Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Usah Terlalu Baper Jika Presiden Berkampanye

26 Januari 2024   10:33 Diperbarui: 1 Februari 2024   16:01 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semakin dekat pemilihan presiden, semakin "hot" saja isu kontroversial yang merebak tak tertahankan. Isu itu seputar boleh tidak dan pro kontra presiden berkampanye dan memihak ke salah satu calon presiden dan calon wakil presiden. Pernyataan kontroversial itu merangsang politisi, pegiat, tim pemenangan, pengamat, calon wakil presiden, KPU hingga ruang warganet nimbrung berkomentar.

Mengapa muncul pernyataan kontroversial, yang pro kontra dari Presiden Jokowi? Momen pernyataan itu bagai magnet, bukan sembarang sabda.

"Jokowi: Presiden Boleh Kampanye dan Memihak asal Tak Gunakan Fasilitas Negara." Begitu judul artikel berita dari Harian Kompas (24/1/2024). Kemungkinan besar saya tidak menelisik pasal apa, ayat berapa dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang membolehkan Presiden berkampanye dan pasal berapa yang dibaca secara sepotong-potong atau ditafsirkan secara sepihak. 

Biarkanlah logika hukum berbicara lewat pakar hukum!

Usai saya dan Anda baca Pasal 281, Ayat 1, memang di situ ada dua syarat bagi presiden dan pejabat negara di bawahnya dibolehkan berkampanye dengan dua syarat. "Tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan." Itu yang pertama. Yang kedua: "menjalani cuti di luar tanggungan negara." 

Saya sengaja mengutip 24 karat bunyi Pasal 281, Ayat 1. Sebuah kutipan yang bukan bola benjol. Selebihnya, mohon dibaca, wahai orang-orang yang bermedsos!

Demikian besar harapan kita pada Presiden Jokowi akan membawa perubahan. Lalu, tiba-tiba Jokowi putar terapi kejutan jelang hari H Pemilihan Presiden.

Apa gerangan? Wadduh! Jokowi ternyata buat pernyataan aneh-aneh. Pernyataan Jokowi tersambar sebagian orang melihat dengan kaca mata yang berbeda. 

Taruhlah misalnya, kita analogikan kaca mata. Oh iya, permisi! Ada seseorang berkaca mata kuda, cekung, dan cembung. Ada kaca mata tiga dimensi. Jokowi berusaha melihat dengan kaca mata tiga dimensi. Sebagian orang menilainya sebagai pembenaran untuk memuluskan jalan dan memenangkan calon presiden dan calon wakil presiden tertentu di Pilpres.

Si jago dari tim pemenangan lain melotot karena kaca mata cekung atau kaca mata kuda setelah membaca pernyataan Jokowi. Saya kira, kasus ini sejenis cocoklogi pada pihak yang lagi geram. 

Kaca mata mereka serupa suara ngeong kucing menjerit terinjak ekornya. Masih ada satu menit dan 2 kali 24 jam memakai kaca mata bagi saudara di grup sebelah. Suit suit! Mantul bro!

Lantas, semua orang terancam nyelutup. Saking dongkolnya, seorang berkata: "Ambil semua saja, Jokowi!" Dengan ingatan tak terlupakan tentang om Gibran, Anwar Usman mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dianggap biang dari semrautnya aturan main politik. Mulai dari batas usia, netralitas hingga melenggangnya pejabat berkampanye politik.

Kira-kira jari kita yang bermain di atas tuts-tuts terperosok ke bawah layar ponsel gara-gara serunya berkomentar di medsos seraya lebih senang berisik bicara soal setuju atau tidak atas pernyataan Jokowi. Berita dari media soal pernyataan Jokowi masih hangat. Ada orang yang menganggap Jokowi itu plintat-plintut dan ngalor-ngidul.

Mereka yang menilainya tidak konsisten tidak kalah betenya. Masa kampanye calon presiden dan calon wakil presiden diplesetkan. Mari kita perhatikan kata-kata di layar ponsel. "Ganjar kampanye, Ganjar keliling, Anies kampanye kampanye, Anies keliling, Prabowo kampanye, Jokowi keliling." Setelah saya membacanya, saya hanya tersenyum. Ia sebatas lucu-lucuan bercampur aduk ejekan. Celaka 12! Kita geregetan dan mencak-mencak dibuatnya karena pernyataan Jokowi.

Menurut KPU, masa kampanye berlangsung dari 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024.  Dalam kurun waktu itu, terdapat manuver, blunder, isu, pernyataan, dan perkembangan elektabilitas calon presiden dan calon wakil presiden. Jangan lupa, ada pernyataan mewah dan meriah. Mewah karena pernyataan Jokowi diliput oleh media mengundang silang pendapat. Silang pendapat itu berkelas tinggi.

Terekam, suatu hari diucapkan tidak boleh berkampanye dan memihak, di hari berikutnya lain diucapkan boleh berkampanye. Hal ini, bukan soal tidak konsisten dan bohong. Itulah politik, ia tidak ajeg. Kita malah bingung, kalau permainan politik serupa permainan kata-kata. Ia tidak pasti, tetapi membuat deg-degan dan percaya diri.

Sampai akhirnya, presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota dan pejabat negara lainnya hingga kepala desa bisa kampanye sambil memihak ke salah satu calon presiden dan wakil presiden yang didukung oleh Jokowi. Dalam benakku, ini betul-betul permainan Jokowi yang nyentrik. Ini juga gara-gara si Akbar. 

Eitss! Kampanye akbar 8-10 Februari 2024 yang saya maksudkan. "Bumbu penyedap" itu bernama "Presiden boleh kampanye dan memihak." Di puncak kampanye akbar bakal panas dan di situlah pernyataan Jokowi diuji. Termasuk apakah Jokowi sebagai presiden sedang cuti.

Satu hal lagi. Pernyataan Jokowi tuai sorotan dan komentar, dari kiri kanan, diantaranya dari pegiat. Berikut sorotan dari pegiat. Kita simak apa yang dinyatakan oleh Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati.

"Ini berpotensi akan menjadi pembenaran bagi presiden sendiri, menteri, dan seluruh pejabat yang ada di bawahnya, untuk aktif berkampanye dan menunjukkan keberpihakan di dalam Pemilu 2024."

Bagaimana dengan sorotan pengamat atas pernyataan Jokowi? Kita ambil satu komentar pengamat tentang soal tersebut. Dia adalah pengamat dari Universitas Diponegoro, Wahid Abdulrahman. "Menurut saya berbahaya. Karena kita akan sulit melihat apakah ini dalam konteks presiden atau 'tim pemenangan anaknya' dan tentu aksesnya jadi sangat tidak bagus, apalagi berkaitan dengan penggunaan fasilitas negara," kata Wahid.

Tidak ketinggalan komentar dari calon wakil presiden. Yang satu ekspresi dari Muhaimin Iskandar dan yang lainnya dari Mahfud MD.

Apa yang dikatakan oleh kedua calon wakil presiden tersebut? Inilah komentar dari keduanya. Dari Muhaimin: "Kalau tidak cuti, repot. Akhirnya terjadi ketidakseimbangan." Sementara dari Mahfud MD: "Ya nggak papa kalau presiden mengatakan begitu, silahkan saja. Mau ikut atau enggak, itu, kan, terserah." 

Yang saya baca arah dari tanggapan Muhaimin lebih cenderung menegaskan agar Jokowi mesti cuti dalam berkampanye. Dia harus memiliki kata pasti ya atau tidak. Cuti selama masa kampanye lebih elok secara hukum.

Bagi Mahfud nampaknya lebih memberi hak pilih bebas, cuti atau tidak, ikut kampanye atau jangan. Pilihan bebas ingin kampanye atau cuti dari Jokowi itulah yang dinantikan.

Untuk aparatur sipil negara (ASN), silahkan cuti tahunan. Bagi pria, tolong hindari cuti hamil (jangan ngakak, ya masse!). Di antara warga yang peduli nasib bangsa, anggaplah sentilan, kritik, umpatan hingga caci maki sebagai bunga-bunga kehidupan politik.

Memangnya medsos sebagai ruang win-win solution? Selama ini, ia hanya ruang hitam putih, berdandan, curhatan, dan berdebat kusir! Amat langkah untuk ruang damai di medsos. Di luar panas, kita juga di dalam ikut panas. Padahal mereka tertawa perlu dibalas oleh warganet dengan tidur, enak tenang.

***

Seandainya Prabowo Subianto dan Mahfud MD sebagai Menteri tidak cuti. Ini bisa menjadi blunder. Para tetangga dan sohib pada omong soal kenapa menteri-menteri yang nyapres tidak dari awal cuti?

Kita tidak tahu persis apa isi kepala mereka. Karena seturut prasangka, kita bisa saja berkomentar soal belum cutinya pejabat negara yang ikut kontestasi pilpres mungkin jaim. Atau mereka menunggu protes besar-besaran? Entahlah!

Semestinya Jokowi sebagai presiden yang duluan cuti, baru setelah itu menteri yang ikut kontestasi Pilpres "mengekor" ke presiden. Nggak pura-pura orgastik, tetapi agak kocak, bro! Lah, kocaknya dimana? Ah, masak iya, Presiden Jokowi "dilambung kiri" oleh Mahfud MD untuk cuti, misalnya. Selayaknya presiden memberi contoh lebih dahulu, baru kemudian menteri atau pejabat negara ikut di belakangnya. Kalau ini terjadi malah lebih asyik. Saya kira, sebagian besar orang akan simpati atas cutinya presiden, menteri, dan pejabat negara lainnya lantaran cuti saat kampanye. Ini baru jempol!

Tetapi, seperdelapan parahnya lagi, kalau pejabat negara termasuk Presiden dan Menteri tidak cuti, maka mereka tidak dikenakan sanksi hukum. Ya, ampun! Anggaplah Presiden Jokowi sebagai pejabat negara sekaligus pejabat politik disorot oleh pihak lain ternyata "salah tafsir bersin baginda." Apa iya sejauh itu perkaranya? Iya, mustahil tiba-tiba muncul pernyataan yang bikin heboh jagat politik tanah air.

Dari pihak istana juga sudah angkat bicara soal pernyataan Presiden Jokowi. Salah satu alasannya, Jokowi punya referensi dan konteks yang tidak melanggar aturan main, yang menabrak rambu-rambu aturan main. 

Oh, begitu, bro! Kalau tidak percaya, silahkan kita bolak-balik membaca aturan main yang memungkinkan presiden dan pejabat negara lainnya bisa berkampanye.

Jangan-jangan pernyataan Jokowi tersebut hanya permainan. Wah wah, pantasan tis mainannya! Ya, fantastis maksudku. Tahulah, mendongkrak elektabilitas calon presiden dan wakil presiden agar bisa menang satu putaran bukan lewat press ban. Bisa lebih payah nih; wele-wele ia bukan tambah angin, gaes! 

Eh, sebut dong siapa nama capres dan cawapresnya, biar warganet tidak kepo setengah mati? Prabowo dan Gibran kan yang dimaksud antum? Orang tua siapa yang tidak sayang anak? Sayang anak, sayang anak melebihi aturan main menjadi satu motif "mini" di balik skenario jumbo, sehingga Jokowi beralasan untuk berkampanye dan memihak kepada satu pasangan calon.

Siapa juga yang tega menelantarkan anaknya di pusarat politik pemilihan presiden. Jangankan di arena politik, urusan periuk nasi sehari-hari pun menjadi tanggungjawab orang tua. Kita melihat Jokowi mustahil diam terpaku melihat anak kandungnya Gibran Rakabuming Raka bertarung sendirian. Ada memang tim atau relawan Gibran, tetapi berapa besar kekuatannya.

Dari sini, ada efek Jokowi menjadikan kekuatan Prabowo-Gibran berlipatganda dalam politik pemilihan presiden. Jadi, sekiranya ada Jokowers, ada pula Gibraners atau Gibran lovers. Coba lagi kita lihat, terutama di daerah-daerah, malah pejabat, seperti bupati atau walikota maupun kepala dinas lebih mementingkan anak-anaknya agar menjadi pegawai atau menduduki jabatan tertentu. Kalau mereka pantas dan berkompeten, mengapa tidak?

Begitulah yang sering kita dengar dan menyaksikan kejadian serupa. Apalagi kalau cuma perusahaan keluarga. Nah, orang pasti membantah soal urusan pribadi atau keluarga sangat berbeda dengan urusan dinas.

Sorotan tajam pada Gibran lebih berat soal etika daripada logika politik. Buktinya apa? Berbagai serangan dan nyinyir dari pihak lain pada Prabowo-Gibran justeru mereka bertambah bersinar.

Elektabilitas mereka lebih unggul atas kompetitor lainnya, Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. Baik itu hasil rilis lembaga survei maupun versi pilihan riil dari masyarakat luas akan membuat kita melongoh sekaligus tersenyum hingga dongkol. Itulah fakta dan kenyataan yang kita hadapi. 

Semakin sering pihak lawan mengoceh, menyerang bahkan kritik intelektual terhadap Prabowo-Gibran justeru tidak membuat elektabilitasnya ambyar. Suara dukungan kepada mereka tidak terpelanting, malah semakin terpenting. Jokowi, Prabowo dan Gibran sisa butuh enam sampai empat persen mendekati satu putaran. Hea, hea!

Meskipun Jokowi sebagai presiden, dia tetap memilih urusan keluarga itu nomor wahid. Kebijakan dan blusukan Presiden Jokowi berjalan sudah klop dengan perkara capres-cawapres yang didukungnya. 

Urusan pemerintahan atau pembangunan seantero Indonesia tidak berarti kurang perhatian dari seorang presiden. Urusan keluarga ditangani sebagaimana urusan negara ditunaikan. Sejauh ini, kita tidak bermaksud membela pada Prabowo-Gibran atau memihak paslon lainnya. Atau jangan berprasangka macam-macam dulu. Kita lihat saja tanggal mainnya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun