Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ketidakhadiran Lelucon adalah Cermin dari Hebohnya Kehadiran Malapetaka

21 Desember 2022   22:05 Diperbarui: 17 Januari 2024   11:11 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hakim yudisial MA, Edy Wibowo terduga menerima suap (Sumber gambar: kompas.com)

Sebagian teka-teki permainan tidak terpecahkan. Sebagian lagi, orang-orang belum keluar dari cara berpikir kaku dan tidak utuh.Apakah teks suci dijadikan patokan untuk membela keyakinan sudah seiring dengan perubahan zaman? 

Kita percaya, setiap saat akan ada perubahan.

Pemahaman dan pemikiran baru juga mengiringi perubahan. Karena itu, tidak ada peristiwa terjadi secara ajek.

Kelak dan sedang terjadi, ketika teks tidak ditafsirkan ulang, maka ujung-ujungnya tidak disadari bakal menjadi kekerasan. Atas nama keyakinan yang telah dikebiri, maka kekerasan pun sebagai jalan terakhir dianggap sah-sah saja. 

Padahal, kita tahu, soal keyakinan adalah soal sangat pribadi.

Saya kira, keyakinan yang absurd saat diboncengi dendam kesumat dari seseorang. Keyakinan bakal tidak bisa dibela jika hanya diperalat melalui cara kekerasan.  

Aura kekerasan menyelimuti cara berpikir reaksioner. Ia tidak perlu ditantang dengan peristiwa yang berakhir secara dramatis tanpa drama.

Urutan-urutan jejaknya tanpa akhir sebanding muntahan pemenuhan hasrat setengah mati yang terhimpit antara "waktu tertunda" dan "waktu tidak tertunda." 

Perayaan tahunan, hiburan, dan olah raga sedang dan masih berada dalam "orbit," sebentar lagi akan keluar sebanyak batas waktu.

Dalam kasus-kasus tertentu, misalnya perayaan festival Halloween Itaewon, Korea Selatan dan Stadion Sepak Bola Kanjuruhan Malang, Jawa Timur, yang pada akhirnya menjadi tragedi alias malapetaka. Mereka tidak membayangkan dirinya sebagai bagian dari kelimpahruahan citra dan tatapan-tatapannya.

Di sana, muncul peristiwa malapetaka tanpa ruang lelucon seakan-akan tidak terbatas. Ia ternyata tidak bisa diperankan kelewat lama dalam garis waktu yang kacau.

Tatapan atas ruang lelucon tidak mampu kita ucapkan dengan kata-kata. Kecuali, apa-apa yang terdengar sumbang dari suara asing yang tidak diketahui darimana datangnya.

***

Saat orang-orang ditimpa malapetaka, tidak ada satu pun orang yang mampu melihatnya dengan cara menghilang secara sempurna. Tidak disangkal, begitulah jenis parodi tentang "tidur dogmatisnya Kant" dan "tidur antropologisnya Foucault" lebih dingin dari monster paling dingin. Tidak ada pilihan lain, kecuali mekanisme yang bisa meloloskan dari keadaan. 

Bukan keadaan takut, tetapi nyaris setiap hari terdapat hal-hal yang aneh.

Teringat akan tidurnya wakil rakyat saat persidangan berlangsung di parlemen, Senayan. Apakah hal tersebut merupakan lelucon yang tidak lucu?

Kita belum tahu persis tentang lelucon di balik enyahnya malapetaka lantaran forum pertemuan global baru saja dihelat. Masa kita adalah masa dimana generasi terakhir dikejutkan dengan malapetaka. Ia merupakan masa yang meminjamkan sedikit takdir kelahiran.

Untuk tidak pernah kecut terhadap keadaan bahaya yang akut, maka seseorang tidak akan pernah kembali dan lenyap seketika. Seperti, feisyen yang tidak lenyap, tetapi sekejap mati. Ia silih berganti, muncul dan lenyap.

Kita tidak melawan kematian, malah menentang kehidupan. Tetapi, kita hanya memiliki musuh besar, yaitu kelahiran. Betul! Kelahiran basa-basi. 

Permainan besar tidak datang dari teknik efek layar keseharian, tetapi bom waktu untuk memainkan malapetaka bom, ya bom bunuh diri. Tetapi, bom waktu itulah menampilkan peristiwa malapetaka. 

Setiap teror atau kekerasan lainnya bukan untuk dipikirkan atau masuk akal saat kehilangan makna  dalam setiap waktu.

Saya tidak mengatakan ada sesuatu yang salah dan benar di sini. Tentang peristiwa, dimana kita tidak takut pada saat waktu menerima bom untuk meledak setiap saat. 

Kita tidak takut akan malapetaka yang diciptakan waktu dan bukan waktu yang menundanya. 

Tetapi, satu penanda malapetakalah yang menghancurkan keadaan takut. Sejarah belum berakhir, seperti dalam film 2012 dengan tema hari kiamat akan datang. Ia terbalik menjadi hari demi hari, "akhir dari akhir" sekuat apa yang tidak dapat ditunda di luar lintasan waktu.

Begitulah tanda kegagalan ramalan tentang hari kiamat yang berlindung dibalik fiksi ilmiah malapetaka kosmik. 

Aliran tanda malapetaka terjadi dalam diri kita, berupa kanker ganas menyerang kehidupan, yaitu jenis kehidupan menyerang mikrokosmik hasrat.

Jaringan sel sebuah tanda global terganggu dan kejang-kejang. Ia tidak lagi memperlihatkan kekuatan positif. 

Suatu kekuatan bisikan lubang tidak bernoktah dari jagat permainan malapetaka bumi. Ia melepaskan kekosongan gaya berat atau gravitasi. Dalam kaitaannya dengan hal itu, maka sebagian besar pemimpin dan kaum intelektual dari negara-negara pinggiran ingin keluar dari "pusat gravitasi" yang dibentuk oleh negara-negara industri maju.

Kejutan dan gangguan menandai massa yang mengambang, layaknya uang mengambang bebas di pasar global. Satu tanda dibalas dengan tanda yang lain. 

Titik akhir dibalas dengan titik akhir. Sebagaimana bayangan diri, malapetaka tidak mengejar kita karena ia terkepung dari setiap penjuru.

Jika direnungkan secara geopolitik. Bisa jadi, di belahan dunia Utara, teror membuat terapi anti bodi dan membangun tatanan anti teroris untuk melupakan wabah virus di balik simbol suci muncul di ruang hampa. 

Penderitaan fisik dan psikis melalui titik akhir dari produksi menuju titik balik kehampaan makna. Maksudnya? Obyek-obyek yang dikonsumsi secara rakus dan serakah pada saat massa menelan ampasnya sendiri dan mereka tidak ditemukan lagi dimana kuburan massanya.

Teror menjadi semacam "mesin ejakulator" malapetaka (agak 'ngeres' yang dingeri-ngerikan istilahnya) di tengah kelenyapan makna. Teror semacam itu akhirnya tidak menyisakan sedikitpun bukti kehancuran diri.

Di belahan dunia Selatan, teror atau kekerasan nyata dan imajiner mampu menciptakan serangan begitu menantang. 

Kekerasan seakan-akan jualan laris dari kelompok garis keras.

Rangkaian peristiwa-peristiwa kelam menyediakan bom waktu serupa bom bunuh diri, yang getarannya tidak bisa menjangkau titik wilayah penularan tele-virus global yang mematikan. Ironi tentang mesin abstrak yang "tidak berbentuk" dan "tidak bertempat," yang menetralisir penderitaan dan kesenangan. 

Sebelum korban berjatuhan dan saling menghancurkan yang tidak terelakkan, maka kawan-kawan menahan ngakak dulu.
 
Kita ingin bilang apa? Sementara, aura kebahagiaan akan berakhir ketika permintaan atas obyek-obyek yang dikonsumsi secara berlimpahruah melalui fantasi kosong. Banyak kisah mendukung fakta di balik fantasi kosong. 

Misalnya, seorang ibu merasa kesal karena belanja online dengan barang-barang yang tidak dibutuhkan. Fantasi kosong silih-berganti mendompleng dengan kesenangan atau kepincut belanja online di tengah ancaman resesi global.

Secara otomatis, orang-orang tidak menyentuh dunia jika bukan sebagai pemenuhan kesenangan yang instan. 

Saat ini, sesuatu yang ditinggalkan oleh tatanan global yang keropos melalui bunuh diri, dalam perhitungan kadaluwarsa, dari akhir zaman.

Suatu titik tolak ketika menjadi titik balik yang tertunda akibat tercium "bangkai" malapetaka. Orang yang mengubur dirinya dengan padang pasir nyata melalui kecerdasan artifisial sebagai ruang bermain tanpa batas yang menyenangkan. 

Khayalan, mimpi, musik, dan buku virtual di sekitar kita dikaburkan dengan aliran modal uang, yang keuntungannya diraup melalui rekayasa malapetaka kosmik. Ia muncul tanpa simulasi.

Sementara itu, dibalik mesin perang tanpa jenaka menciptakan hasrat atau kesenangan untuk membunuh rasa sepi. Seperti seseorang menemui kematiannya melalui kantong hampa udara.

Di situlah, horor tanpa rasa takut dan gentar. Horor sebagaimana gejala dalam kisah nyata yang dibuat kisah lebih nyata dalam sinema.

Kisah tanpa lelucon membuat orang akan melayang-layang tanpa mampu kembali lagi pada titik tolak, titik dimana sebuah mesin perang berurai menjadi jaringan agen-agen malapetaka (perang antarnegara, perang narkoba, perang melawan teroris, perang melawan korupsi). 

Ada kehingarbingaran teater kekerasan masih nampak tidak berujung pangkal.

Menggilanya nafsu untuk korupsi sesuai dengan merangsangnya "suisida" (bunuh diri) lewat bom bunuh diri. 

Dalam pengertian luas, korupsi juga bagian dari bunuh diri. Membunuh kehidupan, membunuh masa depan akibat korupsi. Semestinya upaya kita untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, malah dikorupsi.

Kekeraskepalaan yang destruktif dari seorang dan kelompok garis keras ditandai dengan pemahaman atas teks agama atau ideologi secara "leterlek" dan penggunaan "kaca mata kuda" dalam melihat dunia. Korupsi mungkin karena "gelap mata."

***

Teringat oleh seorang kawan pernah ngobrol soal aturan hukum. Dia katakan "hukum itu dibuat untuk dilanggar." Jadi, jangan heran yang buat hukum saja bisa mempermainkan hukum.

Istilah hakim nakal alias pejabat yang korup tidak lebih tenang jiwa, ketimbang petani penggarap sawah. Hasil panen melimpah karena cucuran keringatnya. 

Saya yakin, masih banyak hakim atau jaksa yang Mr. Clean. Orang bersih, tidak terkontaminasi.

Tetapi, sedikit demi sedikit nyaris tidak ada lagi perubahan di ranah penegakan hukum. Jika pun ada itu masih terseok-seok. 

Sejumlah aparat penegak hukum dicekoki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui operasi tangkap tangan (OTT). Upaya penangkapan demi penangkapan atas kasus korupsi menjadi tanda indikatif atas kuatnya dan merajalelanya tindak pidana korupsi di negeri kita.

Tanda lain adalah tanda ekspresi dari pihak warganet atau ruang publik yang mendukung penegakan hukum atas prilaku koruptif. Tidak peduli nyinyir dan cibir atas OTT dari pihak lain. 

Banyak sentilan atas KPK. Jika tidak diselamatkan dan ditata ulang, ia sebagai institusi penegak hukum akan menuju ke tepi jurang kehancuran.  Ia mesti bebas dari jagat permainan malapetaka korupsi atau pungutan liar.

Dari dekat jurang kehancuran menyediakan sisi gelap yang tidak diketahui dimana ujung pangkalnya. Justeru jurang kehancuran mulai dibuat oleh kawanan anti KPK.

Apakah mereka punya kepentingan politik atau tidak itu urusan lain?

Susul menyusul terduga atau tersangka korupsi. Sebutlah diantaranya Sudrajat Dimyati, disusul Gazalba Saleh. Keduanya Hakim Agung di Mahkamah Agung yang telah diberhentikan.

Setelah itu disusul oleh Edy Wibowo, hakim yudisial Mahkamah Agung, yang diduga kecipratan suap tiga milyar lebih. 

Betapa nikmatnya mereka menabrak rambu-rambu hukum. Senikmat-nikmatnya makan soto ayam lebih nikmat suap.

Belum lagi menyebut oknum lain yang terduga menerima suap. Singkat cerita, beberapa ASN Mahkamah Agung terlibat dalam skandal suap.

Yang jelas memberantas korupsi di republik ini sungguh-sungguh berat. Mustahil orang bermental kerupuk mampu mengatasi prilaku koruptif. Kerja bareng tanpa pamrih dan dimulai dari diri sendiri sebelum menyorot orang lain. Bukankah mental bangsa ini yang rusak?

Mahkamah Agung diplesetkan orang dengan Majelis Angka (MA).  Sebagai akibat tercemar kongkalikong antara aparat penegak hukum dalam hal ini hakim agung dan pebisnis nakal, maka uang pun yang berbicara. Suap yang berkuasa.

Ya ampun, sesama aparat penegak hukum saja terheran-heran dan miris melihat skandal korupsi terjadi di institusi terdepan dalam penanganan korupsi. 

Apalagi orang awam makin menambah rasa heran atas prilaku maling yang berpenampilan gagah dan berwibawa.

Kita akan melewati batas-batas celah penyelewengan uang negara saat kedalaman nafsu untuk suap dan disuap. Dalam kedalaman nafsu untuk suap dan disuap hantalah kedalaman yang kosong. Makna dan pikiran yang kosong. Ia seiring dengan zaman teror, yang terminiaturisasi dalam mulut jurang jagat simulasi malapetaka hukum negara. Atau bisa jadi tidak ada lagi simulasi di jagat malapetaka. 

Yang ada cuma permainan korupsi yang sedikit dibumbuhi dengan lelucon.

Bayangkan tersangka korupsi mengenakan rompi atau setelan berwarna oranye. Malukah mereka jadi tontonan? Tubuh mereka sudah ditaklukkan. 

Para tersangka merasa malu untuk berselfie ria. Lucunya, jika nyolong cuan tidak malu.

Tubuh tersangka korupsi yang jinak menyediakan dirinya untuk tidak leluasa menghisap realitas. Tubuh tidak disterilkan, karena terlanjur tertular racun bernama ilusi. Ambil jalan pintas, penjara kesudahannya. 

Kesenangan yang instan sengaja kita tidak ditampung dalam ruang hampa. Ia merupakan tempat dimana ia disembunyikan setelah obat penyembuhnya, tanpa medis.

Selain itu, tanda-tanda belum berakhirnya generasi yang tertimbun oleh debu informasi melebihi batas-batas titik tolak. Malapetaka hukum dan tatanan peradilan yang muram muncul sebagai titik tolak setelah kelenyapan makna dari aparat penegak hukum. Mereka sebagai sumber membengkaknya kantong udara hampa kehidupan moral sampai pada titik ledak waktu sesuai dengan mitos mengenai bom waktu kejahatan korupsi justeru tidak melulu berdetak lagi.

***

Berlawanan dengan skenario politik kuasa. Malapetaka kosmik tidak lagi berada didalam skenario dan melodrama apa-apa. Masa heroiknya telah lenyap ditelan dan dihapus oleh jejak-jejaknya sendiri dalam bayang-bayang pasca-manusia. Ingatan dan fantasi tanpa ketakutan yang membalikkan bencana pada realitas menjadi hiburan sejenak, tetapi mengerikan. 

Kini, keduanya sudah hancur. Pasca-manusia berupa robot atau kecerdasan artifisial dengan segala kelanyapan makna dan basa-basi diselimuti oleh realitas baru. 

Wujud mesin yang dialamiahkan merupakan miniaturisasi melalui jejaring alam berhadapan dengan jagat malapetaka, yang terotomatisasi melalui tanda waktu.

Medan buta atau titik buta dalam teks tidak lagi bersama rantai permainan tele-mesin (seperti medsos terbaru dan remote senjata pembunuh massal) sampai akhirnya ia harus dididik oleh wujud malapetaka yang nyata dengan tanda-tanda yang penuh teka-teki.

Aura kekerasan dan kehancuran tatanan dunia tidak lebih dari bentuk interaksi antara teks hukum dan libido, pikiran dan hasrat. 

Kenyataannya, skandal suap bisa "dilicinkan" dan "diamankan" berkat kerjasama antara "orang dalam" dan "orang luar." Seperti teka-teki yang mulai terpecahkan kapan titik akhirnya. 

Apabila terjadi peristiwa rekonsiliasi antara kedua belah pihak, maka di sana pula ada mesin malapetaka mengintainya.

Setelah sekian lamanya, tirani keindahan tidak lagi sulit dipahami di luar pusaran, tanpa arus dan poros jalan lingkar. 

Jenis manusia moral tidak berada lagi dalam revolusi molekuler dengan kekosongan makna.

Penampilan tersangka korupsi yang 'dibuat-dibuat' agar nampak tanpa beban dan lega rasanya layaknya sebuah atmosfir artifisial bumi yang digiring dalam kemampuan untuk mendaur-ulang tarik nafas dalam hitungan detik ke menit terakhir. 

Warganet akhirnya tidak berkutik lagi, kecuali komentar yang "pedas" dan tajam. Sedangkan, hal-hal yang molekuler begitu dekat dengan kita, yang dipercaya sekarang memicu berhentinya mesin sirkuit yang terbaik. 

Ia bukan hanya direnggut, tetapi orang-orang mengambil bagian untuk menyusun sejarah baru, perangkap baru dan lobang baru. Kebenaran bertugas untuk mengumpulkan tanda-tanda malapetaka dan sekaligus tidak meminta korban baru. Kita tidak sedang memasuki fase akhir dari ilusi, mungkin pada titik tertentu peristiwa heroik muncul tatkala yang lain peristiwa mafia kasus hukum mundur ke belakang tapal batas telah terhapus jejak-jejak dan arus-arusnya telah dibelokkan. 

Atau kita semuanya akan berbolak-balik dalam peristiwa rancu sebagaimana teater peperangan ditelesuri akan menemui kita dari suatu tempat yang tersembunyi dan muncul tiba-tiba di sekitar kita.

Bersama akumulasi yang hilang pada titik yang sama menyusul distribusi yang tidak membajak kedalaman yang kosong: kesadaran, melainkan meningkatkan jumlah lubang dan noktah dibalik model malapetaka. Modelnya tidak lagi menjadi fenomena alamiah dan rantai penghancuran alam di balik alam murni. Ia tidak menarik dari setiap penjelasan. 

Kita juga memperbanyak lintasan yang melekuk, melengkung atau berkerut, memperluas atau menyebar titik pori-pori di sekitar jantung yang telah diberi cincin dan jaringan sel tercabut dari asalnya. Sesuatu yang terjadi mesin ingatan telah meradang tidak mampu menerima rekaman terlalu banyak peristiwa karena seperti lapizan ozon yang telah bocor atau berlubang. 

Macam-macam penampakan di tepi jurang malapetaka, seperti perubahan iklim dan dampak turunan diantaranya terancamnya biodiversitas bumi.

Anak-anak kita, keluarga kita, dan saudara dari spesies aparat yang menghuni planet ini tidak mengartikan apapun tentang peristiwa masa lalu yang bisa saja terulang, dalam kondisi yang berbeda. Perkembangbiakan citra melalui medium jalan pintas atau "pelicin" yang nyata memparah penyakit "kanker" korupsi yang ganas menjajal kemungkinan adanya kenikmatan dari wujud agung yang tidak agung (hakim agung). 

Kenikmatan yang mereka pilih adalah kenikmatan semu. Suatu kenikmatan yang lebih dekat pada tepi jurang malapetaka.

Dalam kasus korupsi, para tersangka dari aparat negara sesungguhnya mengubah perkembangbiakan sel-sel kehidupan menjadi 'ritual kematian moral'. Ia terurai pergerakannya dari 'biogenetik' ke 'biomesin' yang meledakkan dirinya melalui tanda kehidupan hukum yang kacau. 

Agar ia hidup harus melebihi dirinya sendiri, sehingga institusi hukum menampilkan bukti-bukti yang kuat. 

Tidak khayal, tubuh yang dikontrol oleh kuasa legal tidak membutuhkan lagi anti bodi karena tubuh yang dikontrol itu sendiri tidak memiliki kekebalan saat para tersangka korupsi sedang dalam proses hukum. Modus korupsi menjadi peristiwa yang bisa terulang lagi.

Kenikmatan suap memang tidak lebih dari kenikmatan semu. 

Suap atau prilaku koruptif lainnya akan lenyap tatkala nafsu yang mendorong untuk korupsi juga ikut keok. 

Nafsu untuk korupsi melampaui 'akhir dari simulasi kejahatan'. Lingkaran nafsu gelap dianggap sebagai sumber peristiwa malapetaka. Nafsu gelap mirip "lubang hitam" dalam jagat raya. Keduanya akan berada dalam titik balik, dimana tumpukan malapetaka tidak akan menarik diri dari kisah berlainan sebagai pengulangan peristiwa kelam.

Tetapi, semuanya berbicara pada kita tentang peristiwa-peristiwa yang membuat kita tidak lebih gegabah di balik "tangan kotor" si wajah tidak berdosa nan lugu. Para tersangka korupsi melihat wajah sendiri yang tercangkok di wajah orang lain, atau sebaliknya. Hidup dengan saling bertatapan penuh heran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun