Selera dan keyakinan boleh beda, tetapi jangan ada dusta di antara kita. Sejauh ini, minoritas hidup nyaman secara terpaksa menjadi contoh yang tidak terdengar menyenangkan.
Satu sisi, setiap orang ingin dihargai. Bagaimana kalau orang bikin status di medsos yang menghina orang yang punya keyakinan berbeda.Â
Di sisi lain, boleh saja setiap hinaan dan celaan "dijogetin," tetapi tidak semua orang bisa diperlakukan dengan senonoh dan sama.
Secara normatif, ada ungkapan seperti ini. Jangan cubit orang lain, jika Anda sendiri tidak ingin dicubit.Â
Atas nama kebebasan, kita tidak pantas dengan sengaja menyetel suara musik yang memekakkan telinga atau kendaraan berknalpot brong, yang bisa mengganggu tetangga sedang beribadah.
Jika kita menolak konsep apalagi tindakan tentang minoritas dan mayoritas, maka paling tidak ada lagi oposisi duaan. Yang ada hanyalah mereka sekaligus kami. Pedihnya adalah pedihku, lukanya adalah lukaku dalam hubungan kemanusiaan.
Di kepala, kita jangan lantas menari-nari di atas fantasi berahi dalam hubungannya dengan keintiman. Di benak kita, jangan membayangkan soal kenyamanan minoritas lewat keintiman dengan berhubungan badan. Pokoknya, keintiman di tengah kenyamanan minoritas bukan perkara "orang dalam" dan "orang dalam", "aku" dan "Anda," yang saling berhadap-hadapan. Hal itu sebagai pikiran kelewat norak.Â
Oh maigad! Sensor film lewat.Â
Keintiman sebagai syarat kenyamanan minoritas dibayangkan lantaran sebelumnya terjadi konflik atau permusuhan antara satu dengan lainnya. Ia bukan pula ditafsirkan semacam head to head, kelompok satu lawan kelompok yang lain, sehingga keintiman sebagai cara ampuh untuk mengatasi ketidaknyamanan sebelum titik kenyamanan minoritas di tengah kelompok mayoritas dicapai.
Teori simpelnya, bagaimana? Keintiman ditandai dengan perlindungan atas hak-hak dan penghargaan atas perbedaan.
Dari titik tolak itu, saya kira, setiap orang (beragama) tahu diri dan paham posisi.
Begini. Ibadah puasa dan shalat tarawih Ramadhan sebagai ikhtiar bersama untuk saling menghormati. Puasa Ramadhan dan Hari Nyepi sebagai ruang dialog dan cara saling mengenal.