"Anda acak-acak negara ini dengan ambisi buta politik." "Anda begal konstitusi demi dinasti Anda sendiri." "Bagi-bagilah kuasa Anda kepada yang tidak terlalu bernafsu dan yang menolak tahta."Â
Kira-kira begitu kalimat yang saya bayangkan ketika terjadi aksi teaktrikal di depan Istana Kepresiden Gedung Agung Yogyakarta, Selasa, 27 Agustus 2024.
Karena terkondisikan, maka isi kepala kita sebenarnya yang teracak-acak, bukan dari luar. Cuma selama ini kita seakan "tersihir" oleh permainan politik, sehingga pihak luar atau penguasa dianggap sebagai satu-satunya biang kerok amburadulnya negara.
Padahal jika kita akui bahwa sumber masalah dari dalam diri kita sendiri. Kegaduhan dan kesemrautan tatanan negara juga berkat ulah sebagian dari warga. Coba kita koreksi diri masing-masing!
Jika muncul masalah, sedikit-sedikit tuduhan diarahkan pada oknum tertentu. Jadilah kita seperti pihak yang gampang membabi-buta, nyinyir, galau, dan mudah menyalahkan orang tanpa mengecek apa duduk perkaranya. Faktanya, tidak jarang orang begitu enteng berprasangka dan cepat menarik kesimpulan secara tergesa-gesa.
Ketika saya membaca ulang sebuah analisis mengenai mekanisme-mekanisme kuasa cenderung tidak dibangun untuk menunjukkan kuasa sebagai sesuatu yang anonim.Â
Rupanya, penghukuman tiruan memiliki mekanisme tersendiri tanpa pembatasan kuasa.
Begitu pula aksi teatrikal dengan tiruan tiang gantungan sebagai ekspresi perlawanan massa punya selera anonim. Saya teringat dengan wacana politik tertentu kerapkali memainkan bahasa relasi-relasi kuasa. Saya menyontek kosa kata "perlawanan" sebagai bagian dari relasi kuasa yang didaur ulang melalui aksi teatrikal adalah kata yang masih dipakai. Termasuk jenis penghukuman dari aksi teatrikal telah memanggungkan tiruan tiang gantungan. Sebuah mainan tiang gantungan, tetapi serius masalahnya.
Meskipun ingin menguasai semua institusi negara, pada akhirnya, penguasa  yang menyeleweng dari konstitusi akan dihakimi, dikecam, dan diklasifikasi sebagai penghancur sistem kenegaraan. Penghukuman tiruan menurut para pengunjuk rasa tidak pernah lalai dalam ingatannya untuk mengorganisir kemampuan seni teatrikalnya.Â
Mereka mencatat, mengidentifikasi, dan menarik kesimpulan menurut strategi perlawanannya sendiri melalui penghukumuan tiruan tiang pancungan bagi penghancur tatanan kehidupan bernegara dan berbangsa. Mereka tidak mudah diketahui dengan seabrek prestasi pembangunan yang dihasilkan oleh kuasa negara.
Sekali kebohongan menyertai kuasa negara yang berlindung di balik prestasi pembangunan akan dicatat sebagai ingatan kolektif. Apalagi kebohongan berulang kali terjadi di depan publik. Inilah ketidaksadaran kuasa, yang menganggap apa yang  diucapkan dan dilakukan penguasa sudah benar, dimana masyarakat harus patuh.