Pertentangan dalam perbedaan tanpa konsep dan representasi tidak menetralkan warna, dimana kata-kata menyerupai perbincangan yang senyap di ruang terbuka bagi setiap orang.
Mereka diatur dalam tema perbedaaan tiba-tiba berubah menjadi kekerasan konsep, kekerasan bahasa, kekerasan simbolik (aparat dan kelompok separitis), dan kekerasan hasrat tidak terlukiskan di atas kanvas.
Permukaan gambar wajah anak-anak daerah tertinggal cukup sulit mengatur titik permulaan. Permukaan gambar wajah anak-anak daerah tertinggal masih mengarah pada ‘perbedaan dari perbedaan’. “Orang-orang asli Papua jika sudah banyak uang, ternyata dipakai untuk hura-hura.”
Begitulah, kurang lebih yang pernah saya dengar dari teman yang merantau ke daerah Papua.
Anak muda Papua tidak berbeda dalam hirarki ujaran, yang melebihi kulit, telinga, mata, bibir, dan hidung kita.
Tidak hanya perbedaan, tetapi juga kefatalan menggunakan istilah ‘perbedaan tanpa perbedaan’ memasuki titik permukaan yang retak di balik gambar di sekitar kita.
Kita melangkah ke bagian gambar terdalam, yakni kekuatan alamiah dalam gambar virtual yang mengelilingi kita.
Anak-anak di daerah tertinggal seperti Papua berbicara pada kita tanpa tiruan sedikitpun berada di luar ruang kebangsaan. Mereka bukanlah refleksi sejarawan yang mempertontonkan kemiripan antara simbol melalui bendera yang satu dengan simbol lainnya.
Dalam struktur bahasa, perbedaan ditangkap oleh penciuman melebihi apa-apa yang didengar secara tidak utuh, seperti orang-orang dipermainkan kata-kata berantai.
Dari sini, mimpi anak-anak Papua, semuanya bergerak melintasi permukaan benda-benda yang merasuk dari hal-hal yang ditukar oleh seorang repititor (pengulang) memasuki perbedaan yang lain. Mereka tidak ingin lagi menjadi “obyek” pembangunan.
Paradoks permukaan membentangkan pilihan bebas dan hasrat untuk mengetahui.