Dalam sepekan ini banyak peristiwa yang terekam di medsos. Berulang kali mengintip berita seputar perseteruan Israel dan Hamas.Â
Boleh dikata saya sudah "tawaf tujuh kali" mengitari medsos demi buru berita tentang teroris. Betapa medsos dijadikan "berhala baru" sebagai ritual keseharian. Ada-ada saja kaum Twitteran menanggapi berita, opini, dan komentar sekitar teroris.
Terlalu banyak labelisasi teroris pada pihak tertentu. Terutama dunia Islam dan Arab menjadi teroris terbaik.
Konyolnya, teroris enggan menahan kesal dengan mengelus dada, justeru kita yang lemas dan cemas. Setiap teroris bisa dikenali dan semua niat jahatnya disembunyikan. Kita akui bahwa ada memang oknum yang "kroslet" pikirannya tatkala melihat carut-marutnya dunia.
Cukup sederhana kita menggambarkannya. Pihak yang melihat orang berjenggot lebat dan berikat kepala, yang bertuliskan kalimat Tuhan sambil menenteng senapan sudah bisa didapuk sebagai teroris.Â
Entahlah, orang yang baru membaca satu atau dua buku sudah menganggap dunia menurut kaca mata kita benci ini dan kita musuhi itu. Membaca beratus-ratus buku saja tidak menjamin tanpa teliti dan telaah masak-masak seperti makanan perlu kita cerna sebaik mungkin.
Aneh jadinya, jika ada sesuatu kita telan mentah-mentah. Jika tidak, dunia ini terasa menyesakkan dada. Dari dada yang sumpek dan kepala yang picik menumpuk di situlah ada yang aneh dengan diri kita. Teroris lahir setelah dibayangi-bayangi oleh teror kepicikan dan ketercampakan dirinya dalam menghadapi kenyataan dunia.
Buktinya, banyak teroris bukan karena pandir, melainkan ketidaktertanggulanginya hidup di dunia antara nyata dan palsu. Teroris itu jelmaan orang dan kelompok yang melakukan pengingkaran realitas. Hidup kita, misalnya, kita tidak sendirian.
Kehidupan itu berwarna-warni. Kehidupan juga silih berganti antara susah dan senang, tawa dan tangis, gembira dan sedih, kuat dan lemah. Nah, biasanya orang yang dirasuki ajaran teroris juga telah dicuci otaknya. Hanya orang melihat dengan seluas-luas dunia tidak mudah terjerumus dalam dunia teroris.
Itulah sebabnya, teroris dan terorisme selalu menjadi momok yang menakutkan. Sehingga Israel maupun Hamas yang melakukan teror akibat pembunuhan dalam skala masif digelari sebagai teroris.
Padahal, teroris dan terorisme muncul karena dagangan agama. Memang, kita lihat oknum yang terjerumus dalam terorisme datang dari cara berpikirnya. Banyak teroris tidak berwajah beringas. Dandanan teroris tidak ubahnya sebagai orang biasa.
Sementara, Israel menjadi bulan-bulanan labelisasi teroris. Saat ini, penampilan luar dan dandanan keren bahkan berseragam militer tidak selamanya menandakan teroris.Â
Siapa tahu isi kepala sebagian orang terlalu dangkal menilai orang di luar dirinya. Sebentar lagi Hamas sulit melihat dirinya jika ada yang perlu diperbaiki kesalahannya. Israel dan Hamas sama-sama berjulukan teroris.
Ada kawan mengira saya telah menyalahkan Hamas akibat tindakan teroris. Kawan pun meminta saya agar hati-hati dengan label teroris pada saudara sekeyakinan. Tunggu dulu kawan!
Apa yang dimaksud sekeyakinan? Membalas satu kekerasan dengan kekerasan bisa menyelesaikan masalah? Katanya cinta sesama, mengapa perdamaian dibalas dengan harga bunuh membunuh? Itukah gen kita yang harus diwariskan pada generasi berikutnya. Saya kira, berangkat dari jebakan "kaca mata kuda," maka di luar dirinya dianggap musuh bebuyutan.
