"setelah final debat antar kelas itu... teman-teman menggosipkan kita" dia tersenyum canggung.
Lesung pipit favoritku muncul. Hatiku berdesir. Kalau diperhatikan, 3 kalimatnya itu sungguh tidak terstruktur. Pertama, dia mengatakan bahwa setelah UN kami akan disibukkan dengan aktifitas mencari universitas. Kedua, dia mengatakan bahwa ini pertama kalinya kami bertegur sapa. Dan ketiga, bahwa kami digosipkan. Digosipkan??? aku tidak pernah mendengar itu, kecuali tadi pagi. Ya, saat Iqbal menggodaku dan Raya yang juga mengonfirmasi gossip itu. Lantas, aku harus jawab apa? Semuanya pernyataan. Dan, aku masih belum menemukan garis merah yang menyatukan ketiganya.
"hmmmh.." Rafli berdehem.
Dia menengadahkan kepalanya sebentar menatap langit2 teras mesjid lalu menarik nafas panjang. Dirapikan rambutnya yang memang sedikit acak-acakan.
"aku gak tahu gimana caranya menyampaikan ini... tapi, Mila.. to the point aja. Kamu mau gak jadi bagian masa depanku? Kamu, mmmh ... mau gak jadi pacar aku?" aku tersentak mendengar pengakuannya.
Kepalaku refleks memutar menghadapnya, mataku sedikit terbelalak menatapnya. Dia nyengir dan menggigiti bibirnya. Sepertinya pengakuan ini cukup sulit baginya. Ketika aku mengerutkan kening dia mengangkat bahunya.
Astaghfirullah. Apa barusan Rafli menembakku? Aku... aktifis rohis baru saja ditembak? Ya Allah. Rasa bangga sekaligus terluka menelusup ke dalam hatiku. Siapa yang tak ingin bersanding dengannya? Aku sungguh bahagia. Bahkan dia menawarkan pernikahan, kalau aku tidak salah menafsirkan.
"gimana?" dengan canggung Rafli bertanya sambil menyipitkan matanya.
Ternyata begini rasanya ditembak. Aku menarik nafas dan melirik jam tanganku. 5 menit lagi bel masuk berbunyi. Tiba-tiba berkelebat bisikan tentang calon suami yang menantiku. Meski aku tak tahu siapa itu.
"maaf Rafli, tapi setahu saya pacaran itu tidak diperbolehkan" mukanya tiba-tiba memerah. Dia mengatupkan rahangnya keras. Keningnya bertaut. Matanya nanar. Kecewa dan malu tampak sekali dalam rona wajahnya. Aku menundukkan kembali pandangan.
"seandainya kita berjodoh, saat itu pasti kita akan bersama" lanjutku dengan lugas tetapi malu luar biasa sebelum berlari meninggalkannya dengan hati tidak karuan.