Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mereka adalah Guruku

25 November 2022   08:05 Diperbarui: 25 November 2022   08:05 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari, ibundanya bertanya, yang ditujukan pada ketiga anak-anakku sebelum menjelang usia remaja. Pertanyaan untuk anakku yang pertama. Apa cita-citamu nak? Ingin menjadi gubernur. Akan kuperbaiki jalanan bunda, jawabnya. 

Berikut, apa cita-citamu nak? Ingin menjadi dosen, sama bapak nenek, jawab anakku yang kedua. Apa cita-citamu nak kelak kalau dewasa? Ingin menjadi dosen agama, sama bapak nenek dan bunda, jawab anakku yang ketiga.

Ibundanya anak-anak ngobrol ke saya setelah memberanikan bertanya ke anak-anak. Saya terharu campur gembira. 

Sepatah dua kata dari pertanyaan seiring dengan jawaban, seperti yang diceritakan ibundanya anak-anak membuat mataku berkaca-kaca. Ceritanya, saya aminkan setiap jawaban anak-anak atas pertanyaan ibundanya. Amin, ya Allah, semoga terkabul!

Marilah kita bergeser dulu ke topik pembicaraan lain. Kita mungkin akan mencoba untuk menyelami mutiara guru di samudera yang amat dalam dan luas. 

Saya kembali mengingat masa anak-anak, sekian puluh tahun berlalu. Coba kita mulai bertanya sendiri. Mengapa dulu, ketika mendengar suara guru, dari muridnya, seperti saya merasa takut?

Kita merasa sungkam dan sangat segan jika ingin lewat di depan mereka. Jangankan ingin lewat, mendengar bunyi sepatu saja dari guru, kita lebih baik urungkan niat untuk mendekatinya.

Saya acapkali mendengar, seperti nada curhatan atau gerutu. Mengapa berbeda guru old dengan guru now? Saya langsung tersentak dengan bunyi pertanyaan tersebut. Saya seperti ketiban lima puluh kilogram benda dari atas atap rumah.

***

Tidak berlebihan, sekarang berlangsung keheranan karena ketidakhadiran guru yang hebat. Meskipun mereka telah meninggalkan dunia fana, guru masih berbicara di hadapan kita melalui teks tertulis dan karya lain, begitu membekas, yang kurang lebih memengaruhi pikiran.

Guru tidak hanya mengajari kita membaca dan menulis, membentuk akal dan karakter, tetapi juga guru di sekolah sedang melatih diri untuk menulis. Guru yang bisa menulis, karena mereka tidak melangkah lebih maju akibat guru lain tidak bisa menulis.

Dalam benak guru, bahwa mereka berprofesi pendidik yang menggiring dirinya untuk lebih melatih dirinya dengan cara menulis. Satu kesyukuran apabila guru tanpa berpikir ingin merahi ketenaran atau mencari dan memperluas pengaruh. Kata lain, betapun berat tanggunjawab guru terhadap peserta didiknya. Guru mendidik dirinya dan dunia di luar dirinya, dari satu tulisan ke tulisan lain.

Guru publik dalam pemikiran dan kehidupan melalui tulisan untuk menghubungkan dirinya dengan dunia luar, dalam kegilaan yang terputus-putus. 

Rangkaian kata demi kata dalam tulisan yang ditulis guru tidak bergantung pada satu orang atau lebih peserta didik dari satu atau dua kelas, tetapi dunia luar yang akan merasakan didikan dari guru yang dalam menulis. Di luar diri mereka, para muridnya turut melibatkan untuk menulis dan berbicara tentang guru.

Siapa guru menginspirasi Anda? Apa pandangan Anda mengenai guru idola? Cemerlang? Baik? Disiplin? Ataukah lucu? Profesor dan yang bukan terangkum diri mereka dalam guru-guru menginspirasi atau idola menjadi topik “Guruku Luar Biasa Bagiku” dan “Guruku Pembebasku.”

Beberapa peserta didik telah menceritakan pencapaian untuk menciptakan dunia baru dari guru-guru hebat. Mereka menjadi pendidik sekaligus sahabat. 

Guru kami menciptakan dunia di luar dirinya. Karena guru, peserta didik tidak melupakan mata pelajaran matematika dan bahasa, fisika dan geografi, astronomi dan sosiologi. 

Apa yang mesti kita kenang dari guru-guru adalah pergolakan kehidupan dan bagaimana menantang pemikiran melebihi dunia yang mereka geluti.

Guru sejati tidak harus memaksakan dirinya untuk melanglang buanakan tulisannya di jurnal ilmiah, media cetak, media online dan sebagainya. Penghormatan dan kenangan atas guru hebat bukan karena karya tulisnya, memberi ujian tertulis yang tidak sulit jawabannya, berbagi cerita dan melucu sehingga setiap anak didiknya menyenangi dan mengidolakannya. Saya tidak sedang mengkhayal, karena ada guru yang mampu menerangi pemikiran dalam kegelapan dunia.

Guru yang mengeluarkan kami dari kekusutan dan mencairkan ingatan kami dari kebekuan berpikir. Tidak lebih dari itu, jejak-jejak teladan, ide, dan pemikiran yang ditinggalkan oleh guru tidak bisa dipisahkan dengan karya tulisnya, ditata ulang kalimat dan proposisinya sendiri.

Dunia yang berubah cepat di tengah kisah para guru bergelut suka cita dan berselang seling dengan duka cita. Suka cita guru berhamparan bukan karena mereka mampu membawakan mata pelajaran fisika, kimia, kalkulus, aljabar, biologi, dan bidang ilmu pengetahuan eksak lainnya secara piawai. Bukan pula karena kemampuan guru kita untuk menghadirkan presiden, menteri, pejabat negara lainnya, pengusaha, pilot, akuntan, dokter, politisi, tentara, polisi, dan sebagainya.

Guru melahirkan sang pemikir bebas, intelektual yang turun dan berada di tengah massa dan ilmuan jenius yang mengabdi pada tugas kemanusiaan melampaui ruang kelas yang penuh teori.

Sementara, duka cita guru ditunjukkan dengan berbagai tuntutan kompetensi setelah terpenuhi sertifikasi. Guru masih tetap dibebankan aturan dan tuntutan baru apalagi di era digital seperti sekarang. Belum lagi kita membicarakan mengenai kondisi guru honorer yang terseok-seok demi menjalankan tugas kemanusiaan begitu berat tantangannya. Termasuk para guru yang bertugas di pelosok dengan fasilitas serba terbatas.

Kita tidak bisa menutup mata, bahwa penampakan sosok pendidik agung dari guru-guru kita dan hasil yang fantastik ditorehkannya, muncul dari rangkaian proses perjalanan panjang dalam kehidupan. Sang guru memiliki keterkaitan dengan guru-guru sebelumnya yang berperan sebagai pemikir yang ulet, tulus, dan berdedikasi tinggi. Guru melintasi sejarah ide dan sistem pemikiran. Logika dan pemikiran mereka rumuskan penuh kesederhanaan seperti itu pula kehidupannya.

***

Hal lain yang berhubungan dengan sosok guru dengan corak pemikiran dan pergolakan akan kebenaran, antara kenampakan dan kelenyapan realitas. 

Dalam dunia ide atau dalam filsafat nalar, mungkin ada sosok yang jauh jarak waktunya, seperti sosok Rene Descartes dengan premisnya yang masyhur, Cogito Ergo Sum (Aku Berpikir, maka Aku Ada). Guru sejati adalah guru yang memikirkan pikirannya, dimana pikiran menurut Descrates tidak lebih dari suatu ‘benda berpikir yang bersifat mental’ (res cogitans). Sebagaimana dalam pengetahuan umum kita, tubuh bersifat fisik atau material seperti gaji, sertifikasi, gedung sekolah, dan ruang kelas merupakan ‘keluasan’ (res extensa), akhirnya menjadi tantangan bagi guru.

Spinoza juga mampu bekerja sebagai guru pribadi pada beberapa keluarga kesohor dan dari sinilah Spinoza bersentuhan dengan pemikiran politik Belanda dengan rumusan pemikiran awal, yaitu natura naturans (alam, realitas yang menciptakan/melahirkan) yang dipandang sebagai asal usul, sebagai sumber pancaran, sebagai daya pencipta yang asali.

Sebagai dirinya sendiri, alam adalah natura naturata (alam, realitas yang dicipta/dilahirkan), yaitu sesuatu dan nama untuk alam tetapi dipandang menurut perkembangannya, yaitu pemikiran dan kehidupan nampak di antara guru sebagai pendidik hebat.

Dinamika kehidupan yang dihadapi guru-guru hebat menghubungkan dirinya dengan dunia lain, sekalipun terpaut masanya. Dalam jarak yang jauh dari tuntunan sekarang masih ada energi menjadi proses pembelajaran guru-guru sesudahnya menyangkut pemikiran dan kehidupan.

Satu sosok yang begitu berpengaruh dalam pembentukan wilayah tidak dikenal sebelumnya dan berbahaya telah dijelajahi oleh Nietzsche. Dialah sosok guru besar yang mendidik kita dalam pasang surutnya pemikiran dan kehidupan anak zaman.

Teks narasi kemorosotan moral bangsa dan manusia modern yang sakit. Nietzsche mengumandangkan suara perih dalam The Genealogy of Morals. Apa itu moral? Apakah moral sekadar rangkaian rumusan kegunaan dari penilaian-penilaian dalam kehidupan? Dari mana sakit dapat disembuhkan setelah akhir dari moral?

Kita tidak perlu membicarakan lagi mengenai hasil yang diberikan oleh aturan-aturan yang muncul dari penilaian moral. Moral tidak memberikan apa-apa pada siapapun, kecuali seni ratapan dirinya sendiri. Butuhkah moral? Adakah keterkaitan antara moral dengan pendidikan? Apakah moral untuk kehidupan pribadi, golongan, untuk seluruh manusia ataukah setengah manusia? Mengapa ada pemikiran? Adakah kehidupan lain tanpa moral? Ataukah guru-guru sebagai pendidik masih meratapi sambil menyesali pemikiran dan kehidupan yang serba moral?

Nietzsche sebagai guru besar tidak hidup di atas “menara gading,” tidak pernah menyesal pernyataan antara kehendak untuk berkuasa dengan hidup, kehidupan, dan moralitas. Ataukah apa itu hidup dan kehidupan? Apakah kita hidup dan kehidupan sangat dibutuhkan untuk sekedar untuk bertahan hidup dan hidup dan kehidupan bebas hanya untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri.  Mengapa hidup bagi guru-guru setelah kehidupan modern pandangannya tentang hidup dan kehidupan harus kembali pada pendidikan moral? Bukankah  moral atau moralitas itu sendiri merupakan kekuatan khas atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang telah membusuk?

Seluruh pemujaan kita pada moral hanyalah pancaran dari tubuh kita, dari fungsi-fungsi organik dan biologis yang juga membutuhkan hidup dan kehidupan. Fungsi-fungsi moral tidak dibutuhkan lantaran penilaiannya tidak dibutuhkan untuk mempertahankan hidup dan kehidupan itu sendiri.

Bagaimana dengan kuasa atas pengorbanan guru? Apakah mereka akan menanggung sakit yang tidak tertahankan? Berapa lamakah guru akan memikul beban penderitaan, dari manipulasi teknologi, dari kurikulum, inovasi, dan kreativitas mampu menginspirasi dunia atau anak-anak didiknya? Kita tidak mudah membicarakan seluruhnya akan berhasil dari pohon moralitas yang telah dimakan oleh usia, lapuk, dan akhirnya mati. Dari manakah buah-buah moral dan moralitas untuk kehidupan, sedangkan pohonnya telah lama mati? Pernahkah moral berhubungan dengan hidup dan kehidupan selama berada dalam genggaman tirani dan perang atas nama Tuhan?

Dari manakah kita mengetahui, bahwa ada kekuatan moral dalam dunia pendidikan yang berguna bagi setiap orang? Kita juga tidak mudah mengatakan pada orang lain telah meneguhkan pendiriannya ditengah kehidupan terakhir bersama moral bangsa. Nietzsche tidak memilih untuk mengatakan, bahwa pohon dengan buah moral tumbuh dalam diri kita.

Lalu, begitu gegabahnya kita mencoba berlindung dibelakang pertimbangan dan kekuatan moral, padahal nafsu hanya untuk hidup dan kehidupan tanpa pohon dan buah-buahan. Memang, nihilisme merasuki hidup dan kehidupan, sekalipun orang akan berdalih lebih dahulu membunuh “Tuhan” dalam egonya. Sebelum Nietzsche sebagai “sang pembunuh” sekaligus “penggali kubur Tuhan” (lihat Thus Spake Zarathustra). Guru disegani karena penuh keteladan. Mereka bersinar bukan berapa banyak mereka membuat soal untuk murid-muridnya.

Berapa besar guru yang menginspirasi untuk mengubah dunia? Guru hebat yang manakah mampu berkreasi setelah manusia melupakan Tuhan? Nihilisme ada di sekitar guru dan dunia pendidikan. Guru mendahului buku pelajaran, dimana guru tidak menyuguhkan berapa pelajaran yang disajikan di depan kelas, tetapi sejauh mana pendidikan dikenal siapa diri Anda. Banyak mata pelajaran belum tentu mencerminkan pendidikan. Buktinya, banyak yang lulus perguruan tinggi, tetapi pendidikan bisa membedakan yang mana sudah bersekolah dan yang mana tidak.

Dalam sudut pandang Nietzsche, manusia tidak selalu dapat mengatasi perihnya penderitaan dan beratnya tantangan untuk mewujudkan kehendaknya sebagai manusia sejati selama guru sebagai profesi pendidik belum mengetahui apa yang dimaksudkan penderitaan dan tantangan.

Dalam kehidupan akan selalu ada perbedaan antara manusia dan binatang sebagai dua sisi yang  saling berinteraksi dan saling menetralisir, yaitu sisi kemanusiaan dan sisi kebinatangan dalam dirinya. Manusia akan selalu mencapai tujuannya sejauh relasi timbal balik antara dua sisi yang berbeda berada dalam pergolakan hidup dan kehidupan.

Bisa dikatakan, di dunia Barat dan Timur dilihat dari persfektif pendidikan nyaris tidak ada selubung yang menutupinya menyangkut nilai moral, terlepas dari sorotan Nietzsche mengenai “moralitas tuan” dan “moralitas budak.” Saya juga tidak tahu interaksinya. Apakah ada pengaruh atau tidak dengan munculnya guru hebat di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital atau budaya asing dengan sistem kode yang menopangnya?

Kemanakah jalan yang harus ditempuh oleh anak-anak didik? Nietzsche secara terbuka dan menukik dalam pembagian tingkat kebudayaan, yaitu ‘kaum yang tidak berpendidikan’, ‘kaum yang berpendidikan’, dan ‘inklusif’ menjadi pertimbangan atau penolakan atas ‘sistem penilaian’ yang akan disusun oleh guru.

Tingkatan kaum yang tidak berpendidikan ditandai dengan kehendak manusia untuk melukai dan menghancurkan orang lain. Sedangkan, kebudayaan dari kaum yang berpendidikan adalah kebudayaan orang-orang yang mengagumi dan membiarkan sesamanya saling bercanda, bahagia, lucu, dan ironi. Tingkat kebudayaan lain dari kaum yang berpendidikan, yaitu inklusif, orang lebih berpaling pada dunianya sendiri dan menciptakan kuasa atas dirinya sendiri.

Gaya inklusif dari guru untuk mendidik kaum yang berpendidikan bersedia menerima kaum yang tidak berpendidikan menjadi bagian darinya.

Dari sini, orang-orang yang berada pada tahapan kebudayaan inklusif akan melepaskan dirinya sebagai pihak paling berkuasa. Berkat pembagian tingkat kebudayaan juga menunjukkan, bahwa jenis moral tercipta sesuai dengan pihak yang menciptakan. Guru-guru perlu mewaspadai ketiga tingkatan kebudayaan tersebut. Kita melihat betapa cara berpikir yang dibentuk melalui tingkatan kebudayaan yang tidak stabil, terutama pada tingkat kebudayaan inklusif dan toleran.

Moral dan moralitas diciptakan untuk membatasi dan membuat tidak berdaya dan galau bagi orang-orang yang tidak disenangi oleh orang tidak galau. Sehingga, ada sekelompok orang bisa menguasai orang-orang secara hirarkis, yang tidak berdaya berada dalam tingkat kebudayaan kaum yang tidak berpendidikan dan reaksioner. Cukup jelas di sini, wujud pengajaran berbeda dengan pendidikan.

Selain itu, guru-guruku mencakup pemikiran filosofis yang baru, seperti Martin Heidegger, Michel Foucault, Jacques Derrida, Jean Francois Lyotard, dan Gilles Deleuze. Being and Time, teks intelektual-filsuf besar Heidegger begitu sulit untuk dipahami isinya. Dia memperkenalkan apa itu keruntuhan subyek atas segala yang menjurus pada nalar transendental.

Sekedar untuk menyebut, Michel Foucault yang luar biasa telah mewariskan intelektualitas dalam meta-genre ‘irasionalitas yang rasional’, ‘rasionalitas yang irasional’ dalam hubungannya dengan Nietzsche, saat Foucault berbicara tentang relasi antara kuasa dan pengetahuan, bahkan seksualitas.

Tarulah misalnya, dalam deretan karya-karyanya, seperti Power/Knowledge, The Archaeology of Knowledge, Madness and Civilization, Discipline and Punish, The History of Sexuality (I-III), dan The Order of Thing.

Selanjutnya, karya Jacques Derrida, diantaranya Of Grammatology, Writing and Difference, Dessimination, Speech and Phenomena, Specters of Marx, dan On Cosmopolitanism and Forgiveness. Karya-karya Gilles Deleuze juga menawarkan wawasan baru, yang belum pernah kami temukan sebelumnya, diantaranya: Difference and Repetition, Cinema, Desert Islands and Other Texts, The Logic of Sense, Nietzsche and Philosophy, Spinoza : Practical Philosophy dan bersama Felix Guattari menyusun Anti-Oedipus dan What is Philosophy?

Mengapa para guru pemikir dari dunia Barat? Saya punya pertimbangan lain tentang pengetahuan. Selama pencarian kebenaran tidak lantas membuat saya minder atau tertutup terhadap pemikiran dari luar. Pikiranku yang bakal menyaringnya, tanpa menelan bulat-bulat apa yang datang dari luar. Demi kemaslahatan, saya mesti mencari pengetahuan tanpa sekat-sekat perbedaan. Begitulah yang diajarkan oleh raksasa pemikir dunia. Jangankan berteman, seorang tawanan musuh pun, jika berilmu yang bermanfaat, misalnya saya akan "menimbah" ilmunya.

Selain itu, di negeri kita, bisa disebutkan, diantaranya teks Tan Malaka, Materialisme, Dialektika dan Logika (Madilog) dan teks Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani. Ditambahkan pula, suatu pemikiran filosofis, misalnya Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, dan Muhammad Abed Al-Jabiri.

Secara singkat, para tokoh sekaligus ‘guru besar’ tersebut di atas tidak memiliki keterkaitan genealogis pemikiran dengan kurikulum dan inspirasi guru sekarang yang masih bergelut dengan permasalahan para siswa dan mahasiswa Indonesia setelah menempuh Ujian Akhir Semester Ganjil (UAS) dianggap begitu ketat.

Para pemikir bebas dan filsuf besar tidak pernah bermimpi untuk menjawab permasalahan peserta didik dengan kategori “nilai bagus dan sangat memuaskan” melalui Indeks Prestasi (IP) 4.00. Setidak-tidaknya lulus mata kuliah bagi mahasiswa. Setelah Anda lulus sekolah yang lebih tinggi, Anda ingin kemana?

Tidak keliru, bahwa setiap zaman berbeda kondisi dan sistemnya. Untuk mereka, guru yang mengubah dunia. Karena itu, disitulah guru menawarkan atau membebaskan kita dari ancaman kebudayaan. Jangan lupa! Ibu dan ayah adalah guru. Mereka berdua menjadi guru pemikiran dan kehidupan. Guru abadiku!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun