Di sini, muncul satu pertanyaan. Kapan merata, adil, dan sejahtera si miskin jika hanya bergantung pada bansos? Harap mafhum, entaskan kemiskinan itu bukan simsalabim.
Tetapi, kita sadar bahwa cara itu belum memecahkan akar permasalahan. Mereka perlu "diminyaki" dengan cara berpikir masa depan yang cerah.
Tentu saja, dimulai dari penyelenggara negara. Jadi tidak lucu, jika si miskin dijadikan beban tanggungjawab?
Lagi pula, si miskin tanpa basa-basi dengan hidangan bergizi atau menu gorengan. Singkat kata, mereka tidak butuh iklan Bimoli.
Sangat jauh iklan Bimoli ke sana. Ke urusan orang miskin antara aliran hasrat untuk hidup layak dan aliran modal usaha, misalnya. Sesimpel itukah?
Kita berputar-putar saja di luar si miskin. Bagaimana, kawan?
Jika demikian, marilah kita mulai dari yang ini. Satu sisi, iklan Bimoli tanpa tempelan sedikitpun berasal dari hilangnya kebutaan dalam melihat dunia, kelesuhan dan kedangkalan yang dipalsukan benda-benda tersembunyi di luar nalar sejati (nous).
Kata kerja penghubung, kata sifat, kata benda dan daya diferensial sangat rawan dengan kontradiksi yang berada dan hanya di depan pintu gerbang kesadaran. Selera belum sampai kepada titik terang ‘pemahaman yang meninggalkan jejak-jejak tanpa bentuk’ sekaligus tidak mempercayai kata-kata tanpa tubuh atau “tubuh lain,” dan iklan Bimoli yang menggiurkan.
Mungkin orang mulai menyenangi minyak goreng melalui tubuh setelah menonton iklan Bimoli. Begini saja. Anda bisa kenal banyak minyak goreng, kecuali Anda dibuat kepo oleh Bimoli lewat iklannya. Lah, siapa yang tidak kenal dengan Bimoli?
Ya ampun! Maksud saya adalah hidangan punya kelezatan tersendiri jika pakai Bimoli. Saya percaya, emak-emak sosialita atau ibu-ibu PKK sudah pernah menikmati minyak goreng Bimoli.
Angkat tangan siapa yang pernah disurvei? Satu, dua, tiga, lima, sebelas. Banyak.