***
Kita tahu, ketidakpahaman dan ketidakondisian sewaktu-waktu bisa memanas, sekalipun ia dianggap sepeleh. Bukan apa-apa bapak ibu. Lha, wong petugas penertiban cuma turut perintah atasan.Â
Sebetulnya, petugas yang berwewenang tidak keliru lantaran mereka tidak dicuci otaknya untuk menolak pasangan capres dan cawapres. Aparat pemerintah daerah nggak pernah terusik karena baliho terpajang.Â
Mereka hanya siap gerak. Aparat tidak diajarkan untuk memaksakan kehendak pada yang tidak sesuai dengan usungan bos-bos di atas.
Atas bekal yang kurang memadai, pihak tertentu mana bisa kita paham apa itu baliho yang bukan pilihan bos atau atasan. Mereka hanya ikut dan menjalankan tugas ini dan itu. Ada sekian pihak pendukung salah satu capres-cawapres dengan persepsi dan pemahaman yang berbeda. Cuma itu. Kita yakin, menghadapi perbedaan perlu kesiapan mental.
Begitu kita mengobrol soal baliho membuat pihak lain merasa terganggu. Saya kira, kita perlu memberikan pemahaman. Kalau tidak paham dan itu membuat pihak lain tidak nyaman sampai tidak tidur nyenyak, maka sebaiknya baliho diturunkan oleh partisan atau pendukungnya sendiri.
Sisanya, komunikasi yang efektif yang perlu dibangun oleh antarpihak. Kita melihat, banyak masalah muncul justeru karena tidak terbangun komunikasi. Soal baliho sebagai tanda ekspresi. Ketersinggungan bisa redah lewat ekspresi segar.Â
Lebih elok momen penurunan baliho dilakukan oleh pendukung atau relawannya sendiri. Sejauh komunikasi yang jitu, saya kira tidak ada kesalahpahaman soal baliho. Ribut tidak pernah terlintas di kepala kita kalau dikomunikasikan lebih awal.
Sensasi rasa pusing kita bukan berkurang, malah kian berlipat. Kita tidak perlu penjelasan panjang kali lebar soal kenapa baliho dicopot. "Eh, copot baliho bukan kerja wong cilik toh, mas?" Sebut saja begitu pada saudara-saudara kita yang berbeda pilihan politik.
Baliho berpartisipasi sepenuhnya dalam pengenalan personal. Ia tidak bergantung pada penilaian umum dan obyektif. Baliho dan atribut lainnya bukan soal sosok tokoh pelanjut lawan sosok kandidat. Baliho apalagi berfose pasangan calon presiden dan calon wakil presiden lebih ekspresif dari pada ekspresi lainnya.
Coba kita bayangkan, berita tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden lebih heboh dibandingkan berita inflasi atau pemerkosaan di satu daerah. Berita capros-capres lebih bermagnet daripada tulisan bertema agama. "Wah, tulisan seputar pemikiran agama itu kanda kurang peminatnya. Kawan-kawan lebih melirik pada politik pemilu alias pilpres." Begitu kata kawan di grup Whatsapp saat saya kirim tulisan. Kalau kita terganggu dengan baliho, lha, sudah bukan rahasia umum. Tahun ini tahun politik.