Hal yang menarik tatkala kaum intelektual muda-mahasiswa menentang ketidakadilan akibat kebijakan rezim kuasa yang menghianati rakyat ternyata gemanya begitu cepat merambat ke wilayah-wilayah tidak terduga episentrum pergerakannya.
Dalam kebenaran itulah muncullah rentetan pernyataan tajam dari berbagai kelompok kritis, termasuk kaum intelektual muda (mahasiswa) yang menentang atas pengesahan revisi UU KPK sebagai salah satu dari tujuh tuntutan. Apa tuntutannya?
Masih tercatat, diantaranya mendesak penundaan atas RKUHP, revisi UU KPK yang baru disahkan, mengadili elit yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan, menolak pasal-pasal bermasalah RUU Pertanahan, seperti bernuansa kolonial, menguntungkan pemodal besar hingga menolak RUU Pemasyarakatan yang memuat penghapusan aturan pengetatan remisi bagi terpidana korupsi dan obral remisi hak cuti narapidana untuk jalan-jalan pergi ke mall, dan RUU Ketenagakerjaan.
Seluruh permasalahan yang mendera negeri ini terakumulasi menjadi tuntutan dari massa kaum intelektual muda yang identik dengan mahasiswa dengan ‘model parrhesiastik’.
Terkesan selintas, setelah sekian lama semenjak Mei 1998, kaum intelektual muda (mahasiswa) nampak akan mulai bangun dari tidurnya yang panjang.
Penentangan kaum intelektual muda yang menggunakan satu model parrhesiastik tidak serta merta melahap emosi begitu saja, mencairkan dan memancarkan energinya untuk menyuarakan kebenaran tanpa daya analisis dan kritis.
Sebagaimana terjadi gelombang aksi protes dari massa intelektual muda (mahasiswa) dua hari terakhir ini (23-24/9/2019) bertambah meluas di beberapa daerah di tanah air menandakan suata keterusterangan berbicara atau berbicara kebenaran secara gamblang (parrhesia) tanpa kepura-puraan.
Keterusterangan berbicara kebenaran yang sungguh-sungguh tanpa permainan kebenaran bertopeng tidak dapat dipisahkan dengan parrhesia sejati.
Berapapun jumlah massa intelektual muda-mahasiswa membludak yang turun ke jalan tidak mengucilkan produksi hasrat untuk mengatakan kebenaran sebagai tanda untuk menentang setiap ketidakadilan dan segala perwujudannya.
Dalam persfektif Foucaldian, pergerakan kaum intelektual muda (mahasiswa) tidak untuk melawan apalagi menghancurkan rezim kuasa negara, melainkan mereka mencoba ‘membuka kedok kuasa’ dengan segenap strateginya.
Pergerakan mahasiswa kadangkala terkondisikan oleh isu nasional. Suara kaum intelektual muda terasa hambar karena tidak “digubris” oleh penentu kebijakan selama beberapa decade terakhir.