Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bara di Tengah Penderitaan

10 Agustus 2024   12:05 Diperbarui: 21 Agustus 2024   09:19 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ermansyah R. Hindi - Dokpri

Di siang hari, udara tidak terasa panas. Mulanya dari mana, sehingga saya memanfaatkan masa jeda setelah rutinitas kerja kantoran. Rehat sejenak itulah terjadi di hari Jumat. Syukurlah, usai Jumatan, saya bergegas balik untuk beristerahat di rumah. 

Rupanya, saya diserang oleh rasa kantuk berat. Mata saya bak lima watt. Karena kantuk menyerang, saya ingin rebahan dulu di rumah. Diam-diam saya merahi ponsel untuk mengintip apa gerangan postingan, status hingga berita hangat muncul di media sosial.

Di zaman ini, melacak berita hangat secara pelan-pelan di medsos tidak begitu ribet. Cuma butuh sedikit suasana santai. 

Kata lain, kita butuh hawa adem saat memilih berita sesuai dengan selera.

Berkat kesempatan terbatas, saya mencoba menyimak konten berita. Satu per satu saya mengecek berita di medsos Facebook. Sekali-sekali mencomot berita mengharukan di medsos sebangsa Facebook tidak apa-apa. Malah berita yang dipilih kadangkala lebih cepat viral. Maklumlah, kita sudah tahu jika medsos arus utama tersebut masih bercokol di papan teratas di tanah air dari segi peminatnya.

Saya menggeledah berita, yang kira-kira seputar kisah getir melanda anak sekolahan. Setelah bolak-balik, saya dapat satu berita menarik. Satu pilihan berita tentang kisah sedih dari anak sekolahan yang lagi viral. Agar tidak berlama-lama, ini dia beritanya.

Hari ini saya langsung ingin memainkan jari-jemari ini di atas tuts-tuts telepon seluler pas sedang menyimak kisah sedih Elsa (15). Dia adalah siswi SMP Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.

Elsa merupakan salah satu anak bangsa yang kuat menghadapi derita, yang sudi berjalan kaki dengan jarak tempuh 3,4 Km, dari rumah ke sekolahnya. Elsa berjalan kaki dengan jarak jauh seakan melupakan penderitaan. 

Paling tidak, orang menilai Elsa yang hidup dalam penderitaan atau kesusahan menjadi kisah yang sulit terlupakan.

Bahwa setiap kali jari-jemari bermain di atas tuts-tuts ponsel, bayangan wajah Elsa, yang lugu hadir di kepala. Rasanya bara di dada tidak ikut terbakar di kepala Elsa dengan cara saya membisikkan ke telinganya sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Elsa cuma mampunya bangun pagi sekitar pukul 5.30 WITA untuk berangkat ke sekolah.

Sementara itu, ubi yang disiapkan oleh ibu sambungnya. Sedangkan ibu kandungnya bernama Jadut sebagai pasangan Umar, bapaknya. Saya benar-benar terharu ketika memandangi berita pedih Elsa. Saya terenyuh dibuatnya. 

Kenapa saya jadi melo di hari ini. Begitu gumanku sebelum merekam kisah sedih Elsa.

Ibu kandungnya tidak terdengar kabar lagi setelah menjadi pekerja migran Indonesia, di Brunai Darusalam. Ibu dan bapaknya sudah berpisah. 

Lalu, bapaknya Elsa menikah lagi. Selanjutnya, bagi Elsa, ubi itu sebagai pengganti jajanan, di sekolah. Hidupnya memang dalam kepedihan.

Ini bukan soal Elsa bahagia di atas penderitaan orang lain. Sumpah! Antara langit dan bumi, Elsa menikmati hidup apa adanya. Hidupnya tanpa basi-basi dan apa juga manfaatnya jika Elsa hidup dalam selubung misteri. Hidup dengan kisah sedihnya muncul secara telanjang. Kisahnya tidak ada yang ditutupi.

Kisah sedih Elsa bukan pula frasa "menumpuk bara api di atas kepalanya?" 

