Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Diary

Jurang Kecil Tanpa Dasar

14 Juni 2024   10:55 Diperbarui: 24 Juni 2024   21:37 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ermansyah R. Hindi - Dokpri

Tiba-tiba teringat sebuah bunyi iklan. ”Tda da da ... tda da da ...  Dapat ikannya. Dapat ma tapi kecil kecil. Jangan sedih mama. Sekarang pakai bimoli spesial.” Selintas iklan Bimoli kembali saya pandangi lewat video, di Mbah Google. Rupanya, sekitar tiga puluh tahun berlalu, iklan Bimoli masih tersimpan jejak-jejaknya. 

Memang, daya tarik tubuh virtual bernama Google adalah pemicu bagi yang berminat melihat dengan keterlibatan hasrat dan kesenangan tanpa akhir.

Bayangkan, iklan Bimoli yang berlalu melalui Google sebagai tubuh virtual membuat ingatan saya dan Anda melintasi ruang benda-benda. Ah, ada-ada saja iklan Bimoli!

Pertanyaannya. Bagaimana jika harga Bimoli melonjak? Gelontarkanlah cuan Anda! Waspadalah! Iklan itu jago menggoda dompet tebal, iya kan?

Ketika saya menatapnya begitu mengundang selera, maka sudut pandang tentang jurang tatapan atas video tentang iklan minyak goreng kemasan. Iya betul, iklan Bimoli. 

Iklan berakhir setelah diatasi oleh hasrat. Ia sebagai kebenaran. Ia menunda marabahaya sifat boros.

Apa hubungannya dengan catatan singkat ini?

Saya lihat, secara singkat, ada pengetahuan semacam ”jejak-jejak tanpa bentuk” nampak seperti rezim pengendali tubuh. Ia datang dari energi hasrat tanpa akhir akibat belum terpuaskan. 

Hasrat untuk membeli minyak goreng Bimoli itulah jalannya. Puas atau tidak, jejak-jejaknya bakal terlacak.

Saya kira memang aneh. Saya cuma lihat bukan kulitnya belaka. Bahwa jejak-jejaknya tidak terlihat dengan mata telanjang. Jika orang berkata ma'nyus, enak, dan seterusnya itulah jejak-jejaknya.

Bagi orang yang ingin melihat iklan sebagai hasrat. Nah, saya pikir, hasrat untuk membeli Bimoli. 

Lihatlah di balik iklan Bimoli sebagai pengetahuan!

Sekali lompatan gairah pikiran, kata-kata, warna, bau dan gambar khas iklan Bimoli, selamanya menjadi tanda, bukan tubuh. 

Tetapi, penghasutan iklan Bimoli sebagai cara untuk menunda hasrat untuk memilih tiruan, yang bisa ditemukan dalam tubuh. Tidak lebih dari cara bermimpi, karena kebenaran selera atas iklan Bimoli dipisahkan dari kesenangan dan penderitaan.

Hasrat yang menubuh akan menarik dan melepaskan seluruh godaan yang ditumpangi oleh citra retorik. Sejauh kenikmatan dan bahaya kesamaran bergumul, pikiran yang berdaya, akhirnya tidak dapat ditukarkan dengan sisa alias ampas berita.

Tidaklah! Iklan Bimoli bukan ampas berita. Dipersilahkan ngecek ke leb. Diantaranya cek di BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan).

Saya sadar, bahwa kesadaran berbeda dengan apa-apa yang kita saksikan dalam tanda dan mimpi. Kerangsangan aroma minyak goreng berdaya tinggi tidak merepresentasikan tubuh dan agen-agennya. 

Sampai di sini, apa sudah jelas, kawan? Dari bisik-bisik tetangga saja sudah info jika Bimoli bersaing dengan Filma. Keduanya sama-sama perusahaan kakap di bidangnya. Keduanya juga bukan perang antara kapitalisme dan ekonomi pasar bebas. 

Eh, keseleo. Ia bukan seteru antara neo-lib dan usaha kelas teri. UMKM atau ekonomi kerakyatan tepatnya. 

Wong sudah tahu, jika om Liem dan om yang satu (kenapa saya lupa namanya) yang punya urusan. Kenapa kita jadi puyeng. Ya, sudahlah!

Sesungguhnya iklan Bimoli itu perkara hasrat dan tubuh. Titik awal dimana hasrat dan tubuh, siang dan malam atau kondisi dingin dan panas iklimnya, dimana gejala-gejala dan sifat-sifatnya tidak bisa digairahkan melalui disiplin ilmu fisika, kedokteran, dan geometri, misalnya (dibandingkan diskursus filsafat  dan diskursus ilmiah menjadi lelucon dan sindiran).

Tidak lucunya, iklan bimoli terancam menganggur lantara tidak ditopang oleh citra dan tubuh. Lihatlah, ibu, anak, anggota keluarga lainnya dieksplor lewat iklan Bimoli! Jadi, iklan Bimoli tidak terpisahkan dengan citra dan tubuh.

