Memang anatomi politik tidak menciptakan pengetahuan, tetapi genealogi. Dengan metode genealogi ditunjukkan bahwa kebenaran yang mengambil bentuk objektivitas ilmu itu hanyalah ilusi. Metode yang sama memperlihatkan bahwa kehendak untuk tahu menjadi proses dominasi terhadap manusia. Setiap pengetahuan berkaitan dengan rangkaian objek kuasa, yaitu pegawai rendahan, orang gila, keluarga miskin atau gelandangan dan pengemis, kriminal, anak usia dini, orang sakit, dan buruh. Kaitannya terletak kepada kemampuan kuasa-pengetahuan mendefinisikan realitas objek tersebut.
Rezim kebenaran yang ditandai nampaknya tidak bisa ditemukan di luar sistem diferensial yang membentuk bahasa. Ada satu pertanyaan Foucault. “Pertanyaan saya kira-kira seperti ini: aturan-aturan tentang hak yang bagaimanakah yang dijabarkan oleh relasi kuasa dalam produksi diskursus kebenaran?” (Power/Knowledge, 1980 : 93).
Kebenaran tidak menampilkan dirinya dalam ruang hampa, melainkan terajut dari relasi-relasi yang rumit, jalin menjalin dalam tubuh (iklan, administrasi, dan sebagainya).
Rezim kebenaran bagi siapa saja yang tidak menunda nafsu-serakah direpresi di dalam tubuh, dimana tempat persembunyian sebuah kepentingan dari kesadaran palsu. Melalui rezim kebenaran, sebuah pemenjaraan tubuh adalah pelipatgandaan kesenangan dan pelipatgandaan kegairahan pikiran. Ia menghaluskan perdagangan kekerasan melalui teknik-teknik pembungkaman atau penjinakan dari mesin kuasa, sehingga efek-efek kuasanya mampu dialirkan sampai ke pelosok partikel-partikel yang dikuasai.
Semakin kuat dan luas jaringan mekanisme produksi kuasa, semakin penting diketahui ketelanjangan dan kekerasannya, bukan saja menggunakan teknik atau strategi kuasa. Di sisi lain, hanya dengan cara-cara pembacaan yang kritis dan terbuka, maka kita mengetahui sejauh mana identifikasi diri benar-benar dialami, dari reproduksi kuasa ilusif menjadi paling nyata.
Seringkali muncul dalam pikiran kita, bahwa sebuah relasi-relasi kuasa dengan sangat lihai menggunakan strategi-strategi pembujukan lewat kesediaan untuk “melayani,” tetapi yang penting ia menjamin secara utuh seluruh kepentingan rezim produksi kuasa yang diselundupkan atas nama kepentingan untuk perjuangan hak-hak asasi.
Dalam rezim kebenaran, kuasa melipatgandakan dan mendistribusikan rasionalisasi kehidupan, yakni meningkatkan strategi pendisiplinan, penolakan, sensorship, halangan, dan penjinakan. Pengetahuan tentang mekanisme kuasa menjadi sarana bagi ragam kepentingan seseorang. Suatu mekanisme kuasa disembunyikan, dikategorisasikan, dan diperjuangkan dalam tubuh sebagai mesin. Menyangkut logika efisiensi, disiplin, dan kemampuan seseorang dikontrol dan diperas oleh produksi kebenaran, bukan hanya relasi produksi ekonomi, tetapi juga tubuh manusia meninggikan ritualisasi kuasa. Betapa kuasa menyerap dan menyebar reproduksi khayalan terhadap ekonomi sebagai kebenaran bagi kehidupan kita.
Foucault lebih khusus mencirikan “ekonomi politik” kebenaran dalam masyarakat modern, yaitu (i) “Kebenaran” dipusatkan pada bentuk diskursus ilmiah dan institusi yang memproduksinya; (ii) kebenaran merupakan subyek utama yang mendorong ekonomi dan politik secara konstan; (iii) kebenaran dengan bentuk yang berbeda-beda; (iv) kebenaran diproduksi dan dipancarkan di bawah kontrol yang dominan, kecuali secara eksklusif oleh beberapa aparat politik dan ekonomi (universitas, angkatan bersenjata, tulisan-tulisan, dan media massa); dan (v) kebenaran merupakan masalah utama dari seluruh perdebatan politik dan konfrontasi sosial (perjuangan ideologis) (1980 : 131-132).
Kuasa adalah kebenaran bagi pemujanya sendiri, dimana dunia dijejaki sebagai tontonan besar sekaligus “panggung politik kuasa” dalam rangka menyesatkan, menipu, memalsukan, membohongi, membutakan, dan memasrahkan diri meledak dalam jumlah kesunyian ‘yang dikuasai’. Dunia adalah dunia dalam arti dan nilai hanya dibayangkan menurut produksi kebenaran, sehingga ia dapat membongkar hiruk-pikuk godaan dan penderitaan bagi pesolek kebenaran. Kita perlu merenungkan ironi-ironi kesepian di ruang penjara fantastis berada di dalam diri yang sengaja diciptakan hanya untuk menggembirakan kita. Penjara paling mutakhir digambarkan sebagai lembaga tempat antara pengetahuan dan kuasa terkait, karena disitulah peran kriminologi, psikologi, dan sosiologi. Masa perkembangan ilmu-ilmu manusia dengan metode psikologi, psikiatri, kriminologi, dan sosiologi menandai sifat disipliner masyarakat modern (1980 : 129). Melalui ilmu-ilmu tersebut orang belajar mengetahui manusia agar dapat lebih baik menguasainya. Kata lain, tujuan ilmu pengetahuan tidak lain adalah kuasa. Foucault menunjukkan ciri-cirinya, yaitu kuasa tidak bisa dilokalisasi, merupakan tatanan disiplin dan dihubungkan dengan jaringan, memberi struktur kegiatan-kegiatan, tidak represif tetapi produktif (1980 : 119). Foucault juga melihat kebenaran sebagai “penjelasan-penjelasan mengenai produksi, regulasi, distribusi, sirkulasi, dan operasi yang dibangun oleh suatu sistem dari prosedur-prosedur yang telah diatur” dalam kebenaran dipahami sebagai suatu sistem.” “Kebenaran yang berhubungan dalam sebuah relasi sirkuler dengan sistem kuasa yang memproduksi dan menopangnya, dengan efek-efek kuasa yang menginduksi dan menyebarkannya.” Akhirnya, “Sebuah “rezim” kebenaran (1980 : 133). Kebenaran nampaknya sebagai rezim tidak dapat berdiri sendiri tanpa sebuah relasi sirkuler.
Semua diskursus yang mempunyai pretensi objektivitas ilmu pengetahuna adalah diskursus seseorang yang memiliki kuasa. Proses yang membuat subjek menjadi objek mengakibatkan cara baru dalam mengatur dan mengorganisasi lingkup sosial. Cara psikiatri mendefinisikan adanya penyakit jiwa membawa pemisahan antara orang gila dan orang normal. Foucault menyusun pengertian yang diberikan dokter mengenai penyakit membawa pemisahan yang dilembagakan dalam bentuk pembedaan orang sehat dan orang sakit, lalu diciptakanlah rumah sakit. Kriminologi mengubah konstelasi masyarakat dengan memisahkan antara orang baik-baik dan penjahat, yang dicurigai dan yang tak terbbat. Diciptakannya ‘penjara’ berakibat kuasa yang dijalankan polisi atau penegak hukum lainnya semakin besar. Sedangkan mengenai metodologinya, suatu metode efektif untuk memahami kuasa bukan pertama-tama menganalisis kuasa dari rasionalitas internalnya, tetapi lebih dulu mengungkap bentuk-bentuk konkrit penolakan terhadap berbagai kuasa. Jadi, kegilaan sesungguhnya adalah bentuk konkret penolakan atas rasionalitas atau kuasa-pengetahuan. Keadaan oposisi dapat saja dilihat sebagai bentuk diferensiasi atas rezim kuasa yang sewenang-wenang.
Kepatuhan diri dimekanisasikan dalam rasionalitas instrumental. Melepaskan kedua jenis rasionalisasi terakhir ini berarti akan lebih efektif dan dianggap hemat harganya dibandingkan pelacakan citra tubuh yang ditandai— insting anjing pelacak hanya mengikuti “bau” atau “jejak-jejak” yang ditinggalkan sasaran buruannya.