Frasa ini juga tidak ada kaitannya dengan penggunaan bahasa lokal, bahasa Sumbawa atau bahasa yang lain, misalnya. Elsa tidak dalam keadaan terbakar amarah tatkala ditempa kesusahan.

Di sela-sela belajar di sekolah, Elsa rupanya masih sempat menjual ubi sebagai bekal, yang seharusnya dia makan di sekolah. "Tapi saya jual agar bisa beli nasi di sekolah," "Saya harus giat belajar, agar bisa lulus nilai bagus," ujar Elsa. 

Dia rela berjalan kaki sejauh tiga kilometer lebih, bekal ubi, dan menuntut ilmu sampai dapat itulah menjadi tanda "bara" di dadanya tak terelakkan. "Bara" tidak lain daripada semangat atau tekad bulat, yang berapi-api dalam dada Elsa.

Obsesi Elsa untuk bersekolah dengan serba keterbatasan terutama biaya pendidikan dan transportasi menjadi kisah tersendiri lagi menantang. Bara di dada Elsa seturut dengan obsesinya. 

Satu kalimat, Elsa ingin merahi masa depan yang gemilang. Sekali melangkah, dia pantang menyerah.

Dalam kamus hidupnya, dia tidak boleh mundur ke belakang. Elsa ingin menggapai cita-citanya untuk melanjutkan sekolah sampai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sungguh tabah Elsa menghadapi lika-liku kehidupan yang begitu berat.

***

Namun, kisah Elsa bukan cuma bergumul dengan penderitaan atau kesusahan hidup yang mengharukan. 

Di sana, Elsa dengan mata berbinar-binar, di latar dinding bambu berwarna cet putih. Separuh rumahnya terbuat dari batu merah tanpa plesteran.

Matanya menatap jauh ke depan. Entah apa yang bergemuruh dalam benaknya. Mungkin, bara di dadanya mengatakan: "Aku harus bersekolah. Aku harus bersekolah walau jaraknya jauh untuk sampai ke sekolah. Aku bersekolah, sekalipun ayah dan ibu menanggung derita bersama."

Saking pilunya, maka keterbatasan hidup dan kesusahan yang Elsa alami akan menjadi cerita perjalanan hidup yang sangat bagus untuk kamu sampaikan kepada anak dan cucunya kelak. Kisah nyata dari Elsa mungkin turun-temurun setelah memasuki usia senja berubah menjadi kisah sukses.

Tentu saja, setiap orang memiliki jalan cerita hidup yang berbeda. Saya dan Anda punya cerita yang tidak terlupakan. 

Setiap orang pernah mengalami suka dan duka dalam mengarungi kehidupan. Orang besar dan suksesnya karena berangkat dari nol, dari hidup berawal bersimbah penderitaan. Orang hidup seperti sekarang lumayan lebih layak lantaran pernah berdarah-darah dan bersusah berat. Apa-apa yang dialami setiap orang akan menjadi suatu perubahan di waktu yang akan datang.

Diviralkan oleh medsos seputar kisah sedih Elsa ternyata disambut oleh para warganet. Seabrek komentar datang bertubi-tubi. 

Ada yang bersuara kritis atas nasib yang menimpa Elsa dan keluarganya. Singkatnya, kisah sedih Elsa "banjir" simpati dari warganet.

Pemberitaan kisah sedihnya menembus relung-relung hati yang paling dalam. Dia membuat kita amat terenyuh; kisah sedihnya bisa mengundang rasa iba yang menghentakkan sekaligus menampar kita. Betapa kita larut dalam kesibukan masing-masing. Sehingga tetangga dan sesama warga negara saja tidak sedikit "bermandikan" derita di antara kekayaan yang melimpah.

Sekarang, jangan takut malu-malu disorot oleh media, apalagi merasa susah sendiri. Yang penting viralnya bukan kisah sedih fiktif, karang-karangan apalagi berita hoaks.

Kamera warganet lewat medsos selalu beredar menyebarkan berita, membantu orang yang serba kekurangan maupun mereka yang terpinggirkan atau terzalimi oleh keadaan. 

Di era digital, mata ada di mana-mana, entah di pelosok desa hingga di gubuk derita.

Berkat viral berita sedih Elsa, rupanya pemerintah telah mendengar dan memerhatikan nasib pilu yang dialami oleh siswa kelas IX SMPN 2 Maronge, Kabupaten Sumbawa. Siapa saja termasuk pemerintah yang terbuka mata hatinya untuk menolong sesama. Pemerintah setempat tidak luput dari rasa iba yang mendalam karena kisah sedih Elsa. Perangkat daerah yang terkait gercep untuk membantu meringankan beban hidup Elsa dan keluarganya.

Pemerintah setempat blusukan dan tidak ada kata terlambat untuk melayani warganya yang miskin atau tidak mampu. 

Akhirnya, tidak disangka para guru dari sekolah dasar lain terpanggil jiwa untuk membantu Elsa demi kelancarannya untuk bersekolah. Dia dihadiahi dengan sebuah sepeda dan tabungan pendidikan dari uluran tangan guru-guru yang berhati mulia.

Air mata Elsa pun mengalir tak terbendung saat menerima bantuan yang sulit untuk membalas jasa dari para guru. Tidak hanya itu, atas prakarsa para guru, Elsa sebagai pihak yang tertolong melalui penggalangan dana dengan menyediakan rekening bank untuknya.

Sungguh senang hati Elsa karena dihadiahi sepeda dan tabungan pendidikan. Hanya sekitar 30 menit waktu tempuh Elsa dengan mengayuh sepeda ke sekolah.

Jenis bantuan lain berupa kasur dan perlengkapan sekolah untuk Elsa datang dari warga. Hal ini terjadi akibat kedalaman kisah sedih dan kualitas penghayatan atas kemanusiaan begitu tinggi. 

Sekecil apapun bantuan pada orang miskin, semuanya bernilai kemanusiaan yang luhur. Ia bisa menjadi penawar duka. Saat kondisi hidup yang memilukan dijalani dengan ikhlas membuat Elsa makin yakin rezeki akan datang dari mana saja.

Demikian pula Dinas Sosial Pemerintah Kabupaten Sumbawa telah menyalurkan bantuan kepada Elsa. Disebutkan bahwa Elsa dan keluarganya menerima bantuan Kartu Indonesia Pintar (KIP), Program Keluarga Harapan (PKH) hingga Banguan Langsung Tunai (BLT) desa dari pemerintah. Program Bantuan Sosial (Bansos) tersebut diharapkan bisa mengurangi beban hidup atau agar bisa menyambung keluarga Elsa.

Disarankan pula agar pemerintah membantu ayah Elsa sedang sakit batu ginjal melalui Kartu Indonesia Sehat (KIS). Kesehatan dan pendidikan justeru kebutuhan paling mendasar untuk menggapai hidup sejahtera.

Bayangkan, kepala keluarga yang sakit-sakitan dan ibu sekadar rumah tangga akan memengaruhi kondisi Elsa di masa mendatang. Untuk itulah diperlukan panggilan jiwa dan uluran tangan mulia dari berbagai pihak untuk membantu keluarga yang terhimpit hidupnya. 

Nyatanya, Elsa menjadi harapan keluarga. Dia bisa melanjutkan sekolah sampai ke jenjang pendidikan berikutnya.

***

Diakui, memang masih banyak Elsa-Elsa yang lain. Ironinya, oknum pejabat sibuk memperkaya diri. 

Mata hati mereka tumpul untuk melihat kesusahan rakyat.

Aneka ragam kondisi yang serupa dengan kisah sedih Elsa. Masih ada ratusan bahkan ribuan peserta didik yang berjalan kaki dengan menempuh jarak lebih 3,4 KM. Ada sampai 5 Km untuk sampai ke sekolah. Ayo angkat tangan! Siapa yang pernah berjalan kaki berkilo-kilo meter ke sekolah? 

Oh iya. Saya juga berpengalaman jalan kaki sejak duduk di bangku SMP. Hanya 2 Km jarak tempuh dari rumah ke sekolah. Setiap hari, kecuali Minggu.

Belum seberapa itu. Ada yang berjalan kaki 7 Km untuk sampai ke sekolah. Dia melewati jalan terjal, jurang, dan menanjak. 

Di awal tahun 2000-an, seseorang atau lebih berjalan kaki sekitar Km. Berangkatnya pukul 3.30 sampai pukul 7.00.

Nasib sesama, seseorang dulu waktu SMP juga begitu. Berjalan kaki ke sekolah, pergi dan pulang. Dia sering begitu karena tidak punya uang saku dan sarapan juga, yang penting ada nasi; itupun masak sendiri masih lagi menghidupi dua adik. Pagi-pagi buta masak nasi pakai tungku sambil mandi adik, mencuci dan siap-siap ke sekolah. Pulang sekolah, lapar. Pulang lewat sawah. Cari apa saja, yang bisa dimakan termasuk timun atau tomat. Kadangkala ketemu telur bebek, tidak sering mencari sisa-sisa panen cabai untuk dibuat sambel setelah sampai di rumah. Pokoknya, anak sekolah mensyukuri karena masih diberi hidup, sehat dan rezeki.

Susah bercampur lucu. Dekade 80-an seseorang berjalan kaki ke sekolah gara-gara tidak punya uang saku dan uang jajan. Saat haus, minum air sumur. Tidak punya tas, jadi pakai keresek.

Soal jalan kaki ke sekolah, ada yang lebih jauh. Seorang siswa rela berjalan ke sekolah sejauh 5 Km. 

Yang kita salut pada Elsa soal semangatnya yang berkobar-kobar. Kita patut berterima kasih pada ibu sambungnya, yang selalu menyiapkan bekal, meski itu hanya ubi. Kita sangat bangga sama ibu.

Saat ini, mungkin tidak terlalu banyak berangkat sekolah dengan jalan kaki. Bagi kawan-kawan yang dulu ke sekolah di kota atau akses sekolah mungkin luar biasa. Tetapi, bagi mereka yang tinggal di pelosok itu hal luar biasa. 

Mereka masa kecil justru jalan kaki puluhan kilometer. Berangkat selalu pukul 4.00 subuh. Itupun tanpa bekal dari rumah, selalu mengandalkan buah-buahan, yang mereka dapat di jalan yang menembus hutan. Kondisi itu bahkan masih dialami peserta didik hingga sekarang.

Misalkan, jarak dari rumah ke sekolah dengan berjalan kaki 3,4 Km. Pulang-pergi dirata-ratakan 7 Km-an. Sampai dimana jauhnya? Jika dihitung langkah kaki. Katakanlah, anak perempuan seumur SMP kira-kira 60 sentimeter. Jadi, 1 Km sama dengan 1.000 meter kali 7 Km sama dengan 7.000 meter sama dengan 12 ribu-an langkah  (1 meter = 100 sentimeter). Ini sekadar selingan saja dengan hitungan ecek-ecek.  

Kita sadar, pengalaman siswa berjalan kaki sungguh banyak untuk dituangkan dalam catatan kisah sedih. Cukup yang mewakili saja melalui kisah sedih Elsa. Kisah berjalan kaki ke sekolah dan sekitarnya.

Begitu sangat kontrasnya ketika kita membandingkan antara sepeda dan mobil mewah demi menghadiri perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-79 tahun, di IKN, Kalimantan Timur. Untuk tarif sewa mobil saja secara normal dari merek Toyota Fortuner sekitar 5 juta per hari. Minibus Toyota Hiace sebesar 15 juta per hari dan yang ingin menyewa Toyota Alphard menanjak sebesar 25 juta per hari.

Wow! Dalam sehari kita bisa melek matanya; melihat betapa sulitnya kehidupan rakyat saat ini. Inilah sebagian kecil potret kehidupan rakyat dalam kisah sedih.

Tidak apa-apa Elsa, itu akan membuatmu lebih kuat secara mental dalam menjalani hidup susah. Yakinlah, Elsa tidak mudah mengeluh karena sudah terbangun mental baja dan fisikmu yang prima. 

Bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian. Sukses masa depanmu Elsa! Raihlah cita-citamu setinggi langit!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun