Lalu, hasil korupsi tersebut diduga untuk mempermulus pencairan dana dari 10 triliun rupiah oleh Komisi Anggaran DPR. Ganjilnya, anggota DPR yang "menyedot" uang 70 miliar rupiah tidak dijadikan tersangka. Ia malah menjadi sekadar sebagai saksi tok.
Sesuai aliran uang hasil korupsi sebesar 8 triliun rupiah diberikan kepada anggota DPR sekitar 70 milyar rupiah. Namun demikian, mereka juga belum diproses hukum sebagai tersangka. Ini gila. Gila dan gila!
Sudah lama dikenal ngetop institusi DPR merupakan sarang korupsi. Tak hayal, DPR dijuluki sebagai lembaga terkorupsi. Setali tiga uang dalam skandal korupsi BTS, antara Jhonny Plate, pengusaha, anggota DPR, dan oknum BPK. Semuanya tergoda dan terasuki uang.
Baik DPR dan BPK seakan tidak takut dengan skandal korupsi. Wajarlah jika kita memulai ayunan kaki kiri untuk melangkah ke pintu gedung DPR-BPK RI. Saya lihat, korupsi bersepupu sekali dengan rent seeking. Ini penyakit lama, yang setiap saat bisa kambuh lagi.
Tercatat, Sadikin sebagai perwakilan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) RI mengakui menerima uang senilai 40 milyar rupiah lewat proyek BTS 4G. Muncul pertanyaan hakim. "Rp 40 miliar diserahkan di parkiran? Uang apa itu? Uang rupiah atau dolar AS, dolar Singapura, atau euro?" "Uang asing, Pak. Saya lupa detailnya, mungkin gabungan dolar AS dan Singapura." Begitu pengakuan Windi, salah seorang yang dijadikan saksi.Â
Saya kira cukup sampai di sini. Sebelum kalimat bontot, sebetulnya masih ada satu pertanyaan.
Apa bedanya DPR-BPK dengan kamar mandi atau toilet? Bagi yang tahu adab, kaki kiri didahulukan saat masuk ke WC atau kamar mandi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H