wajah atau tubuh terhukum lahir dari aksi teatrikal sudah bisa dipastikan akan tersinggung. 

Paling tidak, orang yang berada dalam gambar di bawah tiang gantungan tiruan seperti menyembunyikan ekspresi wajah yang sesungguhnya. 

Apakah itu marah, geregetan atau santai saat wajahnya ditampilkan di bawah tiang gantungan tiruan?  

Semuanya kembali pada yang terhukum di luar aksi teatrikal. Maksudnya? Tiang gantungan bukan tiruan, tetapi asli itu sudah lain ceritanya.

Tanpa terduga sebelumnya, saya sempat duduk setelah rebahan tipis-tipis seraya menyimak berita di medsos, maka saya leluasa memandangi aksi teatrikal yang menggelar tiang gantungan tiruan disertai gambar Presiden Jokowi. Sekarang, saya benar-benar tidak mengerti tentang aksi teatrikal. 

Nanti setelah saya merenungkan peristiwa yang melatarbelakangi sehingga muncul aksi teatrikal penghukuman tiruan membuat saya tersentak dari lamunan kosong. 

"Ah, sengeri itukah cara penghukumannya?"

Akhirnya, tidak ketinggalan suatu episode pemghukuman simbolik masih menyisakan siapa gerangan seorang lelaki. Seseorang mencoba untuk menafsirkan cara menghukum mati dengan tiruan tiang gantungan adalah saya. 

Eheemm.

Sebuah episode kuasa yang melahirkan aksi teaktrikal mempertontonkan tubuh nomor satu di republik ini. Saya dan Anda menanti dari satu tiruan ke penghukuman tiruan lainnya. 

Masihkah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun