Kau adalah misteri, kukagumi sekaligus kutakuti
Kau adalah impian... namun tak pernah ingin kugapai
Kau adalah bintang ... yang indah jika tetap berada di kejauhan.
...
Dia melangkah sambil tersenyum. Dirangkulnya kedua sahabatnya sambil bercanda. Lesung pipit yang selalu tampak saat ia tersenyum menambah pesona intelektualnya yang tak terbantahkan. Berbagai ajang lomba akademik mewakili sekolah tak jarang dimenangkan olehnya. Dari olimpiade, LCC, karya tulis dan siswa teladan. Belum kalau dihitung keshalehannya. Sosoknya yang selalu terlihat ketika shalat zhuhur, dhuha dan tilawah. Ah, jika boleh dikatakan sempurna, dialah kesempurnaan yang dapat kulihat.Â
Katakan aku berlebihan. Bukankah tak ada yang sempurna dalam hidup ini kecuali Allah? Benar. Namun, setidaknya dia dengan pintar dapat menutupi semua kelemahannya itu. Astaghfirullah ... aku melafazkan istighfar. Entah kali ke berapa aku terpukau lagi oleh pesona makhlukNya dan melupakan sumber segala keindahan itu. Segera aku menyusul rombongan mereka sambil tak lupa mengucap salam.
"wa'alaikumussalam,... eh mila ya?... " aku menghentikan langkah, menoleh sedikit sambil tetap menundukkan pandangan lalu mengangguk kecil.
ketika aku melanjutkan langkahku yang tertunda ,.. Iqbal melanjutkan ucapannya "dapet salam dari Rafli nih" ia menyikut temannya yang tadi sempat mengacaukan pikiranku.
Aku tersenyum tipis dan bergegas menuju kelas ... tanpa berniat untuk melihat reaksi Rafli. Perasaan ini belum waktunya... meski, ya.. meski... jujur hatiku melambung sangat tinggi. Seketika rumus-rumus kimia yang sudah kuhafalkan rontok. Hafalan juz 28 yang baru saja kumulai begitu susah payah kupanggil. Innnaalillaaahi. Ya Allah tolong aku.Â
Lafalku berulang saat aku memasuki ruang kelas, menyapa teman sebangkuku, Raya dan mempersiapkan aktifitas menuntut ilmuku. Aku melayang, tak berpijak. Ucapan Iqbal berputar terus menerus menyirami perasaan kagumku terhadap Rafli yang sudah mulai tumbuh. Ah, ada apa dengan hatiku.
...
"hei Mil, kamu digosipin sama Rafli ya?" ujar Raya saat jam istirahat tiba.
Aku menoleh menatapnya. Seketika kuhentikan aksiku mengambil mukena dari dalam tas. Aku mengerutkan kening sebagai pertanda tak memahami ucapannya. Raya adalah orang yang cukup dekat dengan Rafli, malah kalau tidak salah dengar mereka pernah digosipkan pacaran.Â
Mungkin karena intensitas mereka yang tinggi di OSIS. Aku hanya mengangkat bahu sambil berlagak seolah tak peduli, padahal hatiku ketar ketir mendengar ucapan Raya. Rasa senang menyelinap dalam hatiku, meskipun akalku sekali lagi mengingatkan agar aku tak terlena.Â
Perasaan ini sungguh menyiksaku. Menyenangkan tetapi sekaligus menumpulkan nalar. Aku merasa menjadi orang bodoh setiap kali memikirkannya. Seandainya jatuh cinta ini benar, seharusnya ia bisa membuatku lebih baik. Bukankah itu cara kerjanya kebenaran? Ah. Aku menarik nafas.
"yang benar?" Raya mencoba memastikan.
Dengan yakin kujawab pertanyaannya dengan gelengan
"aku gak tahu Ray, kamu tahu aku anti pacaran" sekilas aku merasa melihat Raya menghembuskan nafas lega.
Aku memilih untuk tidak peduli.
...
Perjalanan menuju mesjid sekolah sedikitnya menenangkan hatiku. Momen saat aku akan menyembah-Nya selalu membuatku tentram. DIAlah yang seharusnya kunomorsatukan. Aku selalu meyakini bahwa aturanNya selalu untuk kebaikanku. Meski sejak peristiwa final debat itu hatiku mulai teruji antara DIA dan makhluk-Nya, aku tetap menginginkan rasa cintaku tak keluar dari koridor yang telah ditetapkanNya. DIAlah yang memberiku perasaan ini... untuk melihat sejauh mana aku setia pada-Nya.
"Mila ya? Assalamu'alaikum" kutengadahkan kepala ketika aku baru saja memulai memakai kembali sepatuku.
"oh hai, wa'alaikumussalam. Iya" Â jantungku berdentam-dentam.
Dia menyapaku untuk pertama kalinya.
Di teras mesjid ini nyaris tak ada orang. Hampir semua siswa telah menyelesaikan shalatnya dan bergegas ke kantin atau kelas untuk keperluan masing-masing. Sementara aku, sengaja menunda waktu keluar hanya untuk menghindari orang yang kini malah menyapaku.
"aku, bisa bicara?" tanya Rafli sambil tersenyum tipis.
Aku mengangguk, sambil melanjutkan menalikan sepatuku. Kemudian duduk di pembatas teras mesjid dan lorong kelas.
"tentang apa ya?" tanyaku saat melihat Rafli hanya diam memerhatikan sepatunya.
Lantas ia duduk tak jauh dariku
"kita kan sebentar lagi UN. Setelah itu kita pasti disibukkan dengan persiapan masuk universitas" aku mengangguk-angguk, berharap waktu segera berakhir meski sudut hatiku bersorak ketika akhirnya aku bisa berduaan dengannya.
Lelaki idaman.
Dia menarik nafas dan melirikku sebentar.
"mmmmh, kita mungkin baru pertama kali bertegur sapa. Mmmh, ya mengingat kita mengambil ekskul yang berbeda" 2 kali dia menggunakan kata kita. Oh Tuhan, maafkan aku karena begitu senang mendengarnya.
"setelah final debat antar kelas itu... teman-teman menggosipkan kita" dia tersenyum canggung.
Lesung pipit favoritku muncul. Hatiku berdesir. Kalau diperhatikan, 3 kalimatnya itu sungguh tidak terstruktur. Pertama, dia mengatakan bahwa setelah UN kami akan disibukkan dengan aktifitas mencari universitas. Kedua, dia mengatakan bahwa ini pertama kalinya kami bertegur sapa. Dan ketiga, bahwa kami digosipkan. Digosipkan??? aku tidak pernah mendengar itu, kecuali tadi pagi. Ya, saat Iqbal menggodaku dan Raya yang juga mengonfirmasi gossip itu. Lantas, aku harus jawab apa? Semuanya pernyataan. Dan, aku masih belum menemukan garis merah yang menyatukan ketiganya.
"hmmmh.." Rafli berdehem.
Dia menengadahkan kepalanya sebentar menatap langit2 teras mesjid lalu menarik nafas panjang. Dirapikan rambutnya yang memang sedikit acak-acakan.
"aku gak tahu gimana caranya menyampaikan ini... tapi, Mila.. to the point aja. Kamu mau gak jadi bagian masa depanku? Kamu, mmmh ... mau gak jadi pacar aku?" aku tersentak mendengar pengakuannya.
Kepalaku refleks memutar menghadapnya, mataku sedikit terbelalak menatapnya. Dia nyengir dan menggigiti bibirnya. Sepertinya pengakuan ini cukup sulit baginya. Ketika aku mengerutkan kening dia mengangkat bahunya.
Astaghfirullah. Apa barusan Rafli menembakku? Aku... aktifis rohis baru saja ditembak? Ya Allah. Rasa bangga sekaligus terluka menelusup ke dalam hatiku. Siapa yang tak ingin bersanding dengannya? Aku sungguh bahagia. Bahkan dia menawarkan pernikahan, kalau aku tidak salah menafsirkan.
"gimana?" dengan canggung Rafli bertanya sambil menyipitkan matanya.
Ternyata begini rasanya ditembak. Aku menarik nafas dan melirik jam tanganku. 5 menit lagi bel masuk berbunyi. Tiba-tiba berkelebat bisikan tentang calon suami yang menantiku. Meski aku tak tahu siapa itu.
"maaf Rafli, tapi setahu saya pacaran itu tidak diperbolehkan" mukanya tiba-tiba memerah. Dia mengatupkan rahangnya keras. Keningnya bertaut. Matanya nanar. Kecewa dan malu tampak sekali dalam rona wajahnya. Aku menundukkan kembali pandangan.
"seandainya kita berjodoh, saat itu pasti kita akan bersama" lanjutku dengan lugas tetapi malu luar biasa sebelum berlari meninggalkannya dengan hati tidak karuan.
Oh Tuhan, aku menolaknya. Menolak orang yang paling aku inginkan saat ini. Mataku berurai, bisikan-bisikan berkelabatan; menyayangkan keputusanku, menertawakan sikapku. Namun, jauh...jauuuuh sekali di sudut hatiku. Aku merasa begitu lega. Seakan aku mendapat senyuman yang sangat tulus, aku merasa dilihatNya,... sebab aku telah memilihNya. Memilih untuk menaatiNya. Biar kutitipkan rasa cintaku padaNya saja.
..
Aku tidak akan berdusta bahwa semalaman hatiku tidak bisa melupakan kalimat2 yang disampaikan Rafli, namun aku tahu bahwa hidup ini hanya tes dari Allah. Untuk itulah aku mengikuti ROHIS. Agar aku senantiasa terjaga dalam lingkungan religious. Agar aku senantiasa ingat kepada-Nya.
...
7 tahun kemudian ....
Rahasia Allah memang selalu indah jika kita bertawakkal padaNya. Masih terbentang jelas di memoriku hari itu. Hari ketika aku menerima pengumuman kelulusan seleksi beasiswa s2. Dengan wajah berseri-seri, tak sabar rasanya untuk segera membagi kebahagiaanku dengan ayah dan ibuku. Aku yang biasanya mengendara motor maticku dengan tenang, hari itu dengan percaya diri memacu motor dengan kecepatan agak tinggi. Sudah lama aku mengidamkan untuk menuntut ilmu di bumi para Nabi. Berbagai rencana ekspedisi sejarah sudah terpeta jelas dalam pikiranku kelak jika aku melanjutkan kuliah di sana. Dan hari ini mimpi itu terjawab. Alhamdulillah.
 "assalamu'alaikum buuu, yaaah" tanpa mencurigai pintu yang terbuka, aku segera masuk untuk segera menyampaikan kabar bahagia itu.
 "ibuuuu" aku berlutut di depan ibu yang sedang duduk di ruang tamu bersama ayah... sambil tertawa dan menangis aku memeluk keduanya.
"ibuuu... ayaaah, mila lulus beasiswa ke Mesir" aku menatap ibu yang masih tertegun mendapat kabar tiba-tiba ini.
Ia kemudian memeluk dan menciumku. Namun, tiba-tiba pelukan itu melonggar, reaksi ibu seperti tertahan. Pandangannya jatuh ke belakangku. Ketika menoleh, deg jantungku mencelos. Laki-laki itu ada di sini.
"assalamu'alaikum mila, selamat ya" lesung pipitnya muncul ketika ia memamerkan senyum.
Ia yang hanya sempat menyapaku sekali kini hadir di ruang tamu rumahku. Dari mana ia bisa tahu rumahku
"mila, ini rafli" ujar ayah memecah keheningan.
Iya aku tahu pasti dia rafli. Dia orang yang sempat mengisi pikiranku bertahun-tahun lalu.
"dia datang ke sini untuk melamarmu, bagaimana?" Tanya ayah sambil menelisik mataku, mencoba melihat rahasia hatiku
" tapi , mila yah ... " aku memikirkan rencana s2ku di Mesir
"aku tidak keberatan. Kamu boleh melanjutkan kuliah di sana. Nanti aku sesekali menengok" ucap Rafli tergesa. Ia menghentikan ucapannya saat menyadari aku yang mengerutkan kening serta ibu dan ayah yang mesem2
"eh, he ... maksud aku kalau lamaranku diterima" ucap Rafli sambil menyipitkan mata dan menggaruk2 kepalanya
Aku tersenyum malu dan menunduk. Terima kasih ya Allah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H