Pantaslah, tidak semua orang suka dengan berita menegangkan. Kita ingin santuy dan menikmati hidup dengan sabar dan gembira. Konflik Israel dan Hamas melulu juga membuat orang bete.
Apa tidak ada berita yang lain? Atau kita kurang piknik sehabis kerja lemburan dan kerja seharian tidak capai target? Pertanyaan itu saya jawab di sini.Â
Tetapi, catatan ini mencoba untuk menyontek hiburan, yang setara dengan piknik bahkan nonton konser musik dangdut atau pop dengan penuh kenikmatan.
Di tengah menikmati berita seraya menjelajahi status dari akun pribadi dengan berbagai komentar di medsos, ada serangkaian narasi teroris yang bergelimang amarah kebencian dan permusuhan. Selain bencana alam, surplus malapetaka dimulai dari tindakan teroris yang sepakat menumpahkan darah manusia.
Lalu, sekarang para tukang bising di medsos sejak 7 Oktober lebih sering dibaca dan didengarkan saat berlangsung konflik Israel dan Hamas. Kadangkala silih berganti dari obrolan politik dalam negeri ke peristiwa tragis di Gaza. Bahwa krisis kemanusian dipengaruhi oleh riuh-rendahnya tindakan teroris sebagaimana mereka memproganda sebagai senjata untuk menguras tenaga dan memutarbalikkan fakta sebenarnya.
Secara tidak langsung, label teroris berdasarkan posisi mana dia menilainya. Lantas, orang yang tidak serampangan dan terburu-buru menyebut teroris dilihat dari posisi tertentu?
***
Di era digital, akses terhadap berita dan opini tentang teroris begitu enteng kita dapatkan. Seorang berkomentar di akun Twitter dengan leluasa menyindir dan mengecam. Ini teroris. Itu teroris.
Mereka tidak ingin sendirian disebut teroris karena pihak di luar dirinya juga melakukan hal yang sama dengan cara membunuh. Setiap pihak punya hak bersuara, persis dalam posisi yang berbeda berhak pula untuk bersuara dengan menyebut pihak sebelumnya sebagai teroris.Â
Kedua belah pihak sama-sama memposisikan dirinya sebagai penyebut teroris. Bisa saja kita dibuat bingung.
Selanjutnya, keluasan dan kedalaman fakta dan pikiran sebagai bukti, bahwa hanya dengan melihat yang mana teroris di balik posisi antarpihak saling berseberangan. Contoh, sudah berapa lama Hamas dan Israel bertindak dalam kekejaman dan pembunuhan. Bagaimana efek dari skala kekerasan yang lebih besar melalui pembunuhan. Begitulah yang ingin kita pahami sejauh mana teroris muncul dari semua posisi dan arah.
Dalam kondisi seperti itu menjadi sesuatu yang menantang untuk menentukan siapa teroris. Label teroris bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dihindari dan terbebas dari tindakan teroris.
Jangankan sama, mirip tindakan teroris pun perlu dihindari.
Di situlah akan ditemukan pembeda mana teroris dan mana yang bukan. Persoalannya, kedua belah pihak antara Israel dan Hamas saling menuduh teroris. Keduanya tetap bersekukuh dengan pendiriannya, di sana ada teroris dan di situ juga teroris.
Misalnya, saya memandang konten Twitter. "Pasukan Keamanan Israel (IDF) membunuh banyak teroris Hamas dalam pertempuran terlama di Gaza dalam tempo dua bulan." Inilah judul tulisan yang bercokol di media daring. Yang duluan "pasang badan" menyebut teroris Hamas adalah IDF dan pejabatnya.Â
Hal yang penting bukan perkara yang pertama merasa senang menyebut Hamas sebagai teroris. Yang parah adalah korban keganasan perang. Teroris atau perang?
Bah, ini bukan mainan perang. Lelaki yang betah bermain dimulai dengan bermain medsos berselera teroris.Â
Berturut-turut saya menatapi layar Twitter.
Sebuah tayangan video dalam akun @AzzatAlsaleem menyebutkan bahwa gara-gara senjata ditemukan sebuah sekolah di Gaza serta-merta: "Hamas adalah organisasi teroris." Hanya karena senjata tergeletak di sekolah digiring dalam label teroris. Siapa tahu, jangan sampai pihak lain sengaja menaruh senjata di sekolah agar orang bisa percaya bahwa ada teroris. Betapa sensi permusuhannya paling menonjol.
Dalam video lain, Perdana Menteri Yunani Mitsotakis mengatakan di depan Erdogan dalam akun @Admeliorax: "Israel punya hak mempertahankan diri. Hamas adalah organisasi teroris."
Pernyataan yang sama tentang "Hamas adalah organisasi teroris, Israel punya hak untuk membela diri" juga mencuat di akun tersendiri. Kemudian, ada akun muncul dengan kalimat yang berbeda. "Seorang pria berusia 21 tahun dibunuh oleh teroris Hamas."
Sebetulnya, masih banyak komentar dan pernyataan yang serupa dalam akun yang berbeda. Untuk kebutuhan, hanya empat akun sumber rujukan yang sempat diberi catatan soal Hamas adalah teroris. Akun yang menyebut Hamas adalah teroris lebih kencang dan masif karena menguasai media termasuk medsos.
Di kala pagi, saya memandangi sebuah video dengan konten gerobak keledai menggotong dua mayat. Di jalanan beraspal berceceran darah tampak masih segar. Mayat yang tergeletak di atas gerobak keledai itu diiringi oleh seorang pemuda.
Orang-orang mungkin merasa kepo, sehingga menengok pada siapa gerangan mayat di atas gerobak yang sedang melewati jalanan. Dalam status Twitter, seseorang mengatakan (dalam huruf kapital): "Israel adalah Negara Teroris!" Lelaki di medsos itu juga menonton dan menyebarkan video dua mayat korban keganasan perang, dari serangan teroris.
Sehari sebelumnya, bunyi status di salah satu akun Twitter: "Israel secara ilegal menyerang Rafah sekarang. Israel adalah rezim teroris." Status tersebut muncul lantaran para pengungsi di Rafah ditembaki oleh penembak jitu.Â
Orang-orang yang disorot oleh kamera video medsos lari berhamburan. Sebuah benda atau lebih dari angkasa biru jatuh di sebuah permukiman.
Di atas sebuah gambar Hitler, ada status dari akun Twitter wanita muda yang berbunyi: "Terorisme Israel sama Nazisme Israel." Menurut profil, wanita itu bertempat tinggal di Inggris. Dia mengirimkan status sebagai wujud solidaritas dan untuk mendukung perjuangan Palestina.
Berlalu satu dukungan tertulis di dunia maya, mengintip lagi bunyi status yang agak panjang. Dari pemilik akun Twitter bernama Furkan Gözükara sebagai Doktor komputer dan dosen kecerdasan artifisial tergugah atas nasib warga Palestina.Â
Wujud empatinya dinyatakan dalam status. Begini bunyi statusnya: "Lebih dari 40 orang terbunuh dalam pemboman Israel yang pro terorisme terhadap rumah keluarga Al Louh di Al Maghazi, Area Tengah Jalur Gaza!"
Ketika menilik komentar seorang warganet dengan bunyi statusnya, ternyata berbahasa Turki. Hakan dalam nama akun X (Twitter) yang sama berani menyatakan sikapnya. "Israel adalah teroris, hestek IsraelGenosida."Â
Di bawah statusnya, dia menampilkan berita utama majalah Time: "Israel bukan Bangsa Tetapi Organisasi Kriminal Teroris." Pernyataan lugas ini paling menantang karena statusnya didukung oleh rujukan majalah berkelas dunia.
Status dan konten tentang teroris Israel sebagaimana teroris Hamas masih seabrek yang belum tersaji di medsos. Apalagi yang tersisa dari Israel adalah teroris?Â
Makin dicari konten teroris di medsos, makin banyak yang belum terungkap. Yang jelas teroris merupakan sisi gelap antara Israel dan Hamas.
Sampai sekarang, tidak satupun pihak secara blak-blakan yang membenarkan teroris. Karena itu, teroris menjadi ampas sejarah yang menghantui. Makin dicomot konten teroris, makin sering tidak terungkap di medsos.
***
Di Twitter muncul status dalam cuitan @MacaesBruno seperti ini. "Future historians will have to explain how and why Western democracies joined ranks and went along with a band of lunatics."Â
Sebenarnya, cuitan bro Bruno itu muncul untuk menanggapi berita yang dimuat oleh media onlen berjudul: "Israel calls UN a ‘terror organisation’ as tensions escalate over Gaza war." Saya tidak tahu persis apa tujuannya berkomentar.
Dari judul berita itu saja sudah jelas bahwa Israel menuding PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sebagai organisasi teroris. Kita juga tidak tahu persis apakah ini imbas dari dukungan 143 negara atas Palestina menjadi anggota PBB. Atau Israel hanya bermain kerambol.
Begitu banyak kritik bertubi-tubi datang dari berbagai penjuru mata angin, mulai dari protes mahasiswa dan kampus di Amerika, kelompok masyarakat sipil hingga warganet. Sehingga Israel merasa tersudutkan dari sebagian besar protes dan kecaman warga global.Â
Daripada Israel diserang, lebih baik ia menyerang duluan. Ia punya siasat jitu untuk berlindung di balik perang teroris.
Kendatipun ia dicap teroris, Israel sudah terlanjur mencekoki kepala para pendukungnya. Di luar Israel adalah teroris. Ia juga berdalih dan membuktikan bahwa warganya diserang hingga dibunuh oleh teroris.Â
Satu hal lagi, dimana Israel bukan hanya perang teroris di darat dan di udara. Ia juga menguasai perang proksi dan perang opini.
Dari situ, bukan Israel yang terjebak, melainkan pihak teroris yang menyebutnya teroris. Tidak jarang pula, Israel dengan perang opini atau propaganda lewat medsos termakan oleh siasatnya sendiri.Â
Satu contoh, genosida yang ditutup rapat-rapat bagai bangkai, akhirnya tercium. Kuburan massal yang diduga kuat sebagian dikubur hidup-hidup ditepisnya. Tetapi, mata dunia dan hasil penyelidikan membuktian lain.
Nyatanya, Israel tidak bergeming dengan segala kritikan. Ia malah makin gencar melancarkan propaganda antisemitisme dan pro Hamas bagi pihak yang mengkritiknya. Israel bahkan masih tetap merasa "besar kepala" dengan segala sorotan tajam dunia yang tertuju padanya.
Syukurlah, bro Bruno itu tidak mencaci-maki atau mengumpat habis-habisan Palestina. Yang tidak bisa "dipagar betis" adalah komentar warganet di dunia maya. Tentu saja ada yang blepotan hingga aneka komentar manis dan pedas dari warganet begitu seru.
Berikutnya, saya timpali cuitannya. "Then, who is the real terrorist? Israel or Hamas? Or Israel terrorist? Or Israel = Hamas?"Â
"Memangnya Anda tidak tahu diri. Anda ngacalah. Justru Anda yang teroris totok. Dikira cuma Hamas, Israel juga teroris. Curiga boleh dong, kalau Hamas itu piaraan, kalau bukan karya Israel. Keduanya tidak lebih dari teroris." Klop ya kan?
Siapa saja akan berpotensi menjadi teroris. Apapun entitasnya, teroris bisa muncul di Timur Tengah, di Eropa, di Amerika, Afrika, dan Australia. Teroris tidak memandang apakah dia berkulit putih, hitam, sawo matang dan tidak kenal juga apa latar belakang agamanya.Â
Kita atau mereka akan menjadi teroris. Jadi, tidak ada hubungan antara teroris dengan ragam entitas dan identitas, bro!
Berani-beraninya Israel atau siapa saja mengaku dirinya sebagai teroris. Sudah bisa dipastikan siapa saja tidak mengaku dirinya sebagai teroris layaknya orang yang merokok di atas kloset. Dia sulit membedakan, yang mana bau asap rokok dan yang mana bau toilet.
Perpaduan bau asap rokok dan toilet itulah yang menghalangi dirinya untuk mengidentifikasi yang mana kebenaran inderawi dan kebenaran batin. Ini sekadar kiasan. Terlebih lagi, pihak pembantai manusia yang sarapan pagi hingga malam gelap dengan tangannya berlumuran darah korban yang tewas telah membutakan mata batinnya.
Soal teroris memang bukan pertanyaan berapa banyak jumlah korban tewas dibom dan ditembak senapan atau meriam. Bahwa tidak lucu dan masuk akal dilabelkan teroris pada pihak tertentu jika korban yang tewas akibat ledakan mercun.
Tidak lama sesudahnya, muncul lagi sekawan berita di medsos. Tepatnya dari Twitter bak menyuapi saya dengan sambel pedas.
Sensasi pedas sejadi-jadinya karena menjalar hingga ke wajah. Telinga saya jadi ikut memerah lantaran media daring menggembor-gemborkan narasi teroris.
Segera ocehan saya bertengger di medsos. "A little bit of Hamas terrorists, Hezbollah terrorists. Why does The Jerusalem Post openly say that Israel is a true terrorist? Come on, TJP, criticize Israel as a genuine terrorist because it is the culprit of genocide, ethnic cleansing, and other sadistic violence!" Dalam terjemahan ngawurnya yang mirip bahasa makhluk Mars, kurang lebih sebagai berikut.
"Sedikit-sedikit teroris Hamas, teroris Hizbullah. Kenapa The Jerusalem Post terus terang bilang kalau Israel sebagai teroris sejati. Ayo TJP, kritik dong Israel sebagai teroris tulen karena biang keroknya genosida, pembersihan etnis, kekerasan sadis lainnya!"
Sudah jelas petanya. Kekuatan besar dari yang melempar kosa kata jihad sembunyi tangan bernama Israel mampu memainkan peran ganda.Â
Ada waktu, ia menggiring kosa kata teroris pada pihak lain dengan cara memanfaatkan media pendukungnya, yang bertujuan untuk membuat citra negatif terhadap yang pro Palestina. Lain waktu, dianggap efektif, jika Israel berada pada posisi korban teroris dan ungkapan seperti "Saya bersama dengan Israel," "Hamas teroris" dan sejenisnya di jagat medsos.
Begitulah ocehan saya terhadap media daring sebagai corong narasi teroris secara sepihak. Yang jelas, kita tidak tinggal diam dengan jurus mabuk tingkat dewa, maka diharapkan para followers si Israel rela membacanya. Soal Israel mempan dan ogahan dengan pernyataan gertak sambel lewat medsos itu, setidaknya ada gejolak batin dari pihak yang mendukung Palestina agar segera bebas dari cengkeraman Israel.
Untungnya, saya bukan agen Mossad Israel atau agen BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Karena mengambil sampel kecil dari pro Hamas dan pro Israel, saya barangkali akan melihat label teroris bergantung darimana mereka mengambil posisi.
Satu pertanyaan muncul. Apakah Israel yang dianggap sudah 76 tahun menebar teror membuat dirinya rabun jauh terhadap keadaan yang dihadapi oleh Palestina?Â
Apa jadinya genosida dan pembersihan etnis seakan dianggap biasa-biasa saja oleh Israel. Sehingga teroris pun hanya milik individu dan kelompok masyarakat Palestina.
Sejauh ini, hak untuk membela diri Israel berlaku juga ketika label teroris ditujukan pada pejuang Palestina. Berbeda saat Hamas punya hak untuk bertahan disamakan dengan teroris. Selebihnya, teroris Israel adalah dongeng dan pepesan kosong, yang dihembuskan terutama dari anti Israel.
Ah, setiap tatapan pada aliran status dan obrolan yang menjurus ke label teroris mencuat di medsos ketika kita mengukur dan menilai dari mana kita berdiri. Akhir kata dengan satu saran. Teroris Israel dan teroris Hamas menurut versi masing-masing perlu nge-retwitt dan belajar pada teror dukun santet yang dibantai oleh massa saja tidak kalah ngerinya (sejenak saya tersenyum).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI