Semuanya menggunakan analisis atau kritik ideologi sosialisme atau Marxisme untuk melawan ideologi kapitalisme atau kolonialisme. Kata lain, karya buku atau teori sosialisme atau ideologi Islam atas penjajahan belum ada pada waktu itu.
Intinya, alat analisis dan kritik untuk melawan bangsa kolonial atau kaum kapitalis yang menyengsarakan rakyat pada waktu itu tidak ditemukan dalam kitab dan karya lain dari para pejuang atau tokoh Islam. Dalam pembacaan atas analisis teks Karl Marx dan kaum Marxis lain, ternyata dari tokoh yang disebutkan di atas telah menemukan konsep pergerakan tentang taktik, strategi, dan seterusnya dalam melawan bangsa penjajah.
***
Singkat kata, saya mencoba untuk merangkum (meskipun saya bukan ahlinya) permasalahan tentang mengapa Muhammadiyah mandek dalam pembaharuan pemikiran Islam (tajdid al-fikr ad-Dini, ciee istilah Arab nih!) sejak lebih 100 tahun usianya. Katanya, Muhammadiyah sebagai gerakan modernis, gerakan reformasi, dan segudang istilah lain.
Pertama, melimpahnya pertumbuhan dan perluasan akses amal usaha Muhammadiyah, terutama bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial lain. Kader mungkin merasa “puas” atas apa yang dimiliki persyarikatan.
Apa kata orang? Muhammadiyah lebih cenderung menjadi gerakan amal. Muhammadiyah “bangga” pada ratusan hingga ribuan amal usaha, yang tersebar di seluruh tanah air. Kekayaan melimpah, baik fisik maupun keuangan.
Doktrin tentang ilmu tidak cukup, maka amal yang mewujudkan segala impian, memihak pada Muhammadiyah. Buat apa melakukan pembaharuan pemikiran Islam, kalau hanya sebatas diskursus alias wacana semua orang juga bisa lakukan.
Sangat lumayan, jika semua amal usaha Muhammadiyah bertujuan untuk mengatasi “omong doang” dari orang-orang yang hanya ‘merenung’ dan ‘berpikir’ belaka.
Kenyataannya, banyak fasilitas, dari terasi ke bagasi pesawat terbang, dari bumbu penyedap rasa hingga rasa dunia tidak selebar daun kelor lewat hape, medsos, dan teknologi canggih lainnya, yang kita nikmati hari ini merupakan “hasil kerja” pemikiran atau teori dari para pemikir.
Kedua, keengganan menerima tuduhan kafir, murtad, sekuler, dan julukan peyoratif lainnya. Muhammadiyah dengan kader-kadernya nampak terjebak oleh doktrin sendiri. Arruju ilal Quran wa Sunnah, misalnya, sebagian warga Muhammadiyah hanya memahami tek-teksnya (ahl-naql) tanpa memikirkan atau menafsirkan apa yang dibalik teks berupa konteksnya (ahl-aql). Jadinya, sebagian besar juga ikut-ikutan melihat permasalahan dan keadaan tertentu dengan “kaca mata kuda” hingga cap “hitam putih” atas sesuatu.
Saya sering mendengar dan sekelumit membaca istilah Islam dan pemikiran Islam. Katanya, Islam sebagai agama final atau permanen berbeda dengan pemikiran Islam, tidak mengenal kata final, tanpa henti.