Mohon tunggu...
Erliana Dwi Mutiara
Erliana Dwi Mutiara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Blog Menulis

w e l c o m e

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konflik Sosial Multikultural antara Pribumi dengan Etnis Tionghoa di Surakarta

12 Desember 2021   15:36 Diperbarui: 12 Desember 2021   15:44 2425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Sebagai negara dengan keragaman etnis, suku, dan budaya yang berbeda, Indonesia memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika yang merupakan alat pemersatu bangsa. 

Keberagaman bangsa Indonesia ini dibentuk oleh suatu proses seperti kedatangan para pendatang asing yang datang ke Nusantara dan menetap di Indonesia. 

Para pendatang asing tersebut berasal dari Arab, Eropa, India dan Cina. Hal ini menciptakan berbagai kelompok etnis dan budaya. Para pendatang yang sebagian besar datang ke Nusantara adalah orang Tionghoa.

Kehidupan orang Tionghoa di Indonesia sejak pertama kali datang sampai saat ini tidak lepas dari masalah SARA (suku, agama, dan ras). Berbagai tindakan kekerasan, bentrokan fisik dan segala bentuk kekerasan lainnya terjadi antara masyarakat pribumi Jawa dan orang Tionghoa. Etnis minoritas Tionghoa masih sering dipandang sebagai sumber dari masalah. 

Konflik rasial adalah sebuah fenomena penting dan sangat menarik dalam sejarah kota Surakarta. Surakarta merupakan bidang penelitian yang relevan dalam perjuangan konflik antara Tionghoa dengan Jawa. 

Konstelasi Sosial Surakarta menunjukkan bahwa kota Surakarta banyak dihuni oleh masyarakat minoritas, khususnya etnis minoritas Tionghoa (Windy Kinasih, 2007: 60).

1.2 Rumusan masalah

  1. Bagaimana kronologi terjadinya peristiwa konflik sosial antara etnis Tionghoa dengan pribumi di Surakarta ?
  2. Apa saja faktor -- faktor penyebab terjadinya peristiwa konflik sosial antara etnis Tionghoa dengan pribumi di Surakarta ?
  3. Apa upaya yang dapat dilakukan agar peristiwa konflik sosial antara etnis Tionghoa dengan pribumi di Surakarta ini tidak terjadi lagi ?

1.3 Tujuan 

  1. Untuk mengetahui kronologi terjadinya peristiwa konflik sosial antara etnis Tionghoa dengan pribumi di Surakarta.
  2. Untuk mengetahui faktor -- faktor penyebab terjadinya peristiwa konflik sosial antara etnis Tionghoa dengan pribumi di Surakarta
  3. Untuk memberikan upaya yang dapat dilakukan agar peristiwa konflik sosial antara etnis Tionghoa dengan pribumi di Surakarta ini tidak terjadi lagi.

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Konflik Sosial

Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan sesama manusia. Berhubungan dengan sesama manusia selalu dibentuk oleh dua hal, yaitu konflik dan kerjasama. Konflik adalah proses sosial di mana individu atau kelompok orang mencoba untuk mencapai tujuan mereka dengan menghadapi pihak lawan dengan ancaman atau kekerasan. 

Konflik juga merupakan proses sosial di mana individu atau kelompok berusaha mencapai tujuannya dengan cara melawan pihak lawan, disertai dengan ancaman atau kekerasan, menghancurkan atau membuat tak berdaya.

Konflik terjadi karena perbedaan karakteristik yang dibawa individu ke dalam interaksi. Perbedaan tersebut meliputi ciri fisik, kecerdasan, adat istiadat, pengetahuan, keyakinan, dan sebagainya. Menurut Gillin dan Gillin (1987), konflik merupakan bagian dari proses sosial yang terjadi atas dasar perbedaan fisik, emosi, budaya dan perilaku. Ada empat faktor penyebab konflik, yaitu:

  1. Perbedaan antar individu, perbedaan yang muncul berkaitan dengan perasaan, sikap atau gagasan tentang harga diri, kebanggaan dan identitas.
  2. Perbedaan budaya, kepribadian seseorang bisa dibentuk oleh keluarga dan masyarakat; tidak semua masyarakat memiliki nilai dan norma yang sama. Interaksi sosial antar individu atau kelompok dengan pola budaya yang berbeda dapat menimbulkan salah tafsir, yang dapat menimbulkan perasaan marah dan benci, yang dapat menimbulkan konflik.
  3. Perbedaan kepentingan, setiap kelompok atau individu memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Ketika membela kepentingan kelompok, mereka sering melakukan intimidasi, yang dapat menyebabkan konflik.
  4. Transformasi sosial, perubahan yang terlalu cepat dalam suatu masyarakat dapat mengganggu keseimbangan sistem nilai dan norma yang berlaku, sehingga menimbulkan konflik akibat ketidaksesuaian antara keinginan individu dengan masyarakat

Konflik merupakan elemen penting dari interaksi, dan tidak boleh dikatakan bahwa konflik selalu dilihat sebagai sesuatu yang buruk, memecah belah atau bahkan merusak. Namun, konflik berkontribusi pada keberlanjutan kelompok dan memperkuat hubungan antar anggota. Misalnya, bertemu musuh bersama dapat menyatukan orang, menciptakan solidaritas dan partisipasi serta membuat orang melupakan masalah batin mereka sendiri (Basrowi, Soenyono 2004: 42).

Konflik dapat berfungsi untuk menghilangkan unsur-unsur individu dalam suatu hubungan dan membangun kembali kesatuan. Konflik adalah pembubaran ketegangan antara antagonis, ia memiliki fungsi yang stabil dan menjadi bagian integral dari hubungan. Namun, tidak semua konflik bersifat relasional, hanya konflik yang berkaitan dengan tujuan, nilai, atau kepentingan yang tidak bertentangan dengan prinsip yang mendasari hubungan tersebut. 

Kelompok yang terstruktur secara masyarakat terbuka melindungi dari konflik yang membahayakan konsensus dasar dengan membiarkan konflik dan dengan demikian meminimalkan risiko bahwa perbedaan mempengaruhi nilai-nilai dasar. Saling ketergantungan antara kelompok-kelompok yang bermusuhan dan tumpang tindih dalam komunitas konflik semacam itu, yang berfungsi untuk "menyatukan" sistem sosial dengan menghilangkannya dan dengan demikian mencegah disintegrasi di sepanjang garis pemisah yang besar (Coser, 1956: 80)

2.2 Definisi Multikultural

Akar kata multikulturalisme adalah budaya. Secara etimologis, Multikulturalisme terbentuk dari kata multi (banyak), culture (budaya) dan isme (aliran/pengertian). Pada hakekatnya kata ini berarti pengakuan terhadap harkat dan martabat masyarakat yang hidup dalam komunitasnya dengan keunikan budayanya masing-masing. Setiap individu merasa dihargai dan bertanggung jawab untuk hidup bersama dengan komunitasnya. 

Masyarakat majemuk (plural society) tidak tentu dapat digolongkan sebagai masyarakat multikultural (multicultural society), karena di dalamnya dapat terjadi keterkaitan antara kekuatan varian-varian budaya masyarakat yang asimetris, yang selalu hadir dan berjuang dalam bentuk dominasi.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Kasus Konflik Sosial Antara Pribumi dengan Etnis Tionghoa di Surakarta

Pada bulan Oktober 1911, sebuah revolusi pecah di Cina. Hal ini ditandai dengan jatuhnya dinasti Ching dan digantikan oleh Republik. Orang Cina di Hindia melihat kejadian tersebut sebagai tanda bahwa terdapat negara Cina yang kuat dan modern. 

Ketika berita tentang revolusi Cina sampai ke Hindia, orang Cina menjadi sombong dan memperlakukan penduduk asli dengan kurang baik. H. Samanhudi marah dan akhirnya membentuk perkumpulan serupa dengan tujuan saling membantu dalam perselisihan, yang disebut Rekso Roemeso.

 Etnis Tionghoa bersaing secara tidak sehat karena Belanda memberi mereka hak istimewa yaitu, monopoli bahan batik. Belanda juga mempersulit penduduk asli untuk mencari bahan untuk membuat batik.

Kerusuhan yang terjadi pada tahun 1972 dimulai dengan pembunuhan seorang pengendara becak oleh orang Arab di pasar Kliwon. Kerusuhan dimulai dengan perselisihan antara seorang ibu Arab dan seorang pengemudi becak, yang berakhir dengan kematian seorang pengemudi becak. Berita meninggalnya pengendara becak dengan cepat menyebar di kota Surakarta dan kemudian memicu amarah masyarakat kelas bawah. 

Pagi hari setelah kejadian, pengemudi becak bergegas melintasi Surakarta ke TKP dan memprotes pelaku. Pada sore dan malam hari, massa menghancurkan dan membakar toko-toko Cina di Pasar Pon dan Jalan Coyudan. Menariknya, toko-toko yang rusak itu bukan hanya milik orang Arab, tetapi juga milik para pedagang Cina.

Setelah kota Surakarta tenang selama 18 tahun, terjadi pemberontakan anti-Cina yang lebih besar pecah pada Mei 1998. Aksi mahasiswa di UMS ini merupakan  hasil respon dukungan terhadap aksi kekerasan aparat keamanan dalam peristiwa Trisakti 12 Mei 1998. Kerusuhan tahun 1998 di kota Surakarta berlangsung selama dua hari, dari tanggal 14 Mei sampai dengan 15 Mei 1998. Peristiwa anti-Cina ini memiliki faktor pendorong keributan skala kecil yang merupakan ciri unik yang dapat menyebabkan kerusuhan yang sangat besar.

Kerusuhan awalnya bermula di kawasan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), tetapi akhirnya kerusuhan merembet ke luar kampus UMS. Sejak pukul 09.30 WIB tanggal 14 Mei 1998, ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Surakarta berkumpul di Pabelan (depan kampus UMS). 

Mereka berencana menggelar pawai ke Balai Kota Surakarta. Pukul 10.00 WIB para mahasiswa mulai mendekati jalan raya Surakarta-Kartasura, namun berhasil ditangkap aparat. Pukul 14.50, kendaraan perintis (Rantis) dan Korps Brimob (Panser) melaju ke alun-alun dan berusaha menerobos barisan mahasiswa. 

Tembakan air yang berulang kali dari Panser dan Rantis tidak membuat suasana menjadi reda. Aksi mahasiswa tersebut pecah pada pukul 17.45 dan berangsur-angsur meninggalkan tempat tersebut. Pada pagi hari (dini hari) tanggal 15 Mei 1998, kerusuhan masih berlanjut seperti kejadian sebelumnya. 

Kebakaran di kawasan perbelanjaan dan perkantoran Plaza Beteng, Pusat Grosir Solo dan sekitarnya kembali berkobar sejak tengah malam. Pada siang hari, komplotan menggeledah kawasan Pasar Legi, Sumber, Nusukan, Jongke, dan Grogol. Toko-toko etnis Tionghoa seperti Planet Supermarket, Sampurna dan lain-lain dibakar massa. Di daerah sekitar Jongke, beberapa perusahaan etnis Tionghoa (kelas menengah) telah diratakan dengan tanah.

Kerusuhan tersebut telah memakan banyak korban, hingga kerusakan dan masalah lainnya merebak di luar kota Surakarta. Sebelum kerusuhan 1998, juga terjadi kerusuhan tahun 1980. Hendro (2013) menyatakan bahwa selama periode ini orang Tionghoa juga memiliki kesempatan untuk bergerak secara ekonomi untuk kepentingan penguasa, sehingga membuat perbedaan mencolok dalam bidang ekonomi. 

Selain itu, konflik 1998 juga mengalami tekanan politik yang signifikan dan terkait dengan isu komunisme dengan Republik Rakyat Cina. Hal ini ditegaskan oleh pernyataan Tommy dalam Rustopo (2007) bahwa akibat peristiwa Gerakan 30 September 1965, etnis Tionghoa harus mengalami segregasi selama lebih dari 40 tahun.

Peristiwa rasis anti-Tionghoa di kota Surakarta ini memiliki pemicu kerusuhan skala kecil yang unik. Dua faktor yang paling dominan di balik peristiwa rasial antara etnis Tionghoa dan Jawa di Surakarta pada tahun 1998 adalah sebagai berikut.

  1. Provokasi dalam bentuk mobilisasi massa : Mobilisasi massa pada saat kerusuhan Mei 1998 berlangsung saat demonstrasi damai di kampus UMS. Saat unjuk rasa mahasiswa gagal dipadamkan aparat keamanan dan berhasil keluar dari kampus, massa semakin bertambah setelah beberapa pemuda berkumpul di kawasan Kleco.
  2. Aksi Mahasiswa : Peristiwa 14 Mei 1998 diawali dengan demonstrasi mahasiswa yang terjadi di dua lokasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) di Pabelan dan Universitas Sebelas Maret (UNS) di Kentingan, Surakarta. Dengan dua aksi tersebut, kekerasan massal dimulai di kampus UMS

Dampak kerusuhan rasial tahun 1998 lebih parah dibandingkan dua periode lalu. Pemberontakan ini menyebar lebih merata ke seluruh kota Surakarta dan sekitarnya. Suasana tegang masih terasa saat kobaran api dan asap hitam menggelapkan langit. Puing-puing bangunan, ribuan rongsokan sepeda motor, ratusan rongsokan mobil dan benda-benda yang terbakar masih berserakan di jalanan. 

Perekonomian kota Surakarta telah lumpuh karena dihancurkan, dibakar dan dijarah oleh massa selama kerusuhan, oleh sebab itu menyebabkan kekurangan barang dan kenaikan harga kebutuhan pokok. Bahkan penjual pinggiran kota masih takut jika mereka ingin membuka toko, tidak hanya penjual Cina, tetapi juga penduduk asli pun takut. Sektor transportasi juga lumpuh total, hampir tidak ada kendaraan di jalan-jalan utama, kecuali konvoi roda dua pengunjuk rasa dan aparat penegak hukum. 

Dunia pendidikan juga menderita akibat dari pemberontakan ini. Sebagian besar sekolah, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah, harus memulangkan siswanya lebih awal. 

Sementara itu, beberapa sekolah telah menelantarkan siswanya yang telah memutuskan untuk bergabung dalam konvoi keliling kota. Bahkan di Sukoharjo, ribuan siswa terjebak di pinggir jalan dalam perjalanan ke sekolah. Hanya siswa yang didampingi atau yang datang dengan kendaraan sendiri yang dapat mencapai sekolah.

Upaya-upaya yang dilakukan untuk menangani konflik tersebut seperti, Gubernur Jawa Tengah dan Wali Kota Surakarta sama-sama menyerukan himbauan kepada seluruh korban kerusuhan dan mengecam perilaku tak bertanggung jawab para perusuh. 

Karena itu, pihaknya mengimbau seluruh warga setempat untuk bahu-membahu mengatasi akibat dari kerusuhan tersebut, dan ABRI tidak akan segan-segan mengambil tindakan tegas terhadap mereka yang berada di balik pemberontakan dan kekacauan tersebut. Posisi ABRI diharapkan dapat memoderasi kerusuhan agar tidak meluas. Selama kerusuhan, kota Surakarta dijaga ketat oleh pasukan keamanan tentara Indonesia dan beberapa unit lainnya.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Konflik etnis Tionghoa dan Jawa di Surakarta pada masa lalu sebagian besar disebabkan oleh isu atau doktrin yang disebarluaskan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk memecah belah masyarakat, yang selanjutnya dapat melemahkan ketahanan dan integritas nasional. 

Peristiwa rasis anti-Tionghoa di kota Surakarta ini telah menimbulkan kerusuhan-kerusuhan kecil, yang merupakan suatu keunikan tersendiri yang dapat menimbulkan kekacauan yang sangat besar dan sangat serius, memakan banyak korban dan menimbulkan kerusakan serta masalah-masalah lain yang menyebar ke luar kota Surakarta.

Pemicu konflik di Surakarta 1972-1998 adalah terbentuknya mobilisasi massa dan aksi mahasiswa. Akibat dari peristiwa ini berdampak sangat besar bagi berbagai sektor, baik sektor ekonomi, pendidikan, transportasi dan kerugian materiil dialami oleh hampir seluruh warga kota Surakarta. Banyak pihak yang berperan dalam pengelolaan konflik, seperti ABRI dan pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayah, Nur. 2009. Masyarakat Multikultural. Universitas Negeri Yogyakarta.

Istiqomah, Annisa, dan Delfiyan Widiyanto. 2020. Resolusi konflik berbasis budaya Tionghoa-Jawa di Surakarta. Jurnal Civics: Media Kajian Kewarganegaraan Vol. 17 No. 1 Tahun 2020 40 -- 49. Universitas Negeri Yogyakarta dan Universitas Tidar.

Jusuf, Ester Indahyani, Hotma Timbul, Sonjang Frishka, Olisias Gultom, dan Raymond R Simanjorang. 2006. Kerusuhan Mei 1998 : Fakta, Data dan Analisa. Jakarta : SNB dan APHI

Mahfud, Choirul. 2006. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Nurjanah, Firda dan Andika Saputra. 2020. Strategi Spasial Kalangan Tionghoa di Kauman Surakarta.

Putro, Yahya Aryanto, Hamdan Tri Atmaja, dan Ibnu Sodiq. 2017. Konflik Rasial Antara Etnis Tionghoa Dengan Pribumi Jawa di Surakarta Tahun  1972-1998. Universitas Negeri Semarang.

Rustopo. 2007. Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan  Kebudayaan Jawa di Surakarta  1895-1998. Yogyakarta: Ombak.

Sumarno, Setyo. 2014. Problema dan Resolusi Konflik Sosial di Kecamatan Johar Baru - Jakarta Pusat. Jakarta; Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial -- Kementerian Sosial RI.

Wasino. 2006. Wong Jawa dan Wong Cina : Lika-Liku Hubungan Sosial antara Etnis Tionghoa dengan Jawa di Solo tahun 1911-1998. Semarang: UNNES Press.

Wigarani, Lenisa, Bain, dan Nina Witasari. 2019. Kerusuhan Anti Tionghoa di Semarang Tahun 1980. Universitas Negeri Semarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun