Ketika saya sedang mencatat judul buku, semuanya ada di dalam ingatan atau khayalan tidak dapat dijadikan pintu gerbang, kecuali celah dan jejak ditumpahkan di atas kertas hanya bertahan pada satu titik tertentu,
Tetapi, tiba di toko, setiap ingatan atau khayalan itu menjadi buyar dan digantikan dengan hasrat dan selera yang silih berganti mengubah indeks kebutuhan demi buku atau teks tertulis.
Tetapi, suatu sisi ketidakkoordinasian ditemukan dalam garis-garis abstrak, bukan berasal dari rangkaian sumbu gravitasi, tetapi sumbu biner (“aku” dan “Anda”). Bukan pula sumbu optis, tetapi sumbu kristal, tanpa sumbu khayali, tetapi sumbu bumi. Semuanya itu tidak serta merta menciptakan ilusi atau citra mimpi, kecuali dibangun dengan linear, lingkaran, dan spiral.
Saya dapat mengatakan, bahwa bukan permukaan tubuh dapat dibaca atau ditulis secara enteng di atas kertas.
Selama nafsu berguna bagi tutur kata manis, kenapa tidak? Ruang pengetahuan dengan pergerakan nafsu birahi, cerdik (tidak mustahil cahaya ditumpas oleh kegelapan) sebagai bukti bahwa energi primitif itu ada dan nyata.
Sejauh hasrat untuk pengetahuan melepaskan kehidupan dari nafsu durjana, maka hal-hal yang dianggap tabu bisa dijernihkan dengan pemikiran dan penafsiran yang berbeda.
Saya belajar tentang sumbu-sumbu yang bergeser dari garis horizontal ke garis vertikal, atau sumbu yang sama (x→x, y→y), yang berhubungan dengan “tubuh” (hiburan, iklan) menggiring dirinya dalam suatu mekanisme pengurangan dan penjumlahan.
Berkat tubuh yang terjinakkan (setelah aktivis masuk bui) pernah dahulu dikonstelasikan melalui tubuh. Sebagai lelucon konyol dari “penulis” yang bertugas untuk menunda fatamorgana melalui tulisan.
Ketidakhadiran makna yang digabungkan melalui reproduksi tulisan, yang berbeda sampai mencapai figur geometris, dimana sumbu-sumbu diletakkan dari sumbu negatif ke sumbu positif. Apa yang kita temukan dalam penjumlahan dan pengurangan yang memantulkan sumbu yang sama atau positif dengan menghasilkan diskursus.
Tulisan yang mempan dengan sorotan tajam terhadap rezim kuasa. Ia bukan insting atau birahi (seekor burung hantu tidak takut pada siang, tetapi pada instingnya yang tidak mawas dan manusia sering takut pada bayangannya).
Jika perlu ‘tulisan libidinal’, yaitu hasrat untuk menulis dan termasuk ‘tulisan intelektual’ bisa dipahami. Tulisan muncul tatkala mata yang lengah dari siapa saja yang percaya terhadap titik final terhadap teks atau kebenaran.