Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Foucault dan Kuasa sebagai Rezim Kebenaran

21 November 2022   14:55 Diperbarui: 21 November 2022   19:12 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu diskursus kebijakan pemerintah mengenai proses seleksi calon rektor perguruan tinggi memungkinkan terbuka bagi calon dari luar negeri.

Coba kita ingat tentang kuasa disipliner di tingkat mikro! Misalnya, penilaian dari Dewan Guru Besar Universitas Indonesia atas penolakan Ade Armando menjadi Guru Besar.

Penilaian dari Dewan Guru Besar perguruan tinggi tersebut menyoroti permasalahan integritas, etika, dan tatakrama.

Tetapi, penjelasannya tidak jelas apa indikatornya dan tanpa ada pembuktian secara ilmiah yang mendukung pelanggaran atau kesalahannya.

Saya tidak mengerti mengapa penolakan itu justeru Ade Armando makin "genit" memainkan narasi panas belakangan ini.

Selain itu, usai Ade Armando "diringsek" oleh anggota massa di kegiatan tempo hari lantaran "kebebasan berbicara" malah berbeda dengan razia buku-buku yang bertentangan dengan falsafah negara. Kasus yang berbeda, tetapi akhir-akhir ini masih menjadi bagian dari diskursus tentang relasi antara kuasa dan pengetahuan.

Saya tahu diri. Saya mungkin dianggap sok-sokan berbicara tentang kuasa. Tetapi, sudahlah. Sekarang saya ingin bertanya. Bagaimana kawan, apa itu kuasa?

Kuasa berarti kemampuan untuk keluar dari kemandekan setelah ditinggikan dirinya dengan hal-hal yang bisa diserap dan dilepaskan, sehingga kuasa menjadi perang bisu menempatkan konflik dalam berbagai institusi sosial, dalam ketidaksetaraan ekonomi, dalam bahasa, dan bahkan dalam tubuh kita masing-masing. Foucault menolak jika ada pandangan negatif terhadap kuasa, seperti pengurungan, represi, sensor, abstraksi, dan penyembunyian (lihat Foucault, Michel, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, Vintage Books, New York, 1995, hlm. 194).

Secara umum harus diakui, bahwa kuasa lebih beroperasi daripada dimiliki. Kuasa bukan merupakan kumpulan hak istimewa diambil atau dipertahankan kelas dominan.

Tetapi, akibat dari keseluruhan posisi strategisnya, akibat ia menunjukkan posisi mereka didominasi. Kuasa juga memiliki suatu strategi kompleks dalam masyarakat dengan perlengkapan, manuver, teknik, dan mekanisme tertentu.

Namun demikian, tanda kuasa tidak dapat dilokalisasi pada tempat tertentu menjadi milik seseorang dalam suatu institusi tertentu atau melekat pada aparat negara. Disamping “kuasa ada dimana-mana,” kata Foucault (lihat Foucault, Michel, History of Sexuality :  An Introduction,  Volume 1, Vintage Books, New York, 1990, hlm. 93). Kuasa menyebar dengan mata dan penciuman dalam relasi bahasa dan produksi sosial. Tetapi, kuasa bukan diperoleh, dirampas, dibagi atau sesuatu yang bisa kita genggam begitu saja untuk mengizinkan atau menggelincirkan. 

Menurut Foucault, kuasa berarti menumbuhkan normalisasi dan desiminasi atas jejak-jejak yang ditinggalkannya. Tujuan memahami bentuk-bentuk aktual perjuangan melawan rezim kuasa bukanlah untuk menyerang institusi kuasa, tetapi membuka kedok teknik tertentu dari rezim kuasa yang cerdik mengelompokkan orang kedalam kategori-kategori dan mengaitkannya dengan identitas. Kemudian kuasa dipaksakan norma kebenaran tertentu yang harus diakui dan diterima.

Dalam ritualisasi kuasa, konstelasi daging sama dengan konstelasi darah kita, karena makanan direproduksi secara biologis dalam tubuh, terukur bebannya oleh darah. Kuasa pertama-tama bukan represi atau pertarungan kekuatan dan bukan juga fungsi dominasi suatu kelas didasarkan pada penguasaan atas ekonomi, atau dari manipulasi ideologi melalui aparat kuasa. 

Mengapa saya melihat dalam dagingku sendiri, seperti tubuhku melayang di kehampaan, tanpa atmosfir atau ia sama sekali tanpa gravitasi?  

Dalam pandangan Foucault sebaliknya, tubuh sosial ternominaliskan, diskursus tentang kuasa bukanlah sebuah infrastruktur, bukan barisan dan kerumunan, bukan kekuatan tertentu yang diberkahi. Dalam pandanga Foucault tentang adalah jenis nama yang seseorang mengatributkan pada situasi strategis di luar diri kita (1990: 93). 

Foucault sang pemabuk fantastis di siang hari, dia sungguh-sungguh menyilaukan mata kuasa. Kita perlu menanamkan tanda kuasa, yaitu pertama-tama, kita melihat “beragamnya relasi-relasi kuasa melekat pada bidang relasi-relasi tersebut dan organisasinya. Permainannya akan mengubah, memperkuat, dan membalikkan relasi itu melalui perjuangan dan pertarungan terus-menerus.”

Menurut Foucaut, bahwa kuasa lebih berbentuk sebagai sesuatu yang produktif pada saat setiap orang turut mengambil bagian yang menghasilkan realitas. Haus, tarian, negara, dan akibat-akibat kuasa tidak perlu digambarkan secara picik atau prasangka buta menjadi figur mistis yang menafikan, menindas, menolak, menyensor, menutupi, dan menyembunyikan sesuatu.

Ternyata, suatu rezim kuasa yang ditandai menghasilkan sesuatu yang begitu nyata, bidang-bidang objek dan ritus-ritus kebenaran. Individu dan pengetahuan melanjutkan produksi itu. Jika dahulu, rantai kuasa dilaksanakan melalui perang, perjuangan, larangan atau melawan larangan, dewasa ini, kuasa terlaksana dalam bentuk manajemen energi, yakni kemampuan dan kehidupan masyarakat (deteritorialisasi) tidak mungkin mengabaikan pengetahuan. 

Rangkaian teknik pengujian, wawancara, jajak pendapat, dan konsultasi merupakan “ritus-ritus kebenaran” diproduksi oleh kuasa. Kegiatan-kegiatan tersebut mempunyai kriteria keilmiahan menjadi ukuran kebenaran. Dengan demikian, kuasa tidak bisa dipisahkan dari pengetahuan. 

Kita melihat suatu teknik tertentu untuk membentuk individu melalui pengetahuan. Individu memang hasil representasi ideologis masyarakat, namun individu juga merupakan realitas yang diciptakan oleh teknologi kuasa atau disiplin.

Mengenai masyarakat modern, Foucault melihat setiap tempat berlangsungnya rezim kuasa juga menjadi arena atau tempat pembentukan pengetahuan tentang kegilaan tanpa penyakit syaraf atau gangguan mental (lihat Foucault, Michel, Power/Knowledge, Pantheon Books, New York, 1980, hlm. 117).

Paradoks kuasa berlangsung jika memiliki keterkaitan dengan fenomena kegilaan (pertarungan habisan-habisan dalam Pemilu) adalah jenis ‘kegilaan kecil’ tanpa penyakit syarat atau gangguan mental.

Begitu pula sebaliknya, pengetahuan memungkinkan dan menjamin beroperasinya kuasa. Kehendak untuk mengetahui menjadi proses dominasi terhadap objek-objek dan terhadap manusia. 

Pengetahuan adalah cara bagaimana kuasa memaksakan diri kepada subjek tanpa memberi kesan bahwa ia datang dari subjek tertentu karena kriteria keilmiahan seakan-akan mandiri terhadap subjek. Padahal, klaim ini merupakan bagian dari strategi kuasa. Kini, strategi kuasa sebagai yang melekat pada kehendak untuk mengetahui. 

Melalui diskursus, kehendak untuk mengetahui terumus dalam produksi pengetahuan. Bahasa (lihat Foucault, Michel, The Archaeology of Knowledge,  Pantheon Books, New York, 1972, hlm. 215) menjadi alat untuk mengartikulasikan kuasa pada saat rezim seharusnya menyerap bentuk pengetahuan, karena ilmu-ilmu pengetahuan menjadi cara (re)produksi “bahasa kuasa” yang diselundupkan, terumus dalam bentuk pernyataan-pernyataan dalam bentuk teks tertulis (dokumen perencanaan pembangunan berdasarkan kategorisasi, identifikasi, dan sistematisasi). Termasuk pula seni dan bahasa sebagai mesin ritual kuasa.

Dalam teks Foucault, bahwa kuasa-pengetahuan terpusatkan dalam nilai kebenaran pernyataan-pernyataan ilmiah. Karena itu, mungkin masyarakat berusaha menyalurkan, mengontrol dan mengatur diskursus mereka agar sejalan dengan tuntutan ilmiah. 

Diskursus kuasa semacam ini dianggap mempunyai otoritas. Pengetahuan tidak bersumber pada subjek dan pengalaman, tetapi tumbuh dalam relasi-relasi kuasa. 

Bisa dikatakan, bahwa “kuasa menghasilkan pengetahuan. Relasi kuasa dan pengetahuan saling terkait, tidak ada relasi kuasa tanpa pembentukan yang terkait, tanpa cermin dengan bidang pengetahuan. 

Di situlah, tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak membentuk sekaligus relasi kuasa.”

Rezim kuasa bukan sesuatu yang diperoleh, dirahi atau dibagi begitu saja, seseorang yang berpegang kepada kuasa ini atau memungkinkan untuk menyelinap pergi; kuasa yang dilaksanakan dari titik yang tidak terhitung banyaknya, dalam interaksi relasi. 

Relasi-relasi kuasa bukanlah dalam kedudukan eksterioritas dengan menghormati jenis relasi-relasi yang lain (proses ekonomi, relasi pengetahuan atau relasi hasrat seksual), melainkan sesuatu yang imanen dalam relasi terakhir. Relasi kuasa bukanlah dalam keadaan superstruktur dengan peranan pertemanan atau pelarangan semata. Mereka sekedar memiliki peranan produktif secara langsung, titik dimana mereka ikut bermain.

Kuasa berasal dari bawah, yaitu tidak ada biner dan mencakup segala pertentangan antara penguasa dan yang dikuasai dengan akar relasi kuasa dan melayani sebagai seorang tertinggi kedudukannya yang dituangkan dalam matriks. Tidak ada dualitas tersebut memanjang dari atas ke bawah dan bereaksi lebih dan lebih terbatas dari kelompok ke kedalaman dari tubuh sosial. 

Setiap produksi pengetahuan adalah politik karena syarat-syarat kemungkinannya bersumber dari relasi-relasi kuasa. Penampilan anatomi politik menunjukkan bahwa setiap teknik kuasa, produksi, dan pengetahuan lahir dari sumber yang sama.

Memang anatomi politik tidak menciptakan pengetahuan, tetapi genealogi. Dengan metode genealogi ditunjukkan bahwa kebenaran yang mengambil bentuk objektivitas ilmu itu hanyalah ilusi. Metode yang sama memperlihatkan bahwa kehendak untuk tahu menjadi proses dominasi terhadap manusia. Setiap pengetahuan berkaitan dengan rangkaian objek kuasa, yaitu pegawai rendahan, orang gila, keluarga miskin atau gelandangan dan pengemis, kriminal, anak usia dini, orang sakit, dan buruh. Kaitannya terletak kepada kemampuan kuasa-pengetahuan mendefinisikan realitas objek tersebut.

Rezim kebenaran yang ditandai nampaknya tidak bisa ditemukan di luar sistem diferensial yang membentuk bahasa. Ada satu pertanyaan Foucault. “Pertanyaan saya kira-kira seperti ini: aturan-aturan tentang hak yang bagaimanakah yang dijabarkan oleh relasi kuasa dalam produksi diskursus kebenaran?” (Power/Knowledge, 1980 : 93).

Kebenaran tidak menampilkan dirinya dalam ruang hampa, melainkan terajut dari relasi-relasi yang rumit, jalin menjalin dalam tubuh (iklan, administrasi, dan sebagainya).

Rezim kebenaran bagi siapa saja yang tidak menunda nafsu-serakah direpresi di dalam tubuh, dimana tempat persembunyian sebuah kepentingan dari kesadaran palsu. Melalui rezim kebenaran, sebuah pemenjaraan tubuh adalah pelipatgandaan kesenangan dan pelipatgandaan kegairahan pikiran. Ia menghaluskan perdagangan kekerasan melalui teknik-teknik pembungkaman atau penjinakan dari mesin kuasa, sehingga efek-efek kuasanya mampu dialirkan sampai ke pelosok partikel-partikel yang dikuasai. 

Semakin kuat dan luas jaringan mekanisme produksi kuasa, semakin penting diketahui ketelanjangan dan kekerasannya, bukan saja menggunakan teknik atau strategi kuasa. Di sisi lain, hanya dengan cara-cara pembacaan yang kritis dan terbuka, maka kita mengetahui sejauh mana identifikasi diri benar-benar dialami, dari reproduksi kuasa ilusif menjadi paling nyata. 

Seringkali muncul dalam pikiran kita, bahwa sebuah relasi-relasi kuasa dengan sangat lihai menggunakan strategi-strategi pembujukan lewat kesediaan untuk “melayani,” tetapi yang penting ia menjamin secara utuh seluruh kepentingan rezim produksi kuasa yang diselundupkan atas nama kepentingan untuk perjuangan hak-hak asasi.

Dalam rezim kebenaran, kuasa melipatgandakan dan mendistribusikan rasionalisasi kehidupan, yakni meningkatkan strategi pendisiplinan, penolakan, sensorship, halangan, dan penjinakan. Pengetahuan tentang mekanisme kuasa menjadi sarana bagi ragam kepentingan seseorang. Suatu mekanisme kuasa disembunyikan, dikategorisasikan, dan diperjuangkan dalam tubuh sebagai mesin. Menyangkut logika efisiensi, disiplin, dan kemampuan seseorang dikontrol dan diperas oleh produksi kebenaran, bukan hanya relasi produksi ekonomi, tetapi juga tubuh manusia meninggikan ritualisasi kuasa. Betapa kuasa menyerap dan menyebar reproduksi khayalan terhadap ekonomi sebagai kebenaran bagi kehidupan kita.

Foucault lebih khusus mencirikan “ekonomi politik” kebenaran dalam masyarakat modern, yaitu (i) “Kebenaran” dipusatkan pada bentuk diskursus ilmiah dan institusi yang memproduksinya; (ii) kebenaran merupakan subyek utama yang mendorong ekonomi dan politik secara konstan; (iii) kebenaran dengan bentuk yang berbeda-beda; (iv) kebenaran diproduksi dan dipancarkan di bawah kontrol yang dominan, kecuali secara eksklusif oleh beberapa aparat politik dan ekonomi (universitas, angkatan bersenjata, tulisan-tulisan, dan media massa); dan (v) kebenaran merupakan masalah utama dari seluruh perdebatan politik dan konfrontasi sosial (perjuangan ideologis) (1980 : 131-132).

Kuasa adalah kebenaran bagi pemujanya sendiri, dimana dunia dijejaki sebagai tontonan besar sekaligus “panggung politik kuasa” dalam rangka menyesatkan, menipu, memalsukan, membohongi, membutakan, dan memasrahkan diri meledak dalam jumlah kesunyian ‘yang dikuasai’.  Dunia adalah dunia dalam arti dan nilai hanya dibayangkan menurut produksi kebenaran, sehingga ia dapat membongkar hiruk-pikuk godaan dan penderitaan bagi pesolek kebenaran. Kita perlu merenungkan ironi-ironi kesepian di ruang penjara fantastis berada di dalam diri yang sengaja diciptakan hanya untuk menggembirakan kita. Penjara paling mutakhir digambarkan sebagai lembaga tempat antara pengetahuan dan kuasa terkait, karena disitulah peran kriminologi, psikologi, dan sosiologi. Masa perkembangan ilmu-ilmu manusia dengan metode psikologi, psikiatri, kriminologi, dan sosiologi menandai sifat disipliner masyarakat modern (1980 : 129). Melalui ilmu-ilmu tersebut orang belajar mengetahui manusia agar dapat lebih baik menguasainya. Kata lain, tujuan ilmu pengetahuan tidak lain adalah kuasa. Foucault menunjukkan ciri-cirinya, yaitu kuasa tidak bisa dilokalisasi, merupakan tatanan disiplin dan dihubungkan dengan jaringan, memberi struktur kegiatan-kegiatan, tidak represif tetapi produktif (1980 : 119).  Foucault juga melihat kebenaran sebagai “penjelasan-penjelasan mengenai produksi, regulasi, distribusi, sirkulasi, dan operasi yang dibangun oleh suatu sistem dari prosedur-prosedur yang telah diatur” dalam kebenaran dipahami sebagai suatu sistem.” “Kebenaran yang berhubungan dalam sebuah relasi sirkuler dengan sistem kuasa yang memproduksi dan menopangnya, dengan efek-efek kuasa yang menginduksi dan menyebarkannya.” Akhirnya, “Sebuah “rezim” kebenaran (1980 : 133). Kebenaran nampaknya sebagai rezim tidak dapat berdiri sendiri tanpa sebuah relasi sirkuler.

Semua diskursus yang mempunyai pretensi objektivitas ilmu pengetahuna adalah diskursus seseorang yang memiliki kuasa. Proses yang membuat subjek menjadi objek mengakibatkan cara baru dalam mengatur dan mengorganisasi lingkup sosial. Cara psikiatri mendefinisikan adanya penyakit jiwa membawa pemisahan antara orang gila dan orang normal. Foucault menyusun pengertian yang diberikan dokter mengenai penyakit membawa pemisahan yang dilembagakan dalam bentuk pembedaan orang sehat dan orang sakit, lalu diciptakanlah rumah sakit. Kriminologi mengubah konstelasi masyarakat dengan memisahkan antara orang baik-baik dan penjahat, yang dicurigai dan yang tak terbbat. Diciptakannya ‘penjara’ berakibat kuasa yang dijalankan polisi atau penegak hukum lainnya semakin besar. Sedangkan mengenai metodologinya, suatu metode efektif untuk memahami kuasa bukan pertama-tama menganalisis kuasa dari rasionalitas internalnya, tetapi lebih dulu mengungkap bentuk-bentuk konkrit penolakan terhadap berbagai kuasa. Jadi, kegilaan sesungguhnya adalah bentuk konkret penolakan atas rasionalitas atau kuasa-pengetahuan. Keadaan oposisi dapat saja dilihat sebagai bentuk diferensiasi atas rezim kuasa yang sewenang-wenang.

Kepatuhan diri dimekanisasikan dalam rasionalitas instrumental. Melepaskan kedua jenis rasionalisasi terakhir ini berarti akan lebih efektif dan dianggap hemat harganya dibandingkan pelacakan citra tubuh yang ditandai— insting anjing pelacak hanya mengikuti “bau” atau “jejak-jejak” yang ditinggalkan sasaran buruannya. 

Tetapi, jika pergerakan rasionalisasi formal dan teknik kehilangan kendali melalui mekanisme-mekanisme kuasa, maka seseorang yang berada dibelakangnya akan menjadi mangsa.

Disiplin ternyata sebagai satu dari teknologi kuasa masyarakat modern, sebagai “kuasa norma.” Disiplin dan mekanisme yang didalamnya harus dibedakan dari norma. Norma adalah rumusan aturan yang menyatakan nilai bersama yang dihasilkan melalui mekanisme acuan diri dan kelompok. Norma memungkinkan untuk perbandingan dan individualisasi. Sedangkan sasaran disiplin adalah tubuh, yaitu disiplin mengoreksi dan mendidik. Begitulah kebutuhan kita dalam melihat perbandingan dan individualisasi.

Penjara menjadi ruang disiplin karena di balik tembok itu sedang dilaksanakan pembuatan individu. Rezimentasi kuasa lebih digambarkan dalam suatu tatanan disiplin, ia dihubungkan dalam sejumlah jaringan.

Disiplin tidak dapat diidentikkan dengan institusi atau aparat. Disiplin adalah suatu tipe kuasa, suatu modalitas untuk menjalankan kuasa, terdiri dari keseluruhan sarana, teknik, prosedur, tingkat-tingkat penerapan, dan sasaran-sasaran.

Dalam pandangan Foucaul, disiplin merupakan fisik atau anatomi kuasa tidak lebih dari suatu teknologi. Kemajuan tubuh tidak dikendalikan, tetapi dilipatgandakan melalui produksi kebenaran melalui institusi-institusi dengan tujuan tertentu (sekolah, penelitian, rumah sakit). Seseorang yang melakukan atau menderita karena kuasa melalui gugusan-gugusan kuasa lokal yang tersebar (micropowers), seperti keluarga, sekolah-kampus, tempat kursus, barak militer, pabrik, penjara, dan melalui teknik-teknik pendisiplinan.

Disiplin bisa dijalankan oleh institusi-institusi yang sudah terspesialisasi (penjara), atau oleh institusi yang menggunakan disiplin sebagai sarana mencapai tujuan tertentu (rumah sakit, sekolah, atau institusi pendidikan), atau oleh instansi yang menggunakan disiplin sebagai sarana untuk semakin memperkuat dan mengorganisasi kuasa (keluarga, militer, rumah sakit jiwa-psikiatri), atau oleh aparat yang menggunakan disiplin sebagai prinsip berfungsinya organisasi (administrasi sejak zaman kolonial), atau oleh aparat negara yang harus menjamin disiplin masyarakat (polisi melihat orang yang melanggar lalu lintas tidak ada benarnya, kecuali bagi penegak hukum).

Dalam ranah sosial, seperti dalam rumah tangga, satu-satunya ruang seksualitas diakui adalah kamar orang tua, dimana desublimasi represif ditiadakan. Itupun tidak lebih dari masalah kegunaan dan kesuburan. Kemudian, selebihnya harus menghilang; kepantasan sikap menuntut untuk menghindari tubuh, kesantunan kata cenderung membersihkan diskursus.

Kuasa memberi struktur kegiatan-kegiatan masyarakat dan selalu rentan terhadap perubahan. Inilah disebut institusionalisasi kuasa, yakni keseluruhan struktur hukum dan politik maupun aturan-aturan sosial yang mengawetkan suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan. Adakah ciri negatif dari kuasa (kekerasan: fisik, represi atau manipulasi ideologi)? 

Dari sisi keluarga, terutama dalam pasangan berkeluarga berhak merampasnya dan mencerap seluruhnya kedalam keseriusan fungsi reproduksi. Tentang hasrat seksual orang tidak boleh berbicara apa-apa yang berkaitan dengan kewaspadaan orang tua terhadap bahaya seks bebas anak-anaknya (1980 : 120). 

Disitulah pentingnya pendidikan seks keluarga yang dicontohkan oleh orang tua pada anak-anaknya. 

Sebagai produk kuasa, seksualitas mesti diletakkan pada pasangan yang sah sajalah sebagai mitra pencipta dan berhak membuat hukum. 

Dari pasangan berkeluarga menjadi serangkaian model, menjadi norma, membawa kebenaran, dan berhak berbicara atau berpikir dengan tetap menyimpan prinsip kerahasiaan. Saya jadi penasaran, seperti ingin mengendap-endap ke ruang rahasia, ketika nyaris tidak ada rahasia lagi di zaman sekarang.

Seluruh pergerakan diskursus kuasa sebagai rezim kebenaran memungkinkan untuk menolak pertemuan antara seruan dan tanda seru. Nah, apa saya keliru, jika saya ikut nimbrung dengan sebuah seruan. Meskipun, saya sendiri tidak tahu arti dari seruan itu, saya tetap nekat untuk berseru. Akhir, tanpa mantra kuasa, seruan itu menerompet. Acta Est Fibula, Plaudite! (Sandiwara telah berakhir! Bertepuk tanganlah!). Obrolan ini pun tidak berarti apa-apa, kecuali lelucon konyol antara sandiwara dan tepuk tangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun