''Aku nggak sendirian, Pak. Tadi ada Mbah Sutar kok yang ngelihatin aku, makanya aku berani pulang tanpa telepon Bapak.'' Jawabanku kali ini membuat Bapak dan Ibuku saling pandang.
''Mbah Sutar, Ndok?'' kali ini Ibuku yang bersuara.
''Nggih, Bu.''
Ibuku tetiba saja bangun dari duduknya dan memeluk tubuhku lalu melepasnya dan menatapkan dengan air mata yang sudah memenuhi matanya. ''Ndok, Mbah Sutar tadi siang meninggal dan Bapak yang nemuin Mbah Sutar tergeletak di samping gapura. Tadi jam 7 malam, baru saja di kuburkan. Itu, bapakmu habis pulang dari rumah Mbah Sutar. Kamu nggak lihat bendera kuning di rumah Mbah Sutar?''
Aku terdiam. Mulutku tak bisa berucap. Aku sama sekali tidak melihat apa pun dirumah Mbah Sutar, hanya melihat bendera kuning di gapura pemakaman tadi.
''Innalillahi wainnailahi rojiun.'' Lirihku namun masih tak percaya.
''Sepertinya Mbah ingin bertemu dengan cucu perempuanya yang sudah menemani masa-masa akhir usianya. Yaitu, kamu, Ndok. Mbah pamit mungkin sama kamu.''
Bapakku tersenyum kepada ku dan mengusap rambutku lembut.
Lantas siapakah yang kutemui beberapa jam lalu didepan gapura pemakaman jatilayu dan menggenggam tanganku seperti nyata tadi? Apakah iya itu Mbah Sutar. Beliau ingin bertemu denganku untuk terakhir kalinya dan di akhir kematianya dia masih menasihatiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H