"hei Mil, kamu digosipin sama Rafli ya?" ujar Raya saat jam istirahat tiba.
Aku menoleh menatapnya. Seketika kuhentikan aksiku mengambil mukena dari dalam tas. Aku mengerutkan kening sebagai pertanda tak memahami ucapannya. Raya adalah orang yang cukup dekat dengan Rafli, malah kalau tidak salah dengar mereka pernah digosipkan pacaran.Â
Mungkin karena intensitas mereka yang tinggi di OSIS. Aku hanya mengangkat bahu sambil berlagak seolah tak peduli, padahal hatiku ketar ketir mendengar ucapan Raya. Rasa senang menyelinap dalam hatiku, meskipun akalku sekali lagi mengingatkan agar aku tak terlena.Â
Perasaan ini sungguh menyiksaku. Menyenangkan tetapi sekaligus menumpulkan nalar. Aku merasa menjadi orang bodoh setiap kali memikirkannya. Seandainya jatuh cinta ini benar, seharusnya ia bisa membuatku lebih baik. Bukankah itu cara kerjanya kebenaran? Ah. Aku menarik nafas.
"yang benar?" Raya mencoba memastikan.
Dengan yakin kujawab pertanyaannya dengan gelengan
"aku gak tahu Ray, kamu tahu aku anti pacaran" sekilas aku merasa melihat Raya menghembuskan nafas lega.
Aku memilih untuk tidak peduli.
...
Perjalanan menuju mesjid sekolah sedikitnya menenangkan hatiku. Momen saat aku akan menyembah-Nya selalu membuatku tentram. DIAlah yang seharusnya kunomorsatukan. Aku selalu meyakini bahwa aturanNya selalu untuk kebaikanku. Meski sejak peristiwa final debat itu hatiku mulai teruji antara DIA dan makhluk-Nya, aku tetap menginginkan rasa cintaku tak keluar dari koridor yang telah ditetapkanNya. DIAlah yang memberiku perasaan ini... untuk melihat sejauh mana aku setia pada-Nya.
"Mila ya? Assalamu'alaikum" kutengadahkan kepala ketika aku baru saja memulai memakai kembali sepatuku.