Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mereka adalah Guruku

25 November 2022   08:05 Diperbarui: 25 November 2022   08:05 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nietzsche sebagai guru besar tidak hidup di atas “menara gading,” tidak pernah menyesal pernyataan antara kehendak untuk berkuasa dengan hidup, kehidupan, dan moralitas. Ataukah apa itu hidup dan kehidupan? Apakah kita hidup dan kehidupan sangat dibutuhkan untuk sekedar untuk bertahan hidup dan hidup dan kehidupan bebas hanya untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri.  Mengapa hidup bagi guru-guru setelah kehidupan modern pandangannya tentang hidup dan kehidupan harus kembali pada pendidikan moral? Bukankah  moral atau moralitas itu sendiri merupakan kekuatan khas atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang telah membusuk?

Seluruh pemujaan kita pada moral hanyalah pancaran dari tubuh kita, dari fungsi-fungsi organik dan biologis yang juga membutuhkan hidup dan kehidupan. Fungsi-fungsi moral tidak dibutuhkan lantaran penilaiannya tidak dibutuhkan untuk mempertahankan hidup dan kehidupan itu sendiri.

Bagaimana dengan kuasa atas pengorbanan guru? Apakah mereka akan menanggung sakit yang tidak tertahankan? Berapa lamakah guru akan memikul beban penderitaan, dari manipulasi teknologi, dari kurikulum, inovasi, dan kreativitas mampu menginspirasi dunia atau anak-anak didiknya? Kita tidak mudah membicarakan seluruhnya akan berhasil dari pohon moralitas yang telah dimakan oleh usia, lapuk, dan akhirnya mati. Dari manakah buah-buah moral dan moralitas untuk kehidupan, sedangkan pohonnya telah lama mati? Pernahkah moral berhubungan dengan hidup dan kehidupan selama berada dalam genggaman tirani dan perang atas nama Tuhan?

Dari manakah kita mengetahui, bahwa ada kekuatan moral dalam dunia pendidikan yang berguna bagi setiap orang? Kita juga tidak mudah mengatakan pada orang lain telah meneguhkan pendiriannya ditengah kehidupan terakhir bersama moral bangsa. Nietzsche tidak memilih untuk mengatakan, bahwa pohon dengan buah moral tumbuh dalam diri kita.

Lalu, begitu gegabahnya kita mencoba berlindung dibelakang pertimbangan dan kekuatan moral, padahal nafsu hanya untuk hidup dan kehidupan tanpa pohon dan buah-buahan. Memang, nihilisme merasuki hidup dan kehidupan, sekalipun orang akan berdalih lebih dahulu membunuh “Tuhan” dalam egonya. Sebelum Nietzsche sebagai “sang pembunuh” sekaligus “penggali kubur Tuhan” (lihat Thus Spake Zarathustra). Guru disegani karena penuh keteladan. Mereka bersinar bukan berapa banyak mereka membuat soal untuk murid-muridnya.

Berapa besar guru yang menginspirasi untuk mengubah dunia? Guru hebat yang manakah mampu berkreasi setelah manusia melupakan Tuhan? Nihilisme ada di sekitar guru dan dunia pendidikan. Guru mendahului buku pelajaran, dimana guru tidak menyuguhkan berapa pelajaran yang disajikan di depan kelas, tetapi sejauh mana pendidikan dikenal siapa diri Anda. Banyak mata pelajaran belum tentu mencerminkan pendidikan. Buktinya, banyak yang lulus perguruan tinggi, tetapi pendidikan bisa membedakan yang mana sudah bersekolah dan yang mana tidak.

Dalam sudut pandang Nietzsche, manusia tidak selalu dapat mengatasi perihnya penderitaan dan beratnya tantangan untuk mewujudkan kehendaknya sebagai manusia sejati selama guru sebagai profesi pendidik belum mengetahui apa yang dimaksudkan penderitaan dan tantangan.

Dalam kehidupan akan selalu ada perbedaan antara manusia dan binatang sebagai dua sisi yang  saling berinteraksi dan saling menetralisir, yaitu sisi kemanusiaan dan sisi kebinatangan dalam dirinya. Manusia akan selalu mencapai tujuannya sejauh relasi timbal balik antara dua sisi yang berbeda berada dalam pergolakan hidup dan kehidupan.

Bisa dikatakan, di dunia Barat dan Timur dilihat dari persfektif pendidikan nyaris tidak ada selubung yang menutupinya menyangkut nilai moral, terlepas dari sorotan Nietzsche mengenai “moralitas tuan” dan “moralitas budak.” Saya juga tidak tahu interaksinya. Apakah ada pengaruh atau tidak dengan munculnya guru hebat di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital atau budaya asing dengan sistem kode yang menopangnya?

Kemanakah jalan yang harus ditempuh oleh anak-anak didik? Nietzsche secara terbuka dan menukik dalam pembagian tingkat kebudayaan, yaitu ‘kaum yang tidak berpendidikan’, ‘kaum yang berpendidikan’, dan ‘inklusif’ menjadi pertimbangan atau penolakan atas ‘sistem penilaian’ yang akan disusun oleh guru.

Tingkatan kaum yang tidak berpendidikan ditandai dengan kehendak manusia untuk melukai dan menghancurkan orang lain. Sedangkan, kebudayaan dari kaum yang berpendidikan adalah kebudayaan orang-orang yang mengagumi dan membiarkan sesamanya saling bercanda, bahagia, lucu, dan ironi. Tingkat kebudayaan lain dari kaum yang berpendidikan, yaitu inklusif, orang lebih berpaling pada dunianya sendiri dan menciptakan kuasa atas dirinya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun