Tatkala kita menggambarkan tentang bagaimana tema-tema baru dibentuk oleh relasi antara ilmu pengetahuan dan ideologi sekaligus saling menetralisir.
Bagaimana rumusan konsep tentang peristiwa dimungkinkan rampung selama manusia melihat dirinya sendiri hingga mampu memainkan suatu "permainan kecil" untuk melintasi "permainan besar."Â
Bisakah buku sebagai libido diletakkan sebagai nilai ilmiah? Bertahankah relasi antara buku revolusioner dan pemikiran, jika pemihakan intelektual beradu dengan kepentingan politik, yang lebih kasat mata?Â
Memang, sesuatu yang merangsang dan menantang datang dari kasat mata. Buku sebagai libido membuat kita lebih memilih pergerakan intelektual. Anak muda sulit ditulari dengan mistifikasi benda-benda. Jadi, buku menjadi sebuah 'proses' dari energi libido melalui tubuh sebagai teks.
Teks bukanlah tanda ingatan dan nilai ilmiah membantu merumuskan suatu konsep produksi ditengah konsumsi, melainkan kesenangan untuk mendiagnosis dunia nyata, fenomena, dan ilusi itu sendiri. Aspek kesadaran menjadi wilayah kosong seakan-akan tidak berpenghuni.
Kesadaran justeru perlu diwaspadai, ketika subyek (pikiran manusia) tidak lagi dimasukkan dalam jejak-jejak melalui buku.Â
Dari benda-benda di balik ide, hasrat, khayalan, dan dibalik tidur panjang. Seseorang bergerak bukanlah bergantung pada kekuatan buku sebagai libido maupun daya kritis yang diambil setelah masa tidur yang panjang.
Pembebasan hasrat di balik buku datang setelah diskursus teoritis dan praktek diskursus menghadapi bahaya. Teks diperhadapkan pada individu memasuki permainan yang berbahaya.Â
Seseorang berada dalam ketidakhadiran konsep karena sama sekali tidak ada "tantangan" dan "tanggapan" (Toynbee).Â
Individu tidak melawan institusi kuasa negara, tetapi "membongkar kedok" (Foucauldian) dan melucuti permainan topeng dari kuasa.
Sebaliknya, cara penggunaan teknis atau praktek tradisi keilmuan yang berbeda-beda bukan proses produksi yang dicapai dalam ilmu pengetahuan. Tetapi, hasrat untuk mengetahui melalui "bahasa."Â