Gaya inklusif dari guru untuk mendidik kaum yang berpendidikan bersedia menerima kaum yang tidak berpendidikan menjadi bagian darinya.
Dari sini, orang-orang yang berada pada tahapan kebudayaan inklusif akan melepaskan dirinya sebagai pihak paling berkuasa. Berkat pembagian tingkat kebudayaan juga menunjukkan, bahwa jenis moral tercipta sesuai dengan pihak yang menciptakan. Guru-guru perlu mewaspadai ketiga tingkatan kebudayaan tersebut. Kita melihat betapa cara berpikir yang dibentuk melalui tingkatan kebudayaan yang tidak stabil, terutama pada tingkat kebudayaan inklusif dan toleran.
Moral dan moralitas diciptakan untuk membatasi dan membuat tidak berdaya dan galau bagi orang-orang yang tidak disenangi oleh orang tidak galau. Sehingga, ada sekelompok orang bisa menguasai orang-orang secara hirarkis, yang tidak berdaya berada dalam tingkat kebudayaan kaum yang tidak berpendidikan dan reaksioner. Cukup jelas di sini, wujud pengajaran berbeda dengan pendidikan.
Selain itu, guru-guruku mencakup pemikiran filosofis yang baru, seperti Martin Heidegger, Michel Foucault, Jacques Derrida, Jean Francois Lyotard, dan Gilles Deleuze. Being and Time, teks intelektual-filsuf besar Heidegger begitu sulit untuk dipahami isinya. Dia memperkenalkan apa itu keruntuhan subyek atas segala yang menjurus pada nalar transendental.
Sekedar untuk menyebut, Michel Foucault yang luar biasa telah mewariskan intelektualitas dalam meta-genre ‘irasionalitas yang rasional’, ‘rasionalitas yang irasional’ dalam hubungannya dengan Nietzsche, saat Foucault berbicara tentang relasi antara kuasa dan pengetahuan, bahkan seksualitas.
Tarulah misalnya, dalam deretan karya-karyanya, seperti Power/Knowledge, The Archaeology of Knowledge, Madness and Civilization, Discipline and Punish, The History of Sexuality (I-III), dan The Order of Thing.
Selanjutnya, karya Jacques Derrida, diantaranya Of Grammatology, Writing and Difference, Dessimination, Speech and Phenomena, Specters of Marx, dan On Cosmopolitanism and Forgiveness. Karya-karya Gilles Deleuze juga menawarkan wawasan baru, yang belum pernah kami temukan sebelumnya, diantaranya: Difference and Repetition, Cinema, Desert Islands and Other Texts, The Logic of Sense, Nietzsche and Philosophy, Spinoza : Practical Philosophy dan bersama Felix Guattari menyusun Anti-Oedipus dan What is Philosophy?
Mengapa para guru pemikir dari dunia Barat? Saya punya pertimbangan lain tentang pengetahuan. Selama pencarian kebenaran tidak lantas membuat saya minder atau tertutup terhadap pemikiran dari luar. Pikiranku yang bakal menyaringnya, tanpa menelan bulat-bulat apa yang datang dari luar. Demi kemaslahatan, saya mesti mencari pengetahuan tanpa sekat-sekat perbedaan. Begitulah yang diajarkan oleh raksasa pemikir dunia. Jangankan berteman, seorang tawanan musuh pun, jika berilmu yang bermanfaat, misalnya saya akan "menimbah" ilmunya.
Selain itu, di negeri kita, bisa disebutkan, diantaranya teks Tan Malaka, Materialisme, Dialektika dan Logika (Madilog) dan teks Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani. Ditambahkan pula, suatu pemikiran filosofis, misalnya Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, dan Muhammad Abed Al-Jabiri.
Secara singkat, para tokoh sekaligus ‘guru besar’ tersebut di atas tidak memiliki keterkaitan genealogis pemikiran dengan kurikulum dan inspirasi guru sekarang yang masih bergelut dengan permasalahan para siswa dan mahasiswa Indonesia setelah menempuh Ujian Akhir Semester Ganjil (UAS) dianggap begitu ketat.
Para pemikir bebas dan filsuf besar tidak pernah bermimpi untuk menjawab permasalahan peserta didik dengan kategori “nilai bagus dan sangat memuaskan” melalui Indeks Prestasi (IP) 4.00. Setidak-tidaknya lulus mata kuliah bagi mahasiswa. Setelah Anda lulus sekolah yang lebih tinggi, Anda ingin kemana?