Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Permukaan dan Perbedaan

24 November 2022   08:05 Diperbarui: 12 Juni 2024   13:37 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi warga Papua bersalaman dengan Presiden Jokowi (Sumber gambar : kaskus.co id)

Sudah bukan rahasia umum, jika daerah Papua kaya akan sumber daya, berupa emas, gas hingga batubara. Syahdan cadangannya disebut terbesar di dunia.

Sejak 90-an, suara yang berbeda dan kontras antara kekayaan alam dan keadilan Papua, perlahan-lahan menandakan ada 'jurang' yang terbentuk.

Mirip di wilayah lain Indonesia, jurang yang lebar tercipta berupa kesenjangan sosial. Jadi, bukan soal jurang, tetapi ironi. Papua kaya, tetapi terkebelakang.

Nah, suara keadilan menyelinap dalam ruang batin yang membuncah dan menyorot jurang kesenjangan.

Suara yang menerobos permukaan apa yang nampak. Suara yang menggema ke segenap penjuru.

Saya ingat, suara itu terdengar di malam hari, di masa yang telah berlalu. Saya pernah mendengar suara itu, tentang teriakan keadilan Papua (waktu itu masih disebut Provinsi Irian Jaya) melalui diskusi Profesor Buya Syafii Maarif di sebuah tempat di Kota Makassar, sebelum tahun 1998.

Kini, tuntutan keadilan Papua terdengar sayup-sayup, bahkan nyaris pupus.

Saya kira, setiap warga mesti belajar dari pergolakan rasial, yang pernah terjadi di Papua.

Lalu, ketajaman gambar wajah Papua ditandai dengan “Pemulihan Papua Menjadi Prioritas” memasuki berita utama dari surat kabar nasional.

Saya tidak akan menggambarkan sebuah berita utama di atas permukaan kertas, melainkan kemiripan peristiwa di balik perbedaan gambar datar dan bergejolak di Papua.

Tetapi, sayangnya pembicaraan tentang ‘Referendum Papua’ atau ‘Gerakan Pembebasan untuk Papua Barat’ masih menjadi wilayah ‘permainan’ politik tertentu.

Hari-hari belakangan terjadi kebijakan pemekaran provinsi. Untuk itu, kita mengapresiasi langkah pemerintah untuk menciptakan iklim kondusif menuju kehidupan yang lebih sejahtera di Papua.

Di sini, ada pertanyaan yang perlu digaris bawahi. Cukupkah dengan pemekaran provinsi di Papua?

Suatu hal yang menantang sisi terbalik dari gambar sesungguhnya berasal dari pernyataan penundaan atas wilayah pertumbuhan kuasa.

Tarik menarik penanganan prioritas permasalahan dalam tempo cepat, pembebasan dari ribetnya birokrasi.

Penataan administrasi pemerintahan yang efektif, dari ‘pusat’ ke 'daerah" betul-betul mencerminkan otonomi yang didambakan.

Cerminan otonomi diarahkan dalam ketajaman gambar diwarnai dengan perbedaan ganda berupa permukaan yang keluar dari hirarki dan representasi. Jangan hanya di atas kertas, buktikan juga di lapangan.

Diakui, tidak semua tuntutan masyarakat terhadap pemerataan “kue lapis” pembangunan secara adil betul-betul murni dari mereka. Tetapi, tuntutan mereka tidak berarti disepelehkan saja.

Perbedaan dan permukaan gambar peristiwa tidak bisa direpesentasikan dengan kesadaran.

Capaian kinerja program prioritas perlu dihubungkan dengan kebijakan kawasan pengembangan di Papua. Misalnya, sarat nilai ekonomi di balik kekayaan alam, yang tidak terlihat oleh mata publik.

Berapa besar dampak dari prioritas program pembangunan terhadap pertumbuhan inklusif (menurunnya angka kemiskinan dan pengangguran) di Papua, misalnya.

Hal-hal tersebut masih perlu perhatian yang lebih besar di Papua dengan kebijakan otonomi khususnya.

Kebijakan pembangunan di Papua tidak terlepas dari ekspresi yang berbeda. Luapan ekspresi secara perorangan dan kelompok masyarakat di bagian hilir datang dari aliran hasrat di bagian hulu.

Tetapi, hasrat untuk mengetahui berapa banyak pembicaraan  yang sudah membosankan tidak terhindarkan.

Saat itulah kita tidak pernah memasuki diskursus  lebih menarik dibandingkan dengan gambar segi tiga terbalik.

Ia membuat seseorang terangsang pada lingkaran dan hirarki kuasa, apalagi soal cuan.

Perbedaan itu ditemukan dalam tanda-tanda yang mengarah pada kemiripan di balik akar-akar permasalahan, gejala-gejala, dan tahapan pembebasan sebuah ketertinggalan wilayah, yang juga bagian dari republik.

Kedalaman mimpi masyarakat yang tabirnya tidak tersingkap untuk melintasi permukaan benda-benda yang tidak terkanvaskan.

Pergerakan lukisan atau buku seperti bumi yang beredar pada porosnya, didalamnya terdapat ‘aura kekerasan’, yaitu kedamaian nampak di permukaan, tetapi sesungguhnya menyimpan “bara dalam sekam.”

Pemerataan pembangunan mestinya dimulai kronologi peristiwa suksesif. “Kue lapis” pembangunan secara adil bentul-betul dinikmati oleh seluruh masyarakat.

Kesejahteraan masyarakat tanpa retorika dan tanpa kemiripan sebuah kanvas dari setiap sisi, yang tidak terlihat lagi.

Persis, saat kita melihat lukisan atau gambar yang tidak tergantung di dinding, tetapi suara gambar dalam ingatan, fantasi, dan pengetahuan tentang masa depan bangsa (dari Sabang sampai Merauke). Masyarakat tidak digiring dalam kemiripan dengan bingkai kecil, yang tidak diketahui kapan garis datar membentuk permukaan yang baru.

Mengapa kita memberi teka-teki kemunculan yang meriah dari kedalaman yang kosong di sisi depan gambar? Mengapa masih terjadi kerusuhan, pembunuhan, dan bentuk kekerasan lain di Papua?

Mulanya peristiwa menandakan kedalaman gambar yang dipolesi bentuk, volume, dan alur yang tersembunyi dari pandangan.

Masyarakat Papua tidak pernah mengetahui kapan garis datar membentuk permukaan cekung dan cembung gambar dan benda-benda yang beraturan dan tidak beraturan menuju titik akhir kedalaman selera.

Tujuan kita dengan adanya orang-orang yang terlibat untuk menyaksikan sisi depan gambar pemuda di ajang Papua Digital Academy, yang diharapkan potensi sumber daya manusia bisa keluar dari ketertinggalan wilayah.

Pemuda Papua akan diubah agar tidak memiliki sorotan mata yang melintasi permukaan tembok terbentang di sisi jalan umum.

Lukisan wajah anak-anak dari daerah tertinggal nampak kontras dengan foto para pahlawan menghiasi tembok, yang mampu berbicara melalui teka-teki.

Pemuda Papua tidak bisa dilihat sambil berlalu di balik tembok atau hutan belantara, kecuali keadaan ‘gambar terbalik’ dengan sorotan mata yang bergantian. Kita tidak membutuhkan lagi ‘pintu belakang’ pada tanda-tanda baru dan cara melewati jejak-jejak lama.

Saat itu, tidak cukup bagi kita untuk mengambil sesuatu yang baru dari permukaan yang sedang dia lukis.

Kita menyaksikan diri sendiri sebagai sebagai pemuja lukisan yang warnanya mulai berangsur-angsur pudar setelah kanvas menenggelamkannya.

Dalam ingatan kita, gambar tidak melangkah maju, ia melangkah kembali pada peristiwa sebelumnya, pada hari-hari dimana tidak terbersit dalam pikiran dihadapinya tanpa keraguan.

Pada situasi yang lambat bergerak, gambar peristiwa bergejolak menyediakan waktu untuk redah dari titik pandang terjauh gambar baru  dari anak-anak di daerah tertinggal ketika mereka sedang pikirkan.

Dari titik permukaan gambar tidak berupa garis-garis saling bersambung.

Masa depan anak-anak di daerah tertinggal akan ditinjau kembali, apa yang sekarang orang melihat secara terbuka, terekam dalam kesenyapan pada menit-menit terakhir kita.

Bayangan wajah terpantul bukan lagi dari bara api menyala-nyala di sekitar identitas dan perbedaan yang nampak sepeleh.

Tetapi, mereka menyimpan bara lain yang datang dari gambar-gambar virtual tetapi nyata.

Tidak ada lagi tubuh gelap dan putih, kecuali perbedaan atas konsep atau konsep identitas yang tidak dapat disubordinasi saat pengetahuan manusia mencapai titik terjauh dari perbedaan yang dimunculkannya.

Pada akhirnya, bentuk aktual muncul di atas kanvas di luar permukaan. Masa depan anak-anak akan berganti dengan perbedaan dalam pandangan.

Tetapi, tatkala kita melihat kanvas tanpa lukisan, ia menyediakan pandangan kita pada sudut ruang lain yang tidak pernah dijejaki.

Kita tidak melangkah pada sisi luar, karena ia berubah pandangan tepat di bagian belakang kanvas, dimana ia sedang dicetak ulang melalui perbedaan yang ‘sama’ (sumber daya manusia dilihat dari bidang pendidikan, kesehatan, dan ketenagkerjaan).

Ketertinggalan wilayah membentangkan sisi terbalik dari wilayah permukaan yang tidak pernah rampung, dimana perbedaan gambar atau citra diabaikan setelah ia keluar sebagai korban dari gambarnya sendiri.

Anak-anak berdiri di atas kanvas melebihi gambar yang bergantung dan tidak bergantung di dinding, sudut dimana pandangan mata dan mimpi mereka tidak terberi pada bagian luar atau pada permukaan. Anak-anak hidup di daerah tertinggal seakan-akan mirip sebuah gambar yang bergerak menghampiri mimpi masa depan.

Permukaan gambar dari sebuah wilayah maju adalah pengulangan di balik perbedaan “kue lapis” pembangunan nampak berbeda antara retorika dan di atas kanvas, dimana mereka muncul dengan wajah menunduk.

Pergerakan gambar tidak lagi muncul di atas kanvas, ia mengarah pada permukaan jalan murni dibentangkan kanvas yang berbeda. Ia menampilkan kata-kata menuju teks, ujaran, wajah, dan darah yang belum lahir di tengah terperosoknya perbedaan warna yang netral.

Pertentangan dalam perbedaan tanpa konsep dan representasi tidak menetralkan warna, dimana kata-kata menyerupai perbincangan yang senyap di ruang terbuka bagi setiap orang.

Mereka diatur dalam tema perbedaaan tiba-tiba berubah menjadi kekerasan konsep, kekerasan bahasa, kekerasan simbolik (aparat dan kelompok separitis), dan kekerasan hasrat tidak terlukiskan di atas kanvas.

Permukaan gambar wajah anak-anak daerah tertinggal cukup sulit mengatur titik permulaan. Permukaan gambar wajah anak-anak daerah tertinggal masih mengarah pada ‘perbedaan dari perbedaan’. “Orang-orang asli Papua jika sudah banyak uang, ternyata dipakai untuk hura-hura.”

Begitulah, kurang lebih yang pernah saya dengar dari teman yang merantau ke daerah Papua.

Anak muda Papua tidak berbeda dalam hirarki ujaran, yang melebihi kulit, telinga, mata, bibir, dan hidung kita.

Tidak hanya perbedaan, tetapi juga kefatalan menggunakan istilah ‘perbedaan tanpa perbedaan’ memasuki titik permukaan yang retak di balik gambar di sekitar kita.

Kita melangkah ke bagian gambar terdalam, yakni kekuatan alamiah dalam gambar virtual yang mengelilingi kita. 

Anak-anak di daerah tertinggal seperti Papua berbicara pada kita tanpa tiruan sedikitpun berada di luar ruang kebangsaan. Mereka bukanlah refleksi sejarawan yang mempertontonkan kemiripan antara simbol melalui bendera yang satu dengan simbol lainnya.

Dalam struktur bahasa, perbedaan ditangkap oleh penciuman melebihi apa-apa yang didengar secara tidak utuh, seperti orang-orang dipermainkan kata-kata berantai.

Dari sini, mimpi anak-anak Papua, semuanya bergerak melintasi permukaan benda-benda yang merasuk dari hal-hal yang ditukar oleh seorang repititor (pengulang) memasuki perbedaan yang lain. Mereka tidak ingin lagi menjadi “obyek” pembangunan.

Paradoks permukaan membentangkan pilihan bebas dan hasrat untuk mengetahui. 

Seseorang tanpa pilihan menandakan mereka tidak memproduksi perbedaan, melainkan memproduksi celah dan perangkap perbedaan dalam dirinya sendiri.

Persis di hadapan hidung anak-anak di daerah tertinggal, titik dimana permukaan kekayaan alam itu berlangsung sentuhan yang berbeda daripada wilayah lainnya. Perbedaan dalam ukuran penciuman yang tajam dari aparat negara terhadap riak-riak dan gejolak sosial menghilang dalam perbedaan. 

Lantas, istilah "badai dalam toples" yang dirasakan justeru hal biasa dari perbedaan. Kecuali persepsi yang ngawur dari pihak tertentu atas perbedaan dan identitas kewargaan.

Sedangkan, ‘permukaan radikal’ (radical surface) dari anak-anak dan kelompok masyarakat di daerah tertinggal bisa mengatur permulaan serta membentuk kembali titik permukaan antara simbol dan tanda (kesejahteraan, kemajuan wilayah).

Dibandingkan orang yang memuja dirinya sendiri melalui bendera, lambang negara, kesejahteraan, dan keadilan, maka secara khusus anak-anak Papua ingin menjadi “darah” dan “tulang” Indonesia. 

Identitas kebangsaan adalah pilihan satu-satunya seiring dengan falsafah negara, bendera, dan lambang negara menyatu dalam tanda kesejahteraan dan keadilan sosial.

Kemunculan kanvas menengahi bagian depan gambar menempati wilayah pinggiran dan keluar dari bagian samping kiri gambar yang direpresentasikan kembali pada suatu permukaan yang dipolesi perbedaan cara berpikir anak bangsa.

Secara filosofis, wujud virtual dan alamiah tanpa pertentangan identitas. 

Permukaan dalam perbedaan yang tersebar sebagai gambar dari mata sang repititor sedang dia amati dari kejauhan dengan apa yang tidak terlihat di bagian belakang kanvas membuat penonton berlari melalui permukaan dalam perbedaan.

Wajah-wajah riang dari anak-anak Papua adalah wujud nyata antara identifikasi yang tidak terdefinisikan dan gambar-gambar pengulangan, yakni ruang dan waktu ada dalam lingkungan yang berulang-ulang” melalui kesejateraan sosial.

Pengulangan kesejahteraan diubah dengan permukaan nampak sebagai perbedaan dari ketertinggalan.

Permukaan yang mengarah pada titik akhir dari perbedaan koseptual. Ia menjauhi permukaan untuk mendapatkan perbedaan dari ketertinggalan yang lebih banyak.

Pengulangan ditandai oleh permukaan dalam perbedaan seperti, kontur, terjal, pinggiran, hamparan, persegi, dan garis yang tidak lagi menyentuh permukaan dan tidak mengarah pada representasi gambar.

Masyarakat Papua dan daerah tertinggal lainnya bukanlah tontonan. Dalam ruang dan waktu yang terhitung kembali ke belakang kanvas.

Jadi, paradoks permukaan tubuh tidak berasal dari perbedaan spesies, melainkan dari penanda 'dehumanisasi' atas kelompok sosial yang berulang. Biangnya datang dari retorika politik separatis.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa perbedaan nyata tingkat kesejahteraan sosial nampak melalui pengulangan yang kreatif dari anak muda. Mereka ingin meninggalkan pengulangan kejumudan berpikir dan ketertinggalan di segala bidang pembangunan. 

Sebaliknya, sejauh gambar yang direpresentasikan kanvas, yang tidak terlihat dengan penonton. 

Ia berada dalam hitungan mundur dari kronologis peristiwa suksesif melalui pemerataan pembangunan atau kesejahteraan melebihi permukaan lukisan di atas kanvas.

Permukaan tidak hanya ‘lebih jelas’ sebagai perbedaan, tetapi juga perbedaan tanpa obyek tunggal. 

Betapa jalan yang berlika-liku nan terjal mengakhiri kesadaran diri tidak tampak sebagai representasi, kecuali pseudo-permukaan yang berlapis-lapis menjadi satu syarat bagi perbedaan absolut yang ditolak di atas kanvas peristiwa kehidupan.

Setiap permukaan alamiah dan virtual akan lenyap dalam perbedaan, perbedaan mengalami kelenyapan dalam perbedaannya sendiri. Kita tidak lebih baik bekerja merahi mimpi, dari jejak-jejak yang telah disediakan untuk menerobos bayangan gelap permukaan. 

Dari titik terjauh, kita akan melewati titik bayangan perbedaan yang baru, terdeteritorialisasikan dalam bagian samping kanvas yang meletakkan gambar di balik tembok, di pinggir lantai dan sebagainya. 

Anak-anak muda berdiri di depan pagar sambil membawa bendera, dimana kanvas berada antara di dalam dan di luar. Tapal batas yang ditetapkan lukisan yang ditatap oleh pengunjung. “Anda tidak perlu melihat kulit tubuh orang lain, lihatlah kulit Anda sendiri!” Ia menuju permukaan yang terjatuh dalam kanvas perbedaan.

Tidak sedikit dari anak-anak muda menerima oposisi duaan. “Barat” dan “Timur,” “Putih” dan “Hitam,” “Tinggi” dan “Rendah,” “Maju” dan “Tertinggal” sesungguhnya bukan perbedaan, melainkan permukaan alamiah. 

Semuanya bukan hanya relasi simbolik, tetapi juga akhir dari perbedaan, ‘perbedaan tanpa perbedaan’, sekalipun tidak nampak di atas kanvas, di tembok atau di atas kepala gundul.

Dari sini, perbedaan bukanlah oposisi dan permukaan, dan juga bukan berarti superfisial. 

Permukaan dan perbedaan menjadi kuantitas yang bisa dikualitaskan, sebaliknya juga, suatu kualitas yang dapat dikuantitaskan.

Pada aspek kuantitas, setiap perbedaan tidak cenderung menolak perluasan dan kualitas yang di bawahnya, tetapi bagaimana membalikkan gambar yang melintasi pikiran yang terperangkan dalam kuantitas. 

Sebagaimana oposisi akan menghilang dalam perbedaan, kesejahteraan sosial pun akan melalui permukaan, muatan, warna, durasi, jarak, dan bentuk. Dari waktu ke waktu akan mengaburkan perbedaan dari identitas kebangsaan. 

Demi kedalaman selera yang kosong, permukaan pun dikorbankan, yang tidak sepenuhnya menunjukkan perhatian pada perbedaan hirarki melebihi kulit, telinga, mata, bibir, dan hidung anak-anak atau masyarakat Papua di atas kanvas.

Sebelum akhir pergerakannya, peristiwa mutilasi yang dilakukan oleh oknum aparat negara terhadap warga sipil Papua tidak secepat dari perkiraan sebelumnya. Kasus mutilasi merebak dan pelakunya menjadi daftar pencarian orang (DPO) tertangkap akan terjerat hukuman maksimal. 

Terdengar berita, jika kasus itu berawal dari transaksi. Kebenaran lebih berbahaya jika muncul ke permukaan, daripada disembunyikan di bawah permukaan.

Saya pikir, selambat-lambatnya, mereka para pemuja permukaan akan lebih berbahaya jika seorang atau kelompok orang mengobarkan perbedaan secara tajam. Usai menerima perbedaan, mereka akan berulah di balik gambar atau di balik permukaan sesungguhnya masih sebuah teka-teki bagi pikiran kita.

Permukaan tubuh atau permukaan dunia melacak kembali dirinya dalam ruang tidak terbatas tanpa perbedaan empiris dan tanpa identitas kebangsaan, apapun mereknya bakal berada di ujung konflik. 

Karena itu, perbedaan tidak perlu dipikirkan, apalagi dibesar-besarkan. Apa alasannya? Karena ia akan menambah kekuatan lebih besar menuju titik terakhir keruntuhan, yang dimulai dari dalam.

Perbedaan selama ini terjadi tidak hanya menjadi pemikiran dirinya sendiri, tetapi perlu juga dinetralisir dengan permukaan yang lebih memikat dan nyata. 

Perbedaan yang saya maksud adalah perbedaan sebagai relasi, bukan jurang atau bukan berlatar belakang suku, bahasa, warna kulit, budaya, agama. Perbedaan yang dimaksud, misalnya, kesejahteraan datang dari relasi kebijakan dan program percepatan pembangunan daerah tertinggal, kerusuhan menghilang datang dari relasi sentuhan program peningkatan kesejahteraan sosial atau peningkatan kualitas sumber daya manusia. 

Alangkah efektifnya, jika hasil dan dampak program tersebut muncul ke permukaan, karena dirasakan langsung oleh masyarakat.

Bukankah banyak orang yang terpikat melalui sisi luar, dari permukaan tubuh atau permukaan dunia, di tengah perbedaan yang terjadi selama ini? Terakhir, satu dua kalimat dari saya. Jangan abaikan tuntutan keadilan Papua!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun