Melalui kegairahan diri yang berada dalam ekstase Keilahiaan, maka tubuh di bawah kilatan-kilatan tajam sebuah tatapan penuh nafsu. Hiperealitas merupakan langkah pasti bagi pengaburan baru dari kebenaran.
Tersembunyi dalam 'wajah hiperealitas yang kusam' sebagai produksi hasrat yang tidak terkontrol.
Kebenaran, ingatan, dan khayalan akan menjadi kegairahan binatang berakal. Tubuh dengan lompatan, shalat, puasa, zakat, haji, bacaan, tulisan, nyanyian, dan hal-hal yang bisa digambarkan dari dalam tentang binatang berakal yang tipikal.
Tubuh secara murni dirembesi dengan kata-kata, citra, bau, rasa, dan warna disebut kualitas inderawi (Lockean).
Jenis tubuh ini begitu berbeda dengan tubuh menurut "Aku adalah binatang berakal." Kita mesti banyak belajar terhadap kemandekan atau kelihaian nafsu (dimana pikiran dibuat tidak berkutik saat berhadapan obyek hasrat yang tidak terkontrol.
Setiap orang membaca teks agama (Al-Qur'an) merasa adem setelah merahi tanda-tanda cahaya-Nya.
Dari titik ini, proses "menjadi binatang berakal" merupakan tugas dan tanggungjawab setiap individu. "Aku adalah binatang berakal" dalam tidur bersama dunia mimpi panjang. Dia bersama “Sang Pencipta” atas segala realitas seakan terjebak dalam kegototan pada apa yang harus ditulis oleh penulis.
Tetapi, kontradiksi mungkin terjadi antara kekaburan dan kecerahan ingatan, yaitu kelenyapan obyek dan jejak yang dipertajam oleh kelenyapan manusia akan diperbaharui melalui tulisan cahaya sebagai tanda ekstase Keilahiaan.
Jejak tulisan yang tidak terhapus bukan tulisan tanpa akhir, melainkan jejaknya diperbaharui menjadi tulisan yang lain.
Substansi tulisan cetak atau manual yang tidak bisa sirna karena hanya diganti dan diubah menjadi tulisan cahaya. Baik tulisan manual dan tulisan cahaya tidak terhapus menandakan masih ada jejak bahkan manusia.
Maka muncul pertanyaan. Apakah kontradiksi antara kegelapan dan cahaya saling berdialog, memantulkan percikan hikmah tanpa mimpi buruk menjadi sirna dalam dirinya?