Ketika berita tentang revolusi Cina sampai ke Hindia, orang Cina menjadi sombong dan memperlakukan penduduk asli dengan kurang baik. H. Samanhudi marah dan akhirnya membentuk perkumpulan serupa dengan tujuan saling membantu dalam perselisihan, yang disebut Rekso Roemeso.
 Etnis Tionghoa bersaing secara tidak sehat karena Belanda memberi mereka hak istimewa yaitu, monopoli bahan batik. Belanda juga mempersulit penduduk asli untuk mencari bahan untuk membuat batik.
Kerusuhan yang terjadi pada tahun 1972 dimulai dengan pembunuhan seorang pengendara becak oleh orang Arab di pasar Kliwon. Kerusuhan dimulai dengan perselisihan antara seorang ibu Arab dan seorang pengemudi becak, yang berakhir dengan kematian seorang pengemudi becak. Berita meninggalnya pengendara becak dengan cepat menyebar di kota Surakarta dan kemudian memicu amarah masyarakat kelas bawah.Â
Pagi hari setelah kejadian, pengemudi becak bergegas melintasi Surakarta ke TKP dan memprotes pelaku. Pada sore dan malam hari, massa menghancurkan dan membakar toko-toko Cina di Pasar Pon dan Jalan Coyudan. Menariknya, toko-toko yang rusak itu bukan hanya milik orang Arab, tetapi juga milik para pedagang Cina.
Setelah kota Surakarta tenang selama 18 tahun, terjadi pemberontakan anti-Cina yang lebih besar pecah pada Mei 1998. Aksi mahasiswa di UMS ini merupakan  hasil respon dukungan terhadap aksi kekerasan aparat keamanan dalam peristiwa Trisakti 12 Mei 1998. Kerusuhan tahun 1998 di kota Surakarta berlangsung selama dua hari, dari tanggal 14 Mei sampai dengan 15 Mei 1998. Peristiwa anti-Cina ini memiliki faktor pendorong keributan skala kecil yang merupakan ciri unik yang dapat menyebabkan kerusuhan yang sangat besar.
Kerusuhan awalnya bermula di kawasan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), tetapi akhirnya kerusuhan merembet ke luar kampus UMS. Sejak pukul 09.30 WIB tanggal 14 Mei 1998, ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Surakarta berkumpul di Pabelan (depan kampus UMS).Â
Mereka berencana menggelar pawai ke Balai Kota Surakarta. Pukul 10.00 WIB para mahasiswa mulai mendekati jalan raya Surakarta-Kartasura, namun berhasil ditangkap aparat. Pukul 14.50, kendaraan perintis (Rantis) dan Korps Brimob (Panser) melaju ke alun-alun dan berusaha menerobos barisan mahasiswa.Â
Tembakan air yang berulang kali dari Panser dan Rantis tidak membuat suasana menjadi reda. Aksi mahasiswa tersebut pecah pada pukul 17.45 dan berangsur-angsur meninggalkan tempat tersebut. Pada pagi hari (dini hari) tanggal 15 Mei 1998, kerusuhan masih berlanjut seperti kejadian sebelumnya.Â
Kebakaran di kawasan perbelanjaan dan perkantoran Plaza Beteng, Pusat Grosir Solo dan sekitarnya kembali berkobar sejak tengah malam. Pada siang hari, komplotan menggeledah kawasan Pasar Legi, Sumber, Nusukan, Jongke, dan Grogol. Toko-toko etnis Tionghoa seperti Planet Supermarket, Sampurna dan lain-lain dibakar massa. Di daerah sekitar Jongke, beberapa perusahaan etnis Tionghoa (kelas menengah) telah diratakan dengan tanah.
Kerusuhan tersebut telah memakan banyak korban, hingga kerusakan dan masalah lainnya merebak di luar kota Surakarta. Sebelum kerusuhan 1998, juga terjadi kerusuhan tahun 1980. Hendro (2013) menyatakan bahwa selama periode ini orang Tionghoa juga memiliki kesempatan untuk bergerak secara ekonomi untuk kepentingan penguasa, sehingga membuat perbedaan mencolok dalam bidang ekonomi.Â
Selain itu, konflik 1998 juga mengalami tekanan politik yang signifikan dan terkait dengan isu komunisme dengan Republik Rakyat Cina. Hal ini ditegaskan oleh pernyataan Tommy dalam Rustopo (2007) bahwa akibat peristiwa Gerakan 30 September 1965, etnis Tionghoa harus mengalami segregasi selama lebih dari 40 tahun.