Banyak data kasus, prilaku koruptif melibatkan wakil rakyat atau individu-individu terhormat di parlemen atau sebagian pejabat negara lain secara individual tidak luput dari bahaya monster moral yang membayanginya.
Misalnya, negara secara institusional terus melawan korupsi akibat dari individu yang berbahaya. Ia telah menjadi penyakit kronis dan merajalela dimana-mana.Â
Paradoks dari kuasa negara yang direpresentasikan dirinya melalui pejabat negara yang terindividualkan, terhadap kejahatan individu tidak dihubungkan dengan kelompok teroris tertentu, tetapi prilaku koruptif.Â
Sementara, pejabat negara secara individual mengeluarkan pernyataan, pandangan, dan sikap terhadap kejahatan diri secara individual diangap biasa-biasa saja.
Dalam rezim kenikmatan yang berada dalam kebenaran yang bertopeng, setiap individu yang berada di luar rezim kuasa negara yang mengganggu kewibawaan dan posisinya akan dianggap sebagai individu berbahaya tidak tampak sebagai monster moral.Â
Sebaliknya, individu yang berbahaya secara non personal dan institusional lebih memiliki kemiripan dengan energi dari ejakulator, yaitu "obat penenang" sekaligus "obat perangsang" dalam mimpi, fantasi dan pikiran.Â
Setiap individu yang berbahaya merupakan suatu mekanisme melawan vitalisme kehidupan.
Mengapa kita masih menginterpretasikan sang perubah tentang teks mimpi dalam arus "figur ironis besar," tatkala arus produksi hasrat untuk berkuasa menyamarkan individu yang berbahaya dalam lingkaran kuasa"?Â
Bukankah setiap arus produksi hasrat untuk berkuasa yang tidak terkontrol menciptakan persatuan individu yang tercabik-cabik?Â
Tidak tergantung pada kepentingan politik menjadi kesatuan absurd dari strategi "yang lain dalam yang sama," akhirnya rezim kebenaran dikacaukan dengan cita rasa moral.
Sebagaimana dialektika, logika pengulangan akan kekacaubalauan ternyata muncul dalam individu yang berbahaya. Sosok berbahaya dibentuk sejauh ketidaksadaran atas teks  yang dipantulkan oleh obyek hasrat, dalam sintaksis bahasa kemabukan. Nietzsche ala Indonesia adalah sosok gila, yang bukan hanya pandai meniru "melempar dadu," tetapi juga masih mencari di mana gerangan "api di siang bolong." Michel Foucault dalam The History of Sexuality: An Introduction, Volume 1 (1990) telah menyusun sebuah penyelidikan yang berbeda terhadap 'tontonan kecil tanpa seribu adegan' melalui penampilan ars erotica (seni erotis) sebagai pengakuan diri, tanpa basa-basi.