Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Betapa Indahnya Retorika Pemilu Damai Saat Baliho Dicopot

3 November 2023   16:53 Diperbarui: 11 November 2023   16:31 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Baliho bacapres-bacawapres Ganjar-Mahfud (Sumber gambar: kompas.com)

Sekian kali terjadi riuh rendah di tahun politik. Yang riuh dan ramai seperti datang dari baliho. Banyak orang melihat pajangan atribut secara perorangan maupun partai politik. Alih-alih panen rezeki karena pihak percetakan banyak orderan buat spanduk, baliho, dan sejenisnya.

Andaikata ada festival perayaan tahunan, maka baliho yang tampil menawan itulah juaranya. Bahkan kita melihat lebih ramai daripada perayaan Agustusan. 

Kalau peringatan Agustusan masih mending bisa bendera atau umbul-umbul kurang lebih sebulan telah berkibar.

Masih jauh dari masa pendaftaran dan masa kampanye, baliho dan atribut lainnya bertebaran. Memang, aturan tidak ada yang dilanggar karena sebatas sosialisasi kandidat. Termasuk tidak ingin kalah baliho bakal calon presiden terpajang dengan gagahnya. 

Kita paham, hajatan pemilihan umum sekali dalam lima tahun. Wajarlah, berjajar baliho-baliho sepanjang mata memandang.

Kini, atribut siapa yang digadang-gadang sebagai calon pemimpin nasional pun tidak luput dipasang di tempat-tempat srategis. Mulai di perempatan jalan, di sudut jalan, di depan alun-alun hingga di jalan protokol dengan ukuran billboard. Semakin keren balihonya, semakin wah ongkosnya, seperti pasangan atribut di billboard. Harganya jutaan dalam sebulan.

Kalau billboard dianggap oleh sebagian orang punya hitungan tersendiri. Di benak sebagian orang bergelayutan pertanyaan. 

Yang pasang gambar wajah bakal calon presiden di billboard langsung ditebak pasti punyai duit banyak. Tidak jarang juga bakal calon legislatif partai blablabla bersanding dengan bakal calon presiden tertentu.

Pandangan dan persepsi pertama dari warga muncul berkaitan dengan tampilan dan ukuran atribut. Kalau baliho berukuran jumbo, umpamanya ukuran dua sampai tiga kali lima meter, saya kira butuh ongkos banyak. 

Belum sampai disitu, hitungannya terkait berapa jumlah titik pemasangan baliho. Sebutlah tiga puluh titik pemasangan baliho.

Harap maklum pemasangan baliho dan atribut lainnya sudah menjamur di mana-mana. Semakin menjelang pemilihan umum justeru makin marak atau bertambah jumlah baliho, misalnya. Baliho dengan segala tampilan menambah keseruan.

***

Kita tahu, ketidakpahaman dan ketidakondisian sewaktu-waktu bisa memanas, sekalipun ia dianggap sepeleh. Bukan apa-apa bapak ibu. Lha, wong petugas penertiban cuma turut perintah atasan. 

Sebetulnya, petugas yang berwewenang tidak keliru lantaran mereka tidak dicuci otaknya untuk menolak pasangan capres dan cawapres. Aparat pemerintah daerah nggak pernah terusik karena baliho terpajang. 

Mereka hanya siap gerak. Aparat tidak diajarkan untuk memaksakan kehendak pada yang tidak sesuai dengan usungan bos-bos di atas.

Atas bekal yang kurang memadai, pihak tertentu mana bisa kita paham apa itu baliho yang bukan pilihan bos atau atasan. Mereka hanya ikut dan menjalankan tugas ini dan itu. Ada sekian pihak pendukung salah satu capres-cawapres dengan persepsi dan pemahaman yang berbeda. Cuma itu. Kita yakin, menghadapi perbedaan perlu kesiapan mental.

Begitu kita mengobrol soal baliho membuat pihak lain merasa terganggu. Saya kira, kita perlu memberikan pemahaman. Kalau tidak paham dan itu membuat pihak lain tidak nyaman sampai tidak tidur nyenyak, maka sebaiknya baliho diturunkan oleh partisan atau pendukungnya sendiri.

Sisanya, komunikasi yang efektif yang perlu dibangun oleh antarpihak. Kita melihat, banyak masalah muncul justeru karena tidak terbangun komunikasi. Soal baliho sebagai tanda ekspresi. Ketersinggungan bisa redah lewat ekspresi segar. 

Lebih elok momen penurunan baliho dilakukan oleh pendukung atau relawannya sendiri. Sejauh komunikasi yang jitu, saya kira tidak ada kesalahpahaman soal baliho. Ribut tidak pernah terlintas di kepala kita kalau dikomunikasikan lebih awal.

Sensasi rasa pusing kita bukan berkurang, malah kian berlipat. Kita tidak perlu penjelasan panjang kali lebar soal kenapa baliho dicopot. "Eh, copot baliho bukan kerja wong cilik toh, mas?" Sebut saja begitu pada saudara-saudara kita yang berbeda pilihan politik.

Baliho berpartisipasi sepenuhnya dalam pengenalan personal. Ia tidak bergantung pada penilaian umum dan obyektif. Baliho dan atribut lainnya bukan soal sosok tokoh pelanjut lawan sosok kandidat. Baliho apalagi berfose pasangan calon presiden dan calon wakil presiden lebih ekspresif dari pada ekspresi lainnya.

Coba kita bayangkan, berita tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden lebih heboh dibandingkan berita inflasi atau pemerkosaan di satu daerah. Berita capros-capres lebih bermagnet daripada tulisan bertema agama. "Wah, tulisan seputar pemikiran agama itu kanda kurang peminatnya. Kawan-kawan lebih melirik pada politik pemilu alias pilpres." Begitu kata kawan di grup Whatsapp saat saya kirim tulisan. Kalau kita terganggu dengan baliho, lha, sudah bukan rahasia umum. Tahun ini tahun politik.

Tahun politik itu musimnya baliho. Terus, kita mau pasang baliho dimana? Di laut atau di awan? 

Kalau begitu caranya agar tidak mengganggu pihak lain, lebih baik bikin aturan baru deh! Begitulah kalau kita terjatuh dalam wujud absurd. Padahal, letak baliho bisa diatur dan tidak mengganggu.

Lagi pula, siapa saja yang memasang baliho tidak membuat baliho lainnya ikut terganggu. Saya tidak tahu, mau ditaruh dimana kepala kita. Apa betul otak kita ditaruh di dengkul. Ini semakin ambyar cara berpikir kita.

Oh, si anu lebih gagah dari sosok-sosok di baliho lainnya dan kenyataan baliho menandakan justeru tidak sreg dan menyenangkan bagi pihak lain. Kita tahu soal baliho adalah sosialisasi relatif terhadap kepentingan politik. 

Artinya, baliho berfungsi sebagai pertukaran simbolik. Dulu, perkenalan dan popularitas lewat bukan baliho. Dia mungkin akan dikenal lewat surat kabar, majalah, dan sejenisnya. Sekarang, baliho dibuat lewat percetakan digital dengan ukuran, bentuk, dan warna yang bervariasi.

Aduh, sayangnya. Masih ada pihak yang kurang doyan memakai pikiran logis dan rasional. Ada saja oknum yang tidak bersyukur dengan nalar. Sebaliknya, sedikit-sedikit reaksioner dan emosional. Yang kita cari kepala bisa panas, hati tetap sejuk.

Tentulah semua punya tantangan saat kita berbeda pilihan politik. Dari sesama anak-anak muda cukup mengerti atas kondisi panas adem politik. "Santai dan tenang aja hadapi capros-capres bestie. Lo kenapa jadi bete abis, yang capros-capres santai dan biasa-biasa aja. Kenapa lo yang ribut, siapa yang dapet?" 

Makanya, kita masyarakat pemilih lebih adem dan santai saja menghadapi perbedaan pilihan politik.

Segala sesuatu yang kacau hanya karena remeh-temeh atau sejenisnya dengan bebas kita tergelincir dalam dunia baliho. Antarpendukung bisa berkelahi demi baliho menjadi semacam "lubang hitam." Karena itu, kita tidak lagi berpikir jernih dan berlapang dada hanya karena baliho tertentu dipasang. Mestinya, baliho dan atribut lainnya sebagai ruang kreativitas. Ia bukan sumber perselisihan. Kasihan, apa kata tetangga soal baliho. Mereka akan menilai kita layaknya kekanak-kanakan gara-gara baliho dicopot.

Menurut hemat saya, baliho pasangan capres dan cawapres selalu seia sekata dengan politik. Baliho dari dan untuk kepentingan. Di luar itu, ia merupakan barang yang naif. 

Tetapi, untuk semua pendukung capres dan cawapres, Anda bisa saja salah paham tentang baliho karena Anda memiliki kepentingan politik yang berbeda. Kita lebih khawatir jika baliho yang diturunkan berangkat dari pertentangan politik akibat "pangsa pasar" pemilih yang tidak seimbang antara satu dengan lainnya.

Begitulah kesalahpahaman dan kegalauan melanda kita, yang sebetulnya kita lebih lugu dan lucu amat daripada anak kecil yang bermain umpet-umpetan. Mestinya juga, baliho sebagai bentuk riang gembira. Lho kok kita bisa ribut karena baliho? Lha iya, apa iya masuk akal? Duduk perkaranya dimana? Apa dari berita politik melulu?

Nyatanya, kejelasan berita sudah sejelas-jelasnya. Kita bisa hening cipta sekaligus kita bisa tertawa bercampur malu tersipu-sipu. Bagaimana bisa terjadi?

Terkait pencopotan baliho pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang beritanya mencuat dalam sepekan ini. Kita tidak menyediakan hasil identifikasi. Kita tidak mengulik beritanya. Meski terbatas pada berita berbasis ketelitian, maka kita bisa menjaga jarak yang sama dengan semua pasangan capres dan cawapres.

Kita tidak bermaksud membela dari salah satu capres dan cawapres. Kita hanya ingin melihat kepentingan jangka panjang. 

Mungkin kita tidak berbuat kasar hanya karena pihak lain sebagai musuh. Kita setuju, baliho dari pasangan capres dan cawapres bukan sosok teroris, yang diperlakukan semena-semena. Ini kita anggap hanya imajinasi yang ngawur.

***

Secara subyektif, suasananya lebih berbeda saat kita menilai politik dinasti saat Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal calon wakil presiden Prabowo Subianto. Acuh-acuh beibe. Gibran jalan terus. Peduli amat yang lain. 

Tidak sedikit pengamat dan analis politik yang berbicara tidak seperti biasanya. Lebih berbeda lagi urusannya, jika undur diri yang datang secara otomatis berarti tanpa menunggu keputusan secara tertulis atau lisan.

Seseorang keluar dari lembaga resmi karena dia sudah di tempat lain tanpa melalui rapat pimpinan. Meski diucapkan, dia keluar atau undur diri lantaran punya alasan dan skenario tersendiri.

Secara de facto, menurut pengakuan PDI Perjuangan, Gibran Rakabuming Raka sudah berakhir secara otomatis tatkala menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto. Gibran sebagai bacapres yang diusung oleh KIM (Koalisi Indonesia Maju). Gibran secara tersirat mengeluarkan dirinya sendiri.

Buktinya, secara politis, Gibran tidak secara gamblang menarik diri dari PDI Perjuangan. Konstelasi politik panas adem menyamarkan politik dinasti Jokowi. Itulah kepentingan politik yang bercokol agak sulit diterka.

Urusan menjadi aneh saat pihak berwewenang enteng mencopot atribut politik tertentu. Mereka bukan karena tidak doyan atribut politik. Sementara, pihak lain pakai "otot" lewat kuasa untuk membereskan atribut politik.

Jadi, kita tidak menyalahkan siapa-siapa. Pihak yang satu bertumpu pada kekuatan instruksi pimpinan. Pihak yang kedua, tidak tersinggung oleh tangan aparat karena itu atas perintah pejabat tinggi di daerah tersebut. Pihak yang memiliki baliho bergambar bacapres dan bacawpresnya hanya berekspresi kurang sedap dan tidak senang.

Mereka (pendukung Ganjar-Mahfud) menyesalkan cara penyelesaian yang tidak tepat dan layak. Satu alasan kenapa baliho mereka dicopot oleh aparat dikait-kaitkan dengan kepentingan politik capros-capres. Kita mungkin tidak tegang, tetapi pihak yang merasa dirugikan tentu menyikapinya dengan cara yang berbeda.

Apa pelajaran dari soal baliho? Pelajaran penting ketika Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Bali mencopot sebuah baliho bergambar pasangan Ganjar-Mahfud sebagai bakal calon presiden dan bakal wakil presiden dari PDI Perjuangan tidak terulang lagi (31/10). Peristiwa itu terjadi menjelang kunjungan kerja Presiden Jokowi di Bali.

Marilah kita bersama-sama menghargai perbedaan pilihan politik. Ingatlah, pelangi itu indah! Apa bukan gombal ala lagu romantis? Tidak saudara. 

Sekali lagi, siapapun pasangan bacapres dan bacawapresnya, perlakuan politik yang rukun itu tidak rumit. Yang bikin rumit kita sendiri. 

Ganjar-Mahfud lovers akhirnya bisa mengusap dada atas kesalahpahaman saat baliho dicopot oleh aparat yang hanya menjalankan perintah atasan. Kita berharap lebih pada pilihan bebas ketimbang dalih netralitas, tanpa retorika politik basa-basi.

Istilah orang, jabatan atau politik kuasa tidak lebih dari "daki." Ia dipuja dan dikutuk. 

Kuasa seyognyanya sebagai anugerah dan sesuatu yang produktif. Ia bukan untuk dirampas dan dimiliki seumur hidup. Ia datang dan pergi.

Gara-gara tidak terima perbedaan gambar kandidat, baliho direnggut demi orang besar akan berkunjung. Apa salah dan dosa baliho? Saya tiba-tiba termanggut-manggut, campur heran, kenapa baliho jadi sasaran.

Tenang saja. Kita tahu, mau atau tidak mau baliho dan atribut lainnya akan dicopot oleh aparat. Kalau sudah usai masa kampanye, biasanya ada masa untuk menurunkan baliho. Itu so pasti.

Akhirnya, kita akan menikmati minggu tenang. Kita tenang, tenang, dan tenang sampai menuju hari pencoblosan. Di tempat mana lagi? Di masing-masing TPS. Di sana, baliho tinggal bayangan belaka.

Lantas, apa daya baliho? Pendukung bertengkar, salah satu calon presiden dan wakil presiden terpilih. 

Yang terpilih untung, pendukung buntung kalau kisruh. Kita berusaha untuk tidak mengulangi kata-kata yang tidak produktif. Meniru gaya obrolan warganet. "Dasar tukang rese!" Ini jenis ujaran memang tidak pantas karena bisa memicu konflik lain dan bisa bertambah runyam masalah. Kita terus berharap, mudah-mudahan Pemilu berlangsung aman dan damai. Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun