Taruhlah misalnya sang baron melihat penundaan pemilu sebagai politik seksual, bukan fantasi kosong.
Menempuh jalan berliku dalam dunia politik mirip “lekukan” tubuh. “Kulit mulus,” “lentik bulu mata,” “bibir merekah,” dan “desahan napas” sebagai politik seksual dalam bentuk perang opini dan sajian data seiring rayuan politik bersama hasrat untuk menunda pemilu.
Penundaan pemilu yang banyak pihak menolaknya tidak ubahnya sebagai "fantasi seksual" karena ia mampu "mengarahkan" seseorang. Dalam pengertiang yang lebih luas, fantasi seksual seiring dengan wacana penundaan pemilu lebih "menantang," "merangsang," dan melenturkan kekakuan atau berpikir dangkal.
Menolak penundaan pemilu dengan segala alasan atau hasil survei tidak berarti fantasi kosong dari seseorang sudah berakhir jalan ceritanya. Ia akan berganti dan berubah pada fantasi lain.
Disitulah orang-orang di tingkat elite politik terdorong oleh fantasi seksual yang memikat.
Dalam perkembangan pengetahuan, fantasi seksual tidak lagi sebagai energi berahi semata-mata berhubungan dengan penampilan tubuh dan rinciannya yang menggoda.
Jadi, keterusterangan berbicara, sekalipun itu sangat aneh dan retorika yang ngelantur sama pentingnya keterusterangan untuk mengakui pernyataan politik. Wacana politik yang "panas" tidak bisa terlepas dari fantasi seksual yang menggoda dan mampu melunturkan daya nalar atau kesadaran diri.
Tidak heran pula, aliran fantasi dan hasrat para elite politik untuk menunda pemilu sama merangsang dan menantangnya "lekukan" dan "desahan" lawan jenis perseteruan kepentingan.
Dalam istilah Foucaldian, jagat mini politik-kuasa serupa dengan dunia fantasi atau hasrat untuk menyukai lawan jenis permainan kepentingan.
Rangsangan wacana membuat elite politik makin penasaran terhadap dunia luar.
Mustahil seseorang tertarik pada jenis wacana penundaan pemilu jika tidak ada kepentingan bercokol, yang terdorong oleh fantasi untuk menyukai sesuatu. Terbayanglah di fantasi para elite politik sesuatu yang merangsang libido demi kepentingan bercokol.