Â
            SANG PENJAGA MAKAM : MBAH SUTAR
-Cerpen, oleh Erlina Agustia
Mbah Sutar mengatakan aku harus menyempatkan diri untuk terus kuat di kehidupan yang sebentar ini. Mbah Sutar juga menasihati ku untuk tidak pernah meninggalkan semua kawajibanku sebagai umat manusia yang hidup hanya tinggal menunggu kematian saja. Nasihat yang terbungkus oleh cerita-cerita pendek dari beliau, dengan ribuan bahkan ratusan kali telinganku mendengar nasihat itu. Tapi aku tidak pernah bosan, justru aku akan mencari Mbah Sutar untuk bercerita kembali.
***
Namanya Mbah Sutar, tubuhnya tua dan ringkih, jalannya juga sudah menggunakan tongkat, terkadang batuk satu atau dua kali yang mampu memecahkan kesunyian pemakaman umum jatilayu di samping rumahku. Ia, samping rumahku adalah kuburan. Di lingkungan pemakaman itu hanya ada dua rumah, rumahku dan juga rumah Mbah Sutar.
Tapi, rumah yang lebih dulu ada dan berdiri di lingkungan pemakaman itu adalah rumah Mbah Sutar dan beberapa warga yang rumahnya jauh dari sana meminta Mbah Sutar untuk menjaga makam di sana. Aku yang tinggal disana cukup senang karena pemakaman yang menurut orang-orang horor justru menurutku tidak setelah aku tahu kalau Mbah Sutar lah yang merawat dan menjaga pemakaman di sekitar rumahku.
''Nduk, tidak ada yang salah menjadi penjaga makam, bahkan Mbah saja kalau di kasih umur yang sangat panjang akan tetap mengurus makam ini. Ini adalah ladang amal Mbah menjelang masuk ke dalam kubur, kematian. Siapa tahu nanti perbuatan Mbah ini mampu dan bisa meringankan beban dosa Mbah dulu. Hidup hanyalah permainan yang akan mendapatkan giliran, siapa yang akan menang dan kalah. Dalam artian menang adalah akan tetap panjang umur dan kalah dalam artian akan meninggal di waktu yang tak terduga, bisa didetik itu, menit itu bahkan di jam-jam tertentu.''
Aku senantiasa merenungkan ucapan dari Mbah Sutar itu. Mulut ku tak henti-hentinya mengucapkan MasyaAllah atas kuasa dan takdir Allah yang sudah tertulis. Kita hanya mampu melangsungkan hidup didunia dan mencari ladang pahala juga untuk berbekal nanti. Ternyata Mbah Sutar adalah orang hebat dimuka bumi ini. Jarang sekali ada orang yang mau menjaga makam tanpa meminta uang atau apapun itu dari warga. Meskipun tua, Mbah Sutar tidak ingin merepotkan semua orang termasuk Aku.
''Dikampung ini Mbah dilahirkan. Dan di kampung ini pula Mbah akan menghabiskan sisa tua Mbah dengan berusaha menjadi manusia yang berguna bagi mereka yang membutuhkan tenaga Mbah, meskipun Mbah sudah tua dan ringkih. Menjadi penjaga makam dan mengurus makam adalah perbuatan baik namun ditakuti oleh orang. Katanya takut ketemu setan!'' Mbah Sutar terkekeh kecil. Mungkin beliau teringat sesuatu kala bercerita tentang perilaku warga sekitar yang menolak dengan alasan 'takut ketemu setan.'
''Seperti Bapakmu juga, Ndok. Dulu Bapakmu sampai kencing di celana waktu nemenin Mbah ronda. Katanya dia ngelihat putih-putih di atas pohon nangka. Eh, waktu Mbah dekati, ternyata itu kain punya Ibumu yang terbang dan nyangkut ke pohon. Coba apa yang terjadi selanjutnya sama Bapakmu?''
Aku pun berfikir sejenak lalu tersenyum tipis. ''Bapak pasti pingsan 'kan Mbah? Meskipun Bapak sudah tahu kalau itu kain punya Ibu?''
Mbah Sutar mengusap lembut pucuk kepalaku. Dengan tawa khas seorang kakek-kakek.
''Betul, Nduk. Bapakmu pingsan dan saat kejadian itu, Bapakmu langsung trauma kayaknya, dia jarang mau waktu Mbah ajak keliling kuburan.''
Obrolan panjang itu menyelimuti malam yang sunyi. Aku memang sering bermain dirumah Mbah Sutar supaya Mbah Sutar tidak merasa kesepian. Dia hanya sendirian di rumah gubuk itu. Setelah bercerita panjang lebar, napas dari kakek tua itu tampak kesulitan dan sesegera mungkin aku memberikan minum air putih hangat. Aku juga tak lupa membawa makanan, sore tadi, aku memasak sayur sop dan sebagian dari masakan itu aku bagikan kepada sang penjaga makam: Mbah Sutar. Mbah Sutar meneguk minumnya sampai habis dan dia juga memakan masakanku. Katanya, masakanku enak dan habis tak tersisa di piring itu.
''Matur nuwun nggih cah ayu, Selalu jaga kesehatan dan berbuat baik.''
Aku pun mengangguk. ''Sami-sami, Mbah. Mugo-mugo diparingi kekiyatan gesang saben dinten, nggih.''
''Aamiin. Waktune sampeyan neng ndunyo iki ono watese.''
Ucapan terakhir dari Mbah Sutar membuat pikiranku semakin gusar. Entah apa yang membuatku gusar.
****
Setelah kejadian beberapa waktu lalu dirumah Mbah Sutar. Aku masih menganggumi Mbah sutar dalam diam. Aku yakin Mbah Sutar adalah orang yang baik di muka bumi ini, yang aku temui di desa terpencil ku ini. Dia sudah memberiku tawa dan cerita nasihat yang mampu membuatku kagum dengan ketulusannya sebagai penjaga makam.
Malam ini adalah malam yang beda. Entah kenapa malam ini suasana angin cukup dingin dan sangat-sangat membuatku menggigil. Aku baru saja pulang dari kerja kelompok dan terpaksa pulang jam 8 malam. Untung saja rumah teman kelompok ku hanya beda RT. Aku harus wajib berjalan di pemakaman Jatilayu karena itu adalah satu-satunya akses jalan kerumah ku.
Gapura pemakaman desa Jatilayu sudah ada di depan mataku. Aku melihat di berbagai titik ada asap berwarna abu-abu mengepul dari daerah pemakaman. Perasaan ku yang gusar dan takut pun seketika tenang saat melihat Mbah Sutar tengah berdiri di tengah-tengah Gapura. Saat aku berjalan untuk mendekati Mbah Sutar, aku melihat wajah laki-laki rentan itu tampak pucat seperti orang sakit.
''Assalamualaikum, Mbah.'' Sapaku di saat langkah kaki ku berhenti tepat di sampingnya.
''Waalaikumsalam, Ndok. Baru pulang?''
''Nggih, Mbah. Habis pulang kerja kelompok.''
Aku melihat di salah satu pondasi gapura itu ada bendera kuning yang diikat. Aku yakin pasti ada salah satu warga yang meninggal. Tapi, entah siapa.
Tanpa ragu aku bertanya. ''Siapa yang meninggal, Mbah"
Mbah Sutar tersenyum kecil. ''Warga disini, mungkin kamu sangat kenal dengan orangnya.''
Jawaban dari Mbah Sutar, membuat keningku mengkerut. Siapa orang yang aku kenal. Anganku dan didalam pikiranku saat ini.
''Nduk, jangan sampai lupa sama gusti Allah. Kamu hidup hanya sebatas panjang atau pendek. Mati atau hidup. Gunakan kesempatan ini adalah kesempaan emas untukmu mencari kebahagiaan. Bahagiakan orangtuamu, 'ya, Ndok. Mbah titip makam ini. Disini nggak ada apa-apa. Kamu nggak aneh-aneh, mereka nggak akan menampakkan wujudnya. Baik-baik dan lurus di dunia ini , Ndok. Jangan nyeleweng.''
Mbah Sutar mengusap pucak kepala ku. Baru kali ini aku melihat tetesan kecil air mata Mbah Sutar di hadapan ku. Saat itu, entah kenapa, hatiku terenyuh akan kata-kata dari Mbah Sutar. Tanpa terasa, air mataku selalu jatuh setiap sampai di bagian dimana Mbah Sutar kembali menyadarkan ku bahwa dunia hanyalah sebatas angan yang bisa di rasa.
Mbah Sutar menggenggam erat tanganku. ''Niram, Mbah titip, nggih......''
''Memang Mbah mau kemana?''
''Mbah nggak kemana-mana, Ndok. Mbah cuma titip saja.''
Aku sebatas mengangguk saja. Kemudian aku berpamit untuk melanjutkan perjalanan pulangku. Bulu kuduk ku berdiri dengan udara dingin itu.
Aku melanjutkan perjalananku ke rumah, aku melihat, Mbah Sutar masih berdiri di depan gerbang, kali ini Mbah melambaikan tangannya seraya tersenyum. Mbah Sutar memang selalu mengingatkan dirinya dan selalu menjaganya di saat dirinya pulang larut malam seperti saat ini, saat dirinya tak sengaja menoleh kebelakang, Mbah Sutar terlihat masih berdiri di tempatnya hingga aku sudah berada di depan rumah.
Saat aku memasuki rumah, kulihat Bapak tengah selesai mandi sedangkan ibu tengah menonton televisi.
''Loh? Kamu berani banget jalan di depan pemakaman, sendirian lagi, kenapa nggak telepon Bapak tadi?'' tanya Bapak ku saat aku hendak menyalaminya. Bapak ku tampak tak yakin denganku. Aku memang selalu menelpon Bapak kalau Mbah Sutar tidak berada di makam tapi tadi ada, kenapa Bapak bilang aku sendirian dan tidak berani.
''Aku nggak sendirian, Pak. Tadi ada Mbah Sutar kok yang ngelihatin aku, makanya aku berani pulang tanpa telepon Bapak.'' Jawabanku kali ini membuat Bapak dan Ibuku saling pandang.
''Mbah Sutar, Ndok?'' kali ini Ibuku yang bersuara.
''Nggih, Bu.''
Ibuku tetiba saja bangun dari duduknya dan memeluk tubuhku lalu melepasnya dan menatapkan dengan air mata yang sudah memenuhi matanya. ''Ndok, Mbah Sutar tadi siang meninggal dan Bapak yang nemuin Mbah Sutar tergeletak di samping gapura. Tadi jam 7 malam, baru saja di kuburkan. Itu, bapakmu habis pulang dari rumah Mbah Sutar. Kamu nggak lihat bendera kuning di rumah Mbah Sutar?''
Aku terdiam. Mulutku tak bisa berucap. Aku sama sekali tidak melihat apa pun dirumah Mbah Sutar, hanya melihat bendera kuning di gapura pemakaman tadi.
''Innalillahi wainnailahi rojiun.'' Lirihku namun masih tak percaya.
''Sepertinya Mbah ingin bertemu dengan cucu perempuanya yang sudah menemani masa-masa akhir usianya. Yaitu, kamu, Ndok. Mbah pamit mungkin sama kamu.''
Bapakku tersenyum kepada ku dan mengusap rambutku lembut.
Lantas siapakah yang kutemui beberapa jam lalu didepan gapura pemakaman jatilayu dan menggenggam tanganku seperti nyata tadi? Apakah iya itu Mbah Sutar. Beliau ingin bertemu denganku untuk terakhir kalinya dan di akhir kematianya dia masih menasihatiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H