Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tanda Kenyamanan Minoritas Lewat Keintiman

10 Maret 2024   14:05 Diperbarui: 28 Maret 2024   07:13 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gelar budaya Muslim di Bali (Sumber gambar: jawapos.com)

Minoritas maupun mayoritas mungkin tidak berlebihan ada di setiap sudut bumi. Orang-orang yang berada di dalamnya ingin hidup nyaman

Sebaliknya, hari kacau setidaknya membuat orang puyeng. Bahkan ibarat pilihan ganda, maka seseorang lebih memilih hidup nyaman daripada kacau melulu. Itulah pilihan hidup yang sah-sah saja. Memang nyaman juga tidak selamanya ajek. Betapa monotonnya hidup kalau hanya rasa nyaman menguasai diri kita. Alangkah konyolnya kalau hidup kita direnggut oleh rasa risih dan disiksa oleh rasa terkekang.

Kita akui, hidup tanpa bervariasi itu membosankan. Nyaman dan kacau silih berganti dalam kehidupan.

Tetapi, bagaimana rasanya kita dalam posisi kaum minoritas? Bermacam-macam tanggapan yang mendadak muncul. Ada komentar warganet garis adem. 

Ada pula komentar yang agak menampar. "Kalau nggak pingin dijuluki minoritas atau mayoritas. Ke antartika sekalian." Memangnya kita ingin bertetangga dengan bangsa penguin dan beruang kutub.

Kita abaikan saja hal tersebut. Marilah kita memiliki pandangan tentang hidup nyaman di tengah perbedaan alias keragaman. Entah itu hidup berupa minoritas etnis, minoritas agama hingga minoritas bahasa.

Apa yang pas tagline-nya? "Hidup nyaman untuk semua." Ssstt, jangan berisik, bro! Tetangga di sebelah lagi bermunajat ke Sang Maha Pencipta. Inilah esensi dan intinya. Minoritas. Hidup nyaman.

Hidup nyaman serupa kenikmatan, yang sering diburu oleh setiap orang. Minoritas atau mayoritas sama-sama ingin hidup nyaman. 

Nikmat rasanya hidup tanpa susah. Semuanya serba nyaman. Hidup berwarna.

Absurd juga hidup ini, kalau hidup kita dimonopoli oleh serba enak tenang. Lagi pula, sensasi nyaman dan lezat dari masing-masing orang dan kelompok juga berbeda. Ia dianggap hidup tidak berseni. Sayur tanpa garam. Falsafah kopi, dimana pahit bercampur manis dinikmati. Dari sudut pandang lain, rasa nyaman dan aman merupakan pilihan utama bagi kaum minoritas dalam hubungannya dengan keyakinan beragama.

Kita tidak mengatakan bahwa hidup nyaman hanya polesan luarnya saja. Hidup nyaman ternyata kamuflase dan palsu belaka. Seakan-akan hidup nyaman, padahal di dalamnya hidup tertekan. 

Nyatanya, kaum minoritas tidak pernah ditutupi jika terjadi diskriminasi dan kekerasan yang menimpanya.

Terlalu enteng jika ada kasus ketidaknyaman dibungkam oleh pihak tertentu. Di era medsos, nyaris tidak ada celah bagi setiap tindakan tidak beradab atas minoritas. 

Di zaman now, boleh dikatakan sekecil lubang jarum pun yang tidak luput dari sorotan media saat muncul pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) sembari cek bentuk perlakuan tidak adil terhadap kaum minoritas. 

Begitu sensitifnya, sehingga keberadaan dan isu minoritas bukan untuk dipermainkan. Ah, kita jauhkan dulu prasangka.

***

Belum lama berselang waktu, saya membaca sebuah judul berita di media onlen. Judulnya: "Hidup sebagai Minoritas, Umat Islam di Bali Tetap Nyaman Menjalankan Ibadah." 

Singkat kata, ada dua strategi yang dikedepankan dalam hubungannya dengan kerukunan umat beragama, di sana dan di sini.

Pertama, strategi toleransi. Sudah banyak ahli dan kalangan terpelajar melihat syarat toleransi sebagai strategi jitu untuk merekatkan kehidupan beragama. Tanpa diminta, tetangga, antum, dan bro akan terhindar dari adu mulut, cekcok hingga bentrokan kalau toleransi, saling tenggang rasa, dan saling menghormati antara satu sama lain sudah terpatri dalam sanubari umat beragama.

Kedua, strategi budaya. Setiap orang dan masyarakat punya budaya. Kehidupan beragama begitu kompleks karena salah satunya adalah budaya yang mengakar dan menyatu antara unsur murni dari dalam masyarakat dan unsur luar yang diserap oleh penganut agama. 

Budaya lokal yang mengakar dan tumbuh sejak ratusan tahun lamanya justeru saling menguatkan dengan tradisi yang datang dari luar.

Kita tahu, anak-anak di bangku sekolah sudah diajarkan, bagaimana pentingnya nilai agama dan nilai budaya sebagai perpaduan untuk menjaga kerukunan. Keduanya tidak saling bertentangan.

Nilai budaya leluhur selaras dengan nilai luhur agama. Di situlah syarat kenyamanan diperlukan sekaligus keintiman terjalin akibat keragaman budaya, agama, bahasa, suku, dan antargolongan.

Semuanya ada di Bali. Boleh dikata, Bali merupakan model "miniaturisasi" kebinekaan. Karena kerukunan dan toleransi dianggap sudah mendarah-daging sebagai bentuk keintiman masyarakat beragama di Bali, maka hidup nyaman pun bisa dirahi dalam kehidupan. 

Kita salut karena di Bali menjadi tolok ukur kebinekaan, terutama pandangan mayoritas terhadap yang minoritas. Sejauh ini, hidup nyaman dalam keintiman dengan jalinan kerja sama menghiasi kehidupan beragama. 

Ayo bro! Pingin hidup nyaman dan rukun antarumat beragama! Bali contohnya! 

Saking dahsyatnya, saya mengambil best practice, 'praktik terbaik' kerukunan umat beragama yang bikin hidup nyaman minoritas umat Islam di Bali. Kita angkat jempol bertubi-tubi. 

Kenyamaan hidup beragama datang dari keintiman yang tulus. Kondisi damai dan akur-akur saja antarumat beragama sebagai keintiman paling besar.

Tercatat penduduk beragama Islam di Bali sebesar 11,97 persen atau 520.244 jiwa dari 4.344.554 jiwa (BPS, 2023). Penduduk beragama Hindu sebesar 86,59 persen atau 3.247.283 jiwa.

Saudara dan antum tahu, di Bali, ada tradisi menarik dari kampung Kecicang, Karangasen, misalnya, yang masih belum membuat orang terkagum-kagum menyaksikan di media onlen atau di YouTube. Apa ya! Tari Rudat sebagai akulturasi alias perpaduan antara budaya Bali dan Timur Tengah. 

Kampung menjadi kampung yang hidup nyaman karena toleransi yang diintimi oleh warga muslim sebagai minoritas di Bali. Ini betul-betul sebuah mimpi yang indah dari dunia nyata.

Sekitar empat kampung Muslim sebagai bukti hidup nyaman dalam keragaman. Untuk kebutuhan, cuma kampung Kecicang. 

Selain itu, ada kampung Gelgel, Klungkung. Masyarakat di sana percaya kampung Gelgel sebagai kampung Islam tertua di Bali. Alasannya, Islam dibawa oleh pasukan Majapahit yang muslim ke kampung Gelgel sejak ratusan tahun yang lalu. Kita cuma bisa berimajinasi. Oh, ratusan tahun!

Kemudian, kampung Loloan, Jembrana. Usia kampung Muslim ini juga sudah ratusan tahun. Atas kebaikan hati penguasa Jembrana, I Gusti Arya Pancoran, kelompok Bugis beragama Islam diizinkan menempati wilayah Loloan. 

Kampung Pegayaman, Buleleng sebagai kampung muslim. Ia dihuni oleh banyak dari leluhur prajurit Bugis yang muslim. Uniknya, warga muslim suka tradisi subak dan banjar. 

Diberitakan, shalat Tarawih dilaksanakan sekitar pukul 22.00 dan nama-nama ala Bali melekat di depan namanya. Seperti Nyoman Abdurrahman, Ketut Abdul Karim, dan sejenisnya makin memperkaya khazanah budaya Bali dengan identitas muslim.

Warga muslim sebagai minoritas bangga. Gumanku membatin. Semoga saja umat Islam yang mayoritas di tanah air mencontohi dan memperlakukan hidup nyaman bagi warga minoritas, seperti di Bali!

Semua bisa menyaksikan wujud hidup nyaman minoritas muslim di level atas hingga akar rumput. 

Semua bisa lebih paham bahwa tuduhan Islam sebagai agama teroris itu ngawur. Tak diragukan, umat Hindu sebagai mayoritas di Bali begitu toleran dan kasih sayang memancar keluar ke warga minoritas. 

Saya sadar, saya pun sepakat. Secara pribadi, sudah tiga kali saya mengunjungi Bali (di kepala saya, Bali adalah paling cocok sebagai daerah yang ramah agama, etnis atau yang lainnya. Kita tidak bisa habis pikir, bagaimana bisa umat Islam dan umat beragama minoritas lainnya menjadi warga terkucilkan dari pergaulan kalau selama ini hanya sepotong-potong mengetahui agama dan umatnya, yang jumlahnya juga seujung kuku).

Akhirnya, obrolan di medsos tentang reseh, sinis, dan ujaran kebencian lebih baik ditujukan ke layar dan ke diri kita sendiri.

“Hei, elo, sang pengusik hidup nyaman! Usahlah rame-rame bacot soal teladan hidup nyaman di Bali! Catat, ya, kami minoritas hidup nyaman, intim, di sini!”

Syukurlah. Kita menyambut kabar baik itu dan diharapkan langgeng selamanya dalam hidup rukun dan saling menyayangi. Kami yang jauh dari mata, dekat di hati dengan warga minoritas dan masyarakat Bali yang bermartabat tinggi. 

Betul, bukan sebatas berita, mata batin juga nyata saat warga minoritas masih tetap hidup nyaman, sekalipun banyak paham dan keyakinan beragama. Makin sering kita mendengar dan membaca, makin banyak hal yang mesti kita pahami.

Menyangkut himbaun Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Bali terkait pelaksanaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Caka 1946 itu perlu dihormati dan diindahkan oleh umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Tepatnya, puasa Ramadhan 1445 diperkirakan bersamaan Hari Raya Nyepi jatuh pada Senin (11/3/2024).

Karena itu, Ketua FKUB Provinsi Bali Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet menyerukan agar umat Muslim di Bali kiranya berkenan agar ibadah shalat tarawih di masjid terdekat atau di rumah masing-masing selama Hari Raya Nyepi berlangsung. Kita setuju sepenuhnya. 

Mas-mas, daeng-daeng, puang-puang, bapak-bapak, ibu-ibu, dan mbak-mbak mintol, minta tolong hargai agama Hindu yang lagi merayakan Hari Nyepi. Barang sehari saja. Selebihnya, puasa dan tarawih Ramadhan dipersilahkan di rumah atau di masjid. Oke deh!

Lampu hijau bagi kita semua! Salah paham minoritas atas mayoritas tentu berbeda dengan guyonan. 

"Orang beli kulkas, tetangga yang kedinginan." Hidup nyaman berlaku bagi siapa saja, tanpa kenal merek. Kecuali orang yang betul-betul kambuhan busuk hati begitu doyan melihat orang lain hidup susah.

Untuk merahi kenyamanan hidup, maka kaum minoritas perlu dicumbuhi lewat keintiman. Syarat kenyamanannya, diantaranya mereka bukan sebagai warga asing. 

Keintiman tidak berarti berhubungan jasmani. Mimpi apa kita semalam, jika seandainya keintiman sebatas hubungan aneh-aneh. 

Istilahnya, keintiman nanti "salah tafsir bersin baginda." Cara memahami minoritas apakah nyaman atau tidak lewat apa yang menjadi nilai kemanusiaan.

Apa yang disenangi oleh setiap orang itu juga menjadi nilai bagi kaum minoritas. Sebelum tuts-tuts ponsel ini berhenti dipencet, ada satu atau dua pertanyaan. 

Sejak kapan ada istilah minoritas dan mayoritas? Haruskah juga disebut mayoritas setelah minoritas atau sebaliknya? Maksudnya?

Bersikap ramah dan santun terhadap sesama warga jauh lebih penting daripada berperangai kasar dan julid, judes lidah. Biar pun berbeda keyakinan kalau enak bertetangga jauh lebih nyaman ketimbang sekeluarga yang jahil. Awalnya teman, akhirnya menjadi musuh dalam selimut.

Selera dan keyakinan boleh beda, tetapi jangan ada dusta di antara kita. Sejauh ini, minoritas hidup nyaman secara terpaksa menjadi contoh yang tidak terdengar menyenangkan.

Satu sisi, setiap orang ingin dihargai. Bagaimana kalau orang bikin status di medsos yang menghina orang yang punya keyakinan berbeda. 

Di sisi lain, boleh saja setiap hinaan dan celaan "dijogetin," tetapi tidak semua orang bisa diperlakukan dengan senonoh dan sama.

Secara normatif, ada ungkapan seperti ini. Jangan cubit orang lain, jika Anda sendiri tidak ingin dicubit. 

Atas nama kebebasan, kita tidak pantas dengan sengaja menyetel suara musik yang memekakkan telinga atau kendaraan berknalpot brong, yang bisa mengganggu tetangga sedang beribadah.

Jika kita menolak konsep apalagi tindakan tentang minoritas dan mayoritas, maka paling tidak ada lagi oposisi duaan. Yang ada hanyalah mereka sekaligus kami. Pedihnya adalah pedihku, lukanya adalah lukaku dalam hubungan kemanusiaan.

Di kepala, kita jangan lantas menari-nari di atas fantasi berahi dalam hubungannya dengan keintiman. Di benak kita, jangan membayangkan soal kenyamanan minoritas lewat keintiman dengan berhubungan badan. Pokoknya, keintiman di tengah kenyamanan minoritas bukan perkara "orang dalam" dan "orang dalam", "aku" dan "Anda," yang saling berhadap-hadapan. Hal itu sebagai pikiran kelewat norak. 

Oh maigad! Sensor film lewat. 

Keintiman sebagai syarat kenyamanan minoritas dibayangkan lantaran sebelumnya terjadi konflik atau permusuhan antara satu dengan lainnya. Ia bukan pula ditafsirkan semacam head to head, kelompok satu lawan kelompok yang lain, sehingga keintiman sebagai cara ampuh untuk mengatasi ketidaknyamanan sebelum titik kenyamanan minoritas di tengah kelompok mayoritas dicapai.

Teori simpelnya, bagaimana? Keintiman ditandai dengan perlindungan atas hak-hak dan penghargaan atas perbedaan.

Dari titik tolak itu, saya kira, setiap orang (beragama) tahu diri dan paham posisi.
Begini. Ibadah puasa dan shalat tarawih Ramadhan sebagai ikhtiar bersama untuk saling menghormati. Puasa Ramadhan dan Hari Nyepi sebagai ruang dialog dan cara saling mengenal.

Kendatipun sudah ratusan tahun Islam hadir, masih banyak orang yang belum kenal dan paham Islam secara mendalam dan luas di Bali. Tidak sedikit mispersepsi dan nada miring, sehingga ruang dialog terbuka untuk dipahami. 

Di ruang dialog antarkeyakinan itu kita melebur dengan wajah-wajah ceria saat mendengar orang azan, melihat orang shalat termasuk puasa Ramadhan dan ibadah umat Hindu juga berkali-kali berdialog antarsesama. Ruang dialog seiring dengan ruang hidup nyaman.

Segala keintiman yang datang dari rasa damai dan rukun yang selama ini terserap dalam pengetahun dan kepercayaan itu menyembulkan hidup nyaman. 

Nah, saya pikir dalam ruang dialog akan lebih terbuka jika posisi warga muslim juga memulai dari apa yang sudah terbangun selamanya. 

Tanpa sungkam-sungkam tidak mustahil umat Islam menyambungkan persaudaraan dengan umat Hindu dan umat lainnya, diantaranya untuk mengunjungi ke tempat buka puasa Ramadhan atau menggelar peribadatan di sekitar masjid.

Begitulah cara untuk membuka ruang dialog antarsesama warga bangsa. Kita saling mengunjungi dan saling berdialog menuju keintiman agar hidup ramah bisa lebih terjamin. Akhirnya, hidup nyaman antarumat beragama bisa lestari dan makin menggairahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun