Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Yang Tertulis dan Terbaca

15 Juli 2023   21:21 Diperbarui: 17 Juli 2023   05:49 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebaliknya, kehadiran pembaca mencintai buku, seperti ibu yang menyenangi anak-anak, anak menghormati bunda dan ayah, manusia melestarikan bumi. Tragedi dan ironi yang terjadi di luar bacaan buku. Ia persis sama dengan gagasan dan perbedaaan. 

Paradoks dari kecantikan dan kejelekan di hadapan seksualitas tidak perlu dibungkus, karena, relasi antara tubuh dan konsep-konsep ada di dalamnya membukakannya sebagai sesuatu hal yang tidak terhindarkan. Tatkala seseorang keranjingan membaca buku dari edisi terbaru akibat telah habis stoknya tentu saja masih terbuka diberi persetujuan atas nama ahli waris dan kerabatnya jika pengarang telah tiada atau melalui penerbit. Maka, berkaitan dengan hal ini, pengarang dan nama yang dilekatkan padanya tidak dapat menunjukkan otoritas yang dimilikinya terhadap teks-teks untuk dihapus di dalam realitas baru, tatkala terjadi keterputusan ruang antara ironi dan khayalan, teks dan pemikiran sampai kesatuan tulisan dibentuk kembali menjadi penciptaan gejolak dan terpaan melanda tatanan test tertulis, termasuk tatanan representasi, makna, petanda, pengetahuan atau nalar akan menggulati bentuk-bentuk kebutaan, kealpaan, dan ketidakwaspadaan. Pada saatnya, kita akan nemukan cara keluar dari tatanan, tempat dimana kehilangan pemuasan tulisan mulai dipisahkan dari wilayah pergolakan.    

Foucault, Derrida, Deleuze-Guattari, dan Lyotard melihat ketidakstabilan, keleluasaan, dan perbedaan dalam bahasa kegilaan atas tulisan sebelum dibaca. Realitas dalam realitas muncul saat ditulis dan dibaca secara terbuka dan berbeda. Katakanlah, teks tertulis Goenawan Mohamad seperti Catatan Pinggir atau Setelah Revolusi Tak Ada Lagi ternyata tidak lupa “menampilkan” wajah Indonesia dalam sudut pandang Nietzsche dan Marx. Pergumulannya antara pemikiran reflektif dan kesastraan, kebebasan jurnalistik dan pembacaan atas realitas yang bergerak secara mekanis seakan tidak mengenal kata akhir.

***

Terus, kulit bumi dan kulit manusia dikonstelasikan dalam kulit buku. Ia tidak berhenti di satu halaman saja. Apa yang dibicarakan bisa dipadatkan melalui “mesin tulisan” (mesin ketik online). 

Dari relasi kitab ke kegelisahan, ingatan dan kalimat saling berinteraksi dengan sunyi, gejolak, dan bentangan ditelan oleh realitas baru (virtualitas, Artificial Intelligence).  Kendatipun proses penciptaan meditasi ala Cartesian tidaklah berkaitan dengan tulisan yang menarik. Tetapi, ia memendam teka-teki yang dapat menelan semua yang kita senangi melalui kejenuhan untuk berbicara pada dunia dengan gesekan, goncangan, celah, dan hamparan keindahan. Sebagaimana orang membaca teks sudah berada di pihak ketiga dan seterusnya atau buku telah berpindah tangan ke pihak lain yang tidak diketahui riwayat hidupnya. Selanjutnya, relasi antara teks dan pemikiran diambil-alih dengan penafsir atau seismografer menjadi bahan bacaan khusus dimana titik celah dari susunan-susunan logika dan pembentukan konsep-konsep. Apa saja yang dibaca membentuk relasi-relasi yang keluar dari keterpencilan teks tertulis.

Rangkaian kalimat tidak berkaitan dengan kesenangan menatap seseorang di depan layar internet. Tetapi, membedakannya dari relasi-relasi yang dekat dengannya, yaitu tanda titik, huruf kecil atau besar, tanda seru, titik koma, titik dua, tanda tanya, dan tanda baca lainnya. Kita telah meninggalkan teks setelah ditemukan ketidakpastian makna di tangan pembaca. Lebih dari titik berulang-ulang dalam teks tertulis, maka perlu ada pembebasan mesin tulisan dari kuasa negara dan hal lainnya supaya penulis bebas menentukan pilihan tulisannya.

Sesuatu yang berlindung di balik topeng hanyalah memperlihatkan perbedaan satu metode pembacaan atas realitas layaknya benda-benda memiliki wilayah penyebarannya sendiri. Pada saat kita telah mengungkapkan topeng-topeng penulis, maka orang-orang yang dahulunya begitu memikat diubah dari “kesenangan mata” ke tulisan tentang kesenangan di balik permainan tanda. 

Singkatnya, kesenangan yang bersifat subversif, dimana rujukan diperbaharui melalui diskursus.

Kita tidak bermaksud menghindari penulisan dan pembacaan atas realitas yang tidak masuk akal dan membuang-buang waktu saja. 

Tetapi, kita hanya melihat seluruh tema yang muncul dari penanda dan petanda, kesenangan murni atau alamiah dan kesenangan reduplikatif atau artifisial tidak penting lagi diperdebatkan secara percuma-cuma. Sebagaimana kita telah ketahui bersama, selain kode, kesenangan artifisial ditandai tidak dapat dihancurkan. Setidak-setidaknya tertunda sejenak dari sesuatu yang melibatkan aparatus citra, fiksi atau kepemilikan atas kemiripan obyek tidak bisa digembar-gemborkan sebagai tema pembicaraan yang sudah basi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun