Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan upaya pemberian informasi seputar gizi yang tepat melalui pendidikan gizi prakonsepsi pada para calon pengantin. Hal tersebut perlu dilakukan agar wanita dalam masa prakonsepsi mendapat pengetahuan gizi yang cukup sehingga memiliki bekal pengetahuan seputar gizi yang baik untuk mencegah adanya masalah kesehatan selama proses kehamilan dan mencegah bayi lahir dengan gizi buruk karena status gizi selama masa prakonsepsi akan menentukan kondisi bayi yang dilahirkan.
Berdasarkan uraian singkat diatas, artikel ini difokuskan pada pemberian pendidikan gizi prakonsepsi bagi calon pengantin sebagai upaya untuk mencegah adanya kemungkinan bayi lahir dengan gizi buruk. Adapun tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah pendidikan gizi prakonsepsi bagi calon pengantin yang tepat dilakukan untuk menghindari bayi lahir dengan gizi buruk.
GIZI PRAKONSEPSI DAN BAYI GIZI BURUK
Masa pranikah erat kaitannya dengan masa prakonsepsi karena pada masa tersebut pasangan pengantin akan segera menjalani proses konsepsi setelah menikah. Masa prakonsepsi merupakan masa yang terjadi sebelum masa kehamilan. Masa prakonsepsi berlangsung sekitar tiga bulan hingga satu tahun sebelum terjadinya konsepsi. Masa prakonsepsi yang ideal yakni sekitar 100 hari sebelum konsepsi atau setidaknya ketika ovum dan sperma telah matur (Simatupang, 2018). Status gizi wanita pra nikah selama tiga sampai enam bulan pada masa prakonsepsi merupakan faktor penting kelahiran bayi normal dan sehat.Â
Pemberian pendidikan gizi pranikah bagi calon pengantin cukup penting untuk dilaksanakan guna memberikan pengetahuan dan bekal yang cukup bagi calon pengantin agar dikemudian hari memiliki persiapan yang matang dalam menghadapi proses kehamilan dan menghindari kasus bayi lahir dengan gizi buruk. Wanita dan pria dalam masa pranikah harus menjaga kecukupan gizi yang seimbang sehingga dapat menunjang fungsi alat-alat reproduksi mereka sehingga dapat bekerja dengan optimal serta menghasilkan sel telur dan sel sperma dengan kualitas yang baik untuk melancarkan proses pembuahan. Gizi seorang calon ibu yang baik juga memiliki peran yang penting dalam penyediaan nutrisi untuk proses tumbuh kembang janin (Doloksaribu dan Simatupang, 2019). Bagi calon ibu, status gizi akan mempengaruhi kondisi selama periode kehamilan serta kondisi bayi yang akan dilahirkan nanti.
Status gizi bayi mulai terbentuk sejak masa dalam kandungan hingga usia dua tahun atau biasa disebut sebagai periode emas. Pada periode emas ini, pertumbuhan dan perkembangan bayi sangat pesat sehingga diperlukan asupan gizi yang seimbang. Asupan gizi yang seimbang bagi ibu hamil dan janin akan membuat bayi lahir dengan sehat dan memiliki berat tubuh yang normal, serta menunjang proses tumbuh kembang bayi setelah dilahirkan. Sebaliknya, asupan gizi yang tidak terpenuhi dapat membuat bayi lahir dengan gizi buruk sehingga tumbuh kembangnya dapat terganggu.
Gizi yang didapatkan selama 1000 hari pertama kehidupan sangat penting sehingga dapat menyebabkan dampak yang buruk apabila tidak terpenuhi (Ayudia dan Putri, 2021). Pengaruh dari tidak terpenuhinya gizi dalam periode 1000 hari pertama kehidupan tidak hanya terhadap perkembangan fisik, namun juga terhadap perkembangan kognitif yang nantinya akan mempengaruhi kecerdasan dalam berpikir, serta produktivitas kerja seorang individu. Jika hal ini tidak diatasi sejak dini, maka akan timbul kemungkinan bahwa di masa depan nanti ketika memasuki usia dewasa dapat menyebabkan beberapa masalah kesehatan seperti hipertensi, stroke, dan diabetes. Penyakit degeneratif ini dapat terjadi di masa depan jika kebutuhan gizi dalam periode 1000 hari pertama kehidupan tidak terpenuhi dan dilanjutkan dengan asupan gizi yang kurang baik setelah melewati periode tersebut.Â
Kurangnya pengetahuan mengenai gizi prakonsepsi dapat menjadi penyebab kurangnya asupan gizi bagi ibu hamil dan janin. Akibatnya, janin dapat mengalami kegagalan pertumbuhan selama dalam kandungan sehingga menyebabkan bayi berat lahir rendah (BBLR). Gizi buruk juga merupakan salah satu penyebab kematian ibu dan anak secara tidak langsung. Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) serta Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) yang tinggi disebabkan oleh status gizi ibu hamil yang buruk. Ibu hamil dengan status gizi buruk, seperti mengalami Kurang Energi Kronis (KEK) memiliki kecenderungan melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) lebih tinggi dibandingkan ibu yang memiliki status gizi baik.Â
Gizi buruk pada bayi baru lahir merupakan salah satu penyebab Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun lebih dari 20 juta  bayi atau sekitar 15% bayi di dunia lahir dalam kondisi BBLR. Di Indonesia, angka kejadian BBLR sebesar 9-20%. Angka kejadian BBLR di Indonesia berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain (Maryunani, 2013:11). Kondisi bayi BBLR ini cukup berbahaya karena dapat menimbulkan kematian pada bayi.
Secara garis besar, terdapat dua faktor yang mempengaruhi bayi lahir dengan kondisi  Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), yaitu faktor maternal dan faktor janin. faktor maternal yang mempengaruhi BBLR diantaranya adalah usia ibu hamil yang masih terlalu muda atau sudah terlalu tua (<20 tahun dan >35 tahun), jarak persalinan yang sebelumnya dengan kehamilan selanjutnya terlalu pendek, keadaan ibu yang bekerja terlalu berat, sosial ekonomi, status gizi, perokok, pengguna obat-obatan terlarang, konsumsi minuman beralkohol, dan masalah kesehatan yang dialami ibu hamil (anemia berat, pre eklamsia, dan infeksi kesehatan lainnya). Sedangkan faktor janin yang menyebabkan kondisi BBLR dapat berupa cacat bawaan dan infeksi yang terjadi dalam kandungan selama proses kehamilan (Sulistyorini dkk, 2015:1).Â
Bayi lahir dengan gizi buruk dapat berpengaruh pada tumbuh kembangnya yang dapat berlanjut hingga dewasa. Bayi yang memiliki berat badan lahir rendah juga berisiko mengalami kematian yang lebih tinggi dibanding bayi lahir dengan berat badan normal (Permatasari, 2010:2). Dampak gizi buruk pada bayi lainnya yaitu risiko penyakit infeksi, seperti gangguan pencernaan. Hal ini disebabkan karena sistem kekebalan tubuh yang tidak kuat akibat kekurangan zat gizi terutama vitamin dan mineral yang memiliki peran penting dalam sistem kekebalan tubuh, misalnya vitamin C, zinc, dan zat besi. Selain itu, bayi dengan BBLR juga memiliki resiko tinggi terkait kondisi tubuh yang lebih lemah dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan berat normal karena organ-organ tubuhnya belum dapat berfungsi secara optimal.Â