Akan tetapi, iklan Bimoli merupakan satu sisi dari  ilusi dan nyata. Iklan Bimoli itu nyata betul dari ilusi. Kenapa? 

Karena tersihir dengan iklan, kita ingin beli minyak goreng bermerek Bimoli ternyata anggapan kita jika isinya tiga liter. Hasilnya, cuma satu liter. Kita mulai berpikir tentang dunia dengan caranya sendiri, ilusi dan mimpi antara “tubuh” dan ”hasrat” yang nyata. 

Korbannya pun nyata. Hasratku, tubuhku nyata di balik iklan Bimoli!

Dunia tanda dengan indeks kebahagian global dianggap terlalu besar bagi selera atas iklan Bimoli. Iklan lebih suka dengan rincian kecil. Di situlah peristiwa kecil yang tidak sepeleh. 

Sebaliknya, kita bisa memandang sesuatu dari sisi keindahan dan dalam musik yang menggairahkan setelah iklan Bimoli.

Lebih dari itu, tubuh bukanlah sumber penderitaan, siksaan atau kelesuhan kita, melainkan iklan Bimoli yang telah diketahui. Tatapan terhadap iklan Bimoli tidak lebih sebagai bibit-bibit daya aktif. Ia berkaitan dengan rasa kepo dan tanda hasrat. 

Wah, jadi seru nih! Meskipun iklan Bimoli tidak sepenuhnya disadari sebagai mesin selera dan celah bagi kenikmatan alamiah.

Kata-kata dari ”tapi kecil-kecil” dalam.iklan Bimoli juga bukan sesuatu yang ringan kita menggambarkan sebagai lingkaran luar dan pembacaan kita. 

Batas-batas iklan Bimoli berarti menutup kesadaran mengenai betapa pentingnya gagasan anti kemandekan, kepasrahan, dan gaptek parah.

***

Rasa jenuh dan ngelantur kadangkala memberikan ruang sempit bagi tubuh yang sepenuhnya telah diketahui di dalam pikiran.

Coba kita lihat! Dunia luar dalam kesembronoan, keterisolasian, dan kepatuhan. Sehingga, ia akan mengalami kelumpuhan elemen ganda gairah-tubuh dan bentuk turunan

Metamorfosis dari daya tertinggi, dimana setiap gerakan instingtual melebihi suatu tatapan atau kecermatan spesies. Seperti mata seekor elang menutup arus-arus pergerakan citra dari tiruannya yang terbang.

Tolong, jangan merem bro! Selera kita ditukarkan dengan selera iklan paling nyata. Tetapi, bertentangan dengan kemurnian seleranya, ia hanyalah sekian obyek yang dicemoohi.  

Sejauh ini, kerawanan selera hanya menegaskan kembali kemurnian, kecermatan, dan kebutuhan akan takhyul dan horor menggumuli tubuhnya.

Sebagaimana spesies terkuat, satu sisi selera memiliki titik celah di bagian dalam dirinya. Pikiran dan khayalan terungkap melalui rangsangan dari tubuh, dari iklan.

Iklan adalah pengertian penuh dari kerahasiaan bertubi-tubi dalam pilihan bebas. Iklan menengahi pertentangan tanda dan penciuman tajam untuk menegaskan kembali selera, yang dilipatgandakan dengan kesenangan dan godaan melalui gambar, warna, dan rangsangan kata-kata dari iklan Bimoli.

Repotnya di sini. Minyak goreng Bimoli tanpa kombinasi kata kerja dan kata sifat dengan maksud untuk menumbuhkan jurang selera karena orang miskin susah menjangkau harganya. 

Apa tanggungjawab sosial Bimoli terhadap si miskin? Lantas, iklan hanya menggiring mereka dalam mimpi. Daripada pepesan kosong, mending mimpi. Lebih mantul lagi, uluran tangan perusahaan Bimoli ke si miskin. Memang beban hidupnya bisa berkurang.

Parahnya, bantuan sosial dipercaya sebagai "kue lapis" yang dibagi-bagi ke si miskin. Sebenarnya, "kue lapis" itu kecil. Ia sangat terbatas. 

Nyatanya, Bansos juga menjurus konfliktual. Yang satu dapat, yang lainnya cemburu karena tidak dapat Bansos. Ngakunya, mereka penuhi kriteria miskin, cuma tidak terdata.

Lanjut lagi. Mulanya kalem, justeru membuat si miskin silau hingga bergantung pada bansos. Bisa jadi, bansos berupa Bimoli.

Di sini, muncul satu pertanyaan. Kapan merata, adil, dan sejahtera si miskin jika hanya bergantung pada bansos? Harap mafhum, entaskan kemiskinan itu bukan simsalabim.

Tetapi, kita sadar bahwa cara itu belum memecahkan akar permasalahan. Mereka perlu "diminyaki" dengan cara berpikir masa depan yang cerah. 

Tentu saja, dimulai dari penyelenggara negara. Jadi tidak lucu, jika si miskin dijadikan beban tanggungjawab? 

Lagi pula, si miskin tanpa basa-basi dengan hidangan bergizi atau menu gorengan. Singkat kata, mereka tidak butuh iklan Bimoli. 

Sangat jauh iklan Bimoli ke sana. Ke urusan orang miskin antara aliran hasrat untuk hidup layak dan aliran modal usaha, misalnya. Sesimpel itukah?

Kita berputar-putar saja di luar si miskin. Bagaimana, kawan?

Jika demikian, marilah kita mulai dari yang ini. Satu sisi, iklan Bimoli tanpa tempelan sedikitpun berasal dari hilangnya kebutaan dalam melihat dunia, kelesuhan dan kedangkalan yang dipalsukan benda-benda tersembunyi di luar nalar sejati (nous)

Kata kerja penghubung, kata sifat, kata benda dan daya diferensial sangat rawan dengan kontradiksi yang berada dan hanya di depan pintu gerbang kesadaran. Selera belum sampai kepada titik terang ‘pemahaman yang meninggalkan jejak-jejak tanpa bentuk’ sekaligus tidak mempercayai kata-kata tanpa tubuh atau “tubuh lain,” dan iklan Bimoli yang menggiurkan.

Mungkin orang mulai menyenangi minyak goreng melalui tubuh setelah menonton iklan Bimoli. Begini saja. Anda bisa kenal banyak minyak goreng, kecuali Anda dibuat kepo oleh Bimoli lewat iklannya. Lah, siapa yang tidak kenal dengan Bimoli? 

Ya ampun! Maksud saya adalah hidangan punya kelezatan tersendiri jika pakai Bimoli. Saya percaya, emak-emak sosialita atau ibu-ibu PKK sudah pernah menikmati minyak goreng Bimoli. 

Angkat tangan siapa yang pernah disurvei? Satu, dua, tiga, lima, sebelas. Banyak. 

Sekarang, iklan minyak goreng diungkapkan dengan tanda kelezatan lantaran minyak goreng Bimoli terlibat langsung. Maaf kawan, saya tidak promosi produk!  

Lantas, tanda-tanda lenskapik dan bio-semiotis (jejak-jejak manusia, flora dan fauna) yang dikaitkan dengan selera yang sederhana (kegairahan dan teror sensasi dari iklan masakan) itu sendiri. Maka selera pun turut menyesuaikan dengan iklan Bimoli, misalnya.

Dapat ditekankan rahasia selera dan di dalam daya persuasif dari teks iklan Bimoli tidak memberikan satu kali ayunan. Tanda kritis ada diluar pikiran yang menubuh (minyak goreng Bimoli dimainkan oleh sosok Chef. Atau ibu dan Anda sendiri). Percaya? Ayo bisa!

Pokoknya, iklan menciptakan selera, hasrat, dan kesenangan. Ketiganya muncul lewat layar media daring dan medsos.

Sebagaimana asal-usul kenikmatan dan kemenangan ditandai dengan bidang cembung, datar dan cekung. Ia bukan lagi menjadi titik teror cermin dibalik tatanan geometris, tetapi resapan dan pantulan selera. 

Kenikmatan dari iklan dan kemenangan adalah pembacaan, cetakan, daj keberanian sebagai gairah yang terbebas selalu disatukan dan dipisahkan dengan tanda-tanda kehidupan sehari-hari.

Kekaguman pada tubuh diletakkan dalam gairah kuno. Layaknya nafsu, warna, cita rasa, dan citra melipatgandakan strategi penjinakan tubuh bisa lewat iklan Bimoli. Akibatnya, hasrat atas Bimoli dan tubuh di antara titik koordinat yang terdekat penderitaan dan kesenangan. 

Namun demikian, titik koordinat hasrat dan tubuh menjauhi titik buta dalam tulisan dan pembacaan melalui tubuh. Lewat iklan. Anda boleh saja suka "goreng-gorengan" politik.

Untuk gorengan dari minyak kemasan sejenis Bimoli berbeda permainan lidah dan kerongkongan yang dimainkan oleh politisi, bukan? Mainkan bro! Digoreng-gorenglah, usah khawatir! 

Toh, hidung dan lidah kita tidak bisa dikibuli. Coba saja kawan! Atau ada hidung dan lidah yang lain ya?

Begitulah tubuh, sebagian ingatan dan citra dihadirkan dalam suatu kekerasan pikiran dan sebagian yang lain dicari dalam iklan Bimoli. Saya kira, demi hasrat, kesenangan, kemurniaan, dan kesamaran bercampur-aduk dengan iklan. Berkat gairah, sekecil apapun, maka pengetahuan pun lahir. 

Bingung kan, bro!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun