Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bagaimana Filsafat Bisa Digunakan di Masa Krisis

23 November 2022   13:55 Diperbarui: 24 November 2022   09:21 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi para filsuf (Sumber gambar : feelsafat.com)

Kita akan bingung sekaligus tidak ada ambiguitas. Dimanakah kita gerangan? Kesenyapan massa ataukah akhir dari ekonomi, akhir dari filsafat? Kesenyapan citra ataukah akhir dari layar? Kesenyapan gurun pasir ataukah akhir dari metafora-pasar? 

Kita menunggu peristiwa untuk menyingkap misteri yang menyelimutinya dan menghentak secara tiba-tiba untuk menghentikan arus pertukaran dan peredaran. 

Citra tanpa lensa, panggung tanpa kamera, ilusi tanpa bayangan realitas bergerak dari ekonomi politik ke ‘ekonomi libido’. Permainan tanda terlepas dari krisis atas krisis sebagai kelenyapan makna kehidupan

Kesenangan yang berpindah dan bertukar tempat nampak dalam dunia nyata terjalin sebuah “tarian retorika.” “Saya punya tanda, Anda punya halusinasi atau sebaliknya.” Kesenangan atas sesuatu tanpa batas yang melampaui mekanisme (ekonomi pasar). Hilangnya dunia nyata terjadi tatkala tidak ada lagi kecanduan dan kesenangan, melainkan kelimpahruahan dan penumpukan obyek yang dikonsumsi. Setiap kali ilusi, citra, dan simulasi ekonomi di sekitar kita membawa korban, di sana pula kesenangan terjatuh dalam kelimpahruahan dan penumpukan ampas dari obyek belanja. Demi krisis, konsumsi massa seiring dengan massa yang mengambang bebas.

Namun demikian, konsumsi bukanlah masalah kebutuhan, tetapi kesenangan terhadap yang nyata dan kasat mata. Kesenangan mengkonsumsi dari seseorang tidak dibentuk oleh proposisi, metode dan nilai, melainkan energi massa yang mengakhiri teori. Setelah relasi kesenangan dan teori berakhir, makna tidak dapat lagi berada dalam kehidupan, kecuali diluapi oleh konsumsi massa tatkala kesenangan semakin nyata sebagai proses kenampakan sekaligus kelenyapan.

Setiap pertukaran dan takdir muncul, tempat dimana dilahirkannya peristiwa kesenangan, disanalah kelenyapan dunia nyata diuji. 

Dari kelenyapan ke titik akhir adegan, teater, dan hasrat untuk konsumsi. Kelenyapan merupakan cara terbaik yang mesti ditempuh sebagai bagian dari peristiwa ekonomi. 

Tidak ada jalan lain, kecuali penghancuran kebenaran yang ditampilkan oleh realitas. Dalam masa tertentu, ekonomi kita berubah dari korban krisis ekonomi menjadi aliran hasrat untuk mengkrisiskan setiap krisis melanda dunia. Maksudnya? Mengganti krisis melalui krisis itu sendiri. Saya jadi bingung sendiri.

Hasrat untuk ekonomi nampaknya tidak mengalami krisis demi krisis hingga kegagalan untuk menyelamatkan masa depan manusia. Tetapi, saya membaca sendiri, krisis ekonomi global tidak ngelantur di ruang publik. Bagaimana si doi?

***

Seperti halnya kelenyapan realitas atau keruntuhan ekonomi nampak tidak berlangsung lama dalam energi bumi, melainkan tanda kasih sayang ibu. Realitas berlawanan dengan penampilan luar di balik kecerdasan artifisial, kloning, dan pornografi. Pikiran akan kembali pada perjalanan panjang menuju titik akhir dari ‘titik akhir’. Sedangkan, ilusi, fantasi, dan kesenangan menjadi semacam lelucon ringan dari Luthfi Assyaukanie (2021) ketika menyatakan bangkrutnya filsafat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun