Hari ini matahari terik sekali padahal masih pagi begini. Di kotaku kehidupan sudah mulai menggeliat sejak azan subuh berkumandang. Orang-orang yang memang kesehariannya bekerja pasti sudah mulai bangun untuk menghadap Tuhan-Nya dan bersiap-siap untuk berangkat kerja.
Seperti aku yang kesehariannya kerja di salah satu perkantoran di kota kami. Dengan kantor yang berdiri gagah, pegawai yang rapi, wangi nan klimis, ruangan ber-AC dingin. Bagaimana kulitku tidak putih jika berada di ruangan ber-AC seperti ini.Â
Kulit yang dulunya hitam sekarang sudah putih begini, tidak perlu perawatan cukup ber-AC. Tapi sebelum ke kantor, seperti biasa Sang Nyonya, Ibuku lebih tepatnya, sudah mengomel dari jam 5 pagi minta diantarkan ke pasar. Bilang nanti kesiangan, nanti kehabisan ikan segar, sayur segar, nanti tempe yang bagus ludes. Ini nih hanya bualan Ibu saja. Padahal yang jualan kan banyak.Â
"Sudah cepat, Andi. Kamu mau makan enak tidak hari ini," ucap Ibu sambil menepuk punggungku, mana keras sekali, kan sakit. Soal makan enak itu hanya bualan. Menu masakan ibu setiap harinya sama aja. Tempe, Tahu, Sayur. Katanya biar sehat. Padahal gajiku setiap bulannya yang kuberikan separuh padanya cukup untuk ganti menu jadi ayam panggang misalnya. Tapi lagi-lagi Ibu membual, biar hemat katanya.
"Iya iya, Bu. Ini sedang dinyalakan motornya."Â
"Cepat dong, nanti kita kehabisan Tahu yang besar-besar. Kan kamu sudah tahu sekarang Tahu udah makin kecil potongannya, dulu saja harga satuannya Lima ratus rupiah sudah besar. Sekarang sudah seribu kecil pula." Ibu terus menyerocos sambil naik ke jok belakang.Â
"Itu kan dulu, Bu, tentu beda dengan sekarang yang apa-apa sudah mahal. Dari bahan pokoknya saja sudah mahal." Ibu mah kurang paham soal itu, maunya murah terus.Â
Aku mulai melajukan motor. Di arah timur sana matahari mulai muncul malu-malu, tapi cukup membuat daun-daun tidak sabaran menunggu. Angin sepoi-sepoi ini terasa dingin di pagi hari begini.Â
Sebenarnya jarak antara pasar dan rumahku tidak terlalu jauh, tapi berhubung Ibu sudah tua, sering sakit pinggang, lutut dan semacamnya, jadilah dia manja sekali minta diantar. Padahal kan bisa sekalian lari pagi biar sehat.
"Halah, bual saja itu soal apa-apa makin mahal. Hutang negara kita saja yang makin numpuk tiap harinya. Dengan embel-embel memberi bantuan pada rakyat kecil berupa uang atau bahan pokok. Tapi harga bahan pokok dan makanan yang lain malah naik melonjak. Padahal pejabat itu tidak tahu, kalau bantuan-bantuan itu tidak pernah merata, bahkan ada yang salah sasaran.Â
Yang punya mobil dapat bantuan ini itu, hidup terpenuhi. Yang Yatim malah dicabut bantuannya dengan embel-embel sudah melewati batas usia. Entah aparat Desa ini sehat atau tidak otaknya." Wah ternyata Ibu masih membalas perkataanku tadi, dan ini malah ngelantur sampai ke aparat Desa yang tidak amanah.Â
Baru saja akan bicara IBu sudah lebih dulu nyerocos, "Mau komentar apa lagi kamu? Buktinya ada di Desa kita sendiri, tidak perlu ke Desa orang."Â
"Iya, Bu. Sudahlah kita tidak perlu ikutan pusing soal mereka. Jika mereka curang itu akan menjadi urusan mereka dengan Tuhan nanti." Aku sudah capek mendengar omongan Ibu. Jika aku membantah dan terus tidak mengalah, sampai pulang dari pasar pun urusan ini tidak akan selesai.Â
"Halah kamu ini, Andi. Kamu yang memang tidak usah repot ngurusin aparat Desa itu. Mending kamu cepat cari jodoh, jangan cuma sibuk kerja." Tuh kan, benar-benar ngelantur sampai urusan jodoh dibawa-bawa.
Repot memang jadi manusia saat jomblo begini, di suruh cari jodoh. Saat punya jodoh sudah tunangan, ditanya kapan nikah. Saat sudah nikah, ditanya kapan punya anak. Saat punya anak satu, ditanya lagi kapan nambah anak. Repot sekali bukan, pertanyaannya banyak.Â
Untungnya kami telah sampai di pasar. Sepagi ini, pasar ini sudah rame. Pedagang-pedagang yang sibuk menata dagangannya. Orang-orang berlalu lalang keluar masuk pasar. Kuli angkut yang berkeringat sepagi ini karena membawa karung-karung besar, berhiliran masuk ke dalam pasar, berteriak menyuruh orang menyingkir memberi jalan.Â
Aku menunggu Ibu di luar saja, di parkiran motor yang penuh sesak. Sudah sekitar lima belas menit menunggu, Ibu tidak kunjung muncul juga. Pasti dia tidak hanya ke lapak sayuran saja, pasti masih mampir ke sana sini sambil sibuk menawar.Â
Aku akhirnya berinisiatif masuk ke dalam pasar. Melihat ini itu. Banyak sekali yang membuka lapak jualan di sini. Orang-orang sibuk menawarkan dagangannya, dan ada yang sibuk menawar dengan harga yang keterlaluan.Â
"Ayolah, Bu, 150 saja bajunya ya. Di lapak sebelah barat sana cuma 130." Ibu-ibu itu sedang menawar harga Daster yang diberi harga 195 oleh penjualnya. Ibu-ibu itu bilang kemahalan, membandingkan dengan harga di lapak lain.Â
"Tetap tidak bisa, Bu. Saya kulakan itu 180, jika ibu menawar dengan harga segitu, rugi saya," ucap si Ibu-ibu penjual pada Ibu-ibu calon pembeli.Â
Penawaran di antara mereka terus berlanjut. Setelah menyimak itu, aku lanjut berjalan, entah Ibuku itu sudah ada di belahan pasar mana.Â
Dan lazimnya pasar rame seperti ini, tidak hanya rame dengan pembeli dan penjual, copetnya pun rame berkeliaran menyamar jadi pembeli juga. Dan yang benar saja, nasib malang, aku yang kecopetan kali ini. Dompet yang kutaruh di saku celana belakang, diambil copet. Tapi untungnya aku sempat memegang tangannya. Sialnya lagi copetnya ini masih anak-anak usia berkisar 15 tahun.Â
"Copet, copet," aku berteriak. Copetnya panik karena saat akan kabur dengan dompetku aku berhasil menarik tangannya.Â
Orang-orang mulai ramai disekitar
"Yang mana copetnya, yang mana?" Bapak-bapak di sampingku panik bertanya.Â
"Di depan saya, Pak."Â
Saat aku berbicara dengan Bapak itu, copetnya berhasil melepaskan tangannya dari tanganku. Dia kabur menyelinap diantara orang-orang.Â
Aku yang tersadar langsung sigap mengejarnya. Lupakan Ibu, lupakan kantor yang harus datang tepat waktu jam 9. Urusan copet ini gawat sekali. Dompetnya tidak berarti memang, tapi uang dan kartu-kartu lain di sana berarti sekali. Sedangkan orang dibelakang sana hanya sibuk panik bukannya ikut mengejar. Sudahlah aku kerja sendiri saja.Â
Jadilah sekarang terjadi adegan kejar-kejaran antara pencopet dan yang dicopet.
"Woy ..., jangan kabur kamu." Nafasku terengah-engah mengejarnya. Pencopet kecil ini lincah sekali menyelinap di antara orang-orang. Dia menyeringai ke kiri ke kanan, masuk ke lapak yang satunya. Aku terus mengikuti mempercepat lariku yang mulai lamban, hampir saja menabrak Bapak-bapak yang sedang membawa ayam.Â
Sial, setelah mengejar sekitar tiga puluh menitan, aku kehilangan jejaknya. Entah anak itu kabur kemana. Cepat sekali menghilangnya. Akan susah sekali mencari di tengah banyaknya orang-orang di pasar ini. Aku tidak menyerah, mulai mencari lagi anak itu.Â
Di setiap lapak, dari lapak baju sampai ke lapak sayur. Tetap tidak ketemu. Aku ingat betul wajahnya, pakaian yang seadanya dengan kaus selengan dan celana bola selutut serta sandal jepit lusuh nan tipis.Â
Sekitar sepuluh menit aku mencari lagi dan tidak ketemu-ketemu, akhirnya aku memutuskan kembali. Mungkin dompet itu harus kuikhlaskan kali ini. Tapi isinya bagaimana.Â
Dari kejauhan aku melihat Ibu sudah menunggu di samping motor dengan belanjaan yang lumayan banyak. Aku berjalan gontai ke arahnya.Â
"Kamu ini keluyuran ke mana saja? Tidak ada gadis bak model di pasar ini, tidak perlu keluyuran cari jodoh di sini," Ibu langsung menyerocos saat aku tiba. Dia tidak tahu saja, anaknya ini baru saja kemalangan.
"Kenapa pula wajahmu seperti itu, sudah seperti habis kecopetan saja."Â
"Iya, Bu, iya. Aku baru kecopetan di dalam." Ibu terperangah sepersekian detik.Â
"Kok bisa? Apanya yang dicopet, bagaimana kejadiannya?" Ibu bertanya dengan wajah panik. Maka aku yang masih dengan wajah lelah ini bercerita tentang tragedi pencopetan tadi dengan lengkap, sambil duduk di warung bakso. Perut ini butuh diisi bukan?Â
"Sudah, tidak apa-apa ikhlaskan saja, mungkin sudah nasib sialmu hari ini, dan rezeki copet itu." Ibu terlalu pasrah untuk yang rezeki copet. Tapi perkara ikhlas itu omong kosong, ikhlas hanya mudah diucapkan, praktiknya sulit sekali.Â
Setelah menghabiskan satu mangkuk bakso dengan Ibu, urusan copet tadi mulai terlupakan. Sedikit, selebihnya mengingat kartu-kartu dan uang di dalamnya, huhhfff ..., harus segera diurus.Â
Sesampainya di rumah aku mengangkat belanjaan Ibu ke dapur. Dia ternyata tidak hanya membeli Tahu, Tempe kali ini, juga ada beberapa buah segar di plastiknya. Perkara copet tadi, membuatku jadi tidak bekerja. Ya sudah aku menghubungi Bos, bilang kalau aku demam tidak sempat izin mengabari. Untungnya Bosku ini baik, dia memaklumi dan memberiku izin dua hari.Â
Dan aku uring-uringan sepanjang malam menginap dompet itu. Lebay kalian bilang? Tidak, ini tidak lebay. Coba kalian yang kecopetan dengan uang ratusan ribu di dompet dan kartu-kartu berharga, pasti juga sepertiku sekarang.
Lupakan sejenak, kita istirahatkan dulu badan, agar besok kembali segar bugar.
******
Pagi hari nya, jam 7 tepat. Aku berpamitan pada Ibu berangkat kerja.
"Sudah tidak perlu dipikirkan lagi soal yang kemarin," ucap Ibu di ambang pintu. Aku mengangguk, mengiyakan. Sudah kubilang, tidak ada orang-orang yang benar-benar lupa atau melupakan hal-hal penting dalam hidupnya. Apalagi ini soal pencopetan.Â
Sepagi ini kotaku sudah kembali sibuk. Pagi ini aku memilih berangkat dengan Riki teman sekantor. Malas sekali harus menyetir motor, jadi aku menumpang pada dia. Di kanan kiri jalan tampak toko-toko sudah mulai terbuka rolling-nya, siap menyambut pelanggan datang. Anak-anak dengan seragam merah putih yang hendak berangkat sekolah asyik berlarian, saling kejar-kejaran di jalan.Â
Motor kami berhenti di lampu merah. Aku sibuk memperhatikan angka-angka yang berhitung mundur di atas lampu. Di samping kami, lebih tepatnya di mobil samping kami, ada anak jalanan yang sedang mengamen dengan memainkan ukulele. Setelah selang lima menit pengamen itu pindah ke samping motor kami, mulai memainkan ukulele dan bersenandung lagu-lagu yang sedang trand akhir-akhir ini.Â
Barulah saat akan memberikan uang pada anak ini, aku melihat wajah pengamen ini. Anak ini, mencopet itu. Ya tidak salah lagi, aku hafal betul wajahnya. Dia yang kaget melihatku, otomatis langsung berhenti bernyanyi. Aku buru-buru turun dari motor memegangi tangannya, takut dia kabur lagi. Lupakan soal lampu yang sebentar lagi bergantung hijau.Â
"Mau kabur kemana lagi kamu kali ini. Kalau jodoh emang gak kemana ya. Kita ketemu lagi. Kembalikan dompetku." Anak itu berusaha melepaskan diri dari dekapanku. Riki yang sedari tadi tidak paham, akhirnya ikut membantu memegangi anak itu setelah menepikan motornya ke depan salah satu toko.Â
"Ampun, Bang. Lepaskan saya. Saya akan kembalikan dompetnya," ucap anak itu.Â
"Aku tidak akan melepaskanmu, nanti kamu kabur." Aku kali ini tidak mau tertipu. Kubawa anak itu duduk di depan toko.
Selang beberapa menit, setelah perbincangan kami dia mengeluarkan dompetku dari saku celananya. Dia ternyata tinggal di kota sebelah. Sudah putus sekolah sejak satu tahun lalu. Orang tuanya bekerja serabutan, pendapatan tidak tetap. Jadi dia berhenti untuk membantu perekonomian mereka. Mungkin jika anak ini sekolah, dia saat ini kelas 1 SMA.Â
"Saya terpaksa mencopet, Bang. Kemarin saya butuh uang. Ibu sakit parah, dirawat di rumah sakit, butuh uang untuk membayar rumah sakitnya," ucap anak itu. Ternyata di tengah kota yang semakin maju, ada saja sisi-sisi yang masih tidak mampu begini, sisi ketimpangan.Â
"Kenapa tidak pinjam ke tetangga saja," usulku.
"Mau pinjam ke tetangga yang mana lagi, Bang. Hutang kami sudah numpuk. Tetangga mana yang mau meminjamkan jika hutang yang lalu belum dibayar." Tampak sekali kesedihan di wajah anak ini.Â
"Maaf ya, Bang, uang satu juta di dompet Abang aku ambil untuk bayar rumah sakit. Tapi kartu-kartu di dalamnya lengkap, Bang," anak itu me jelaskan. "Dan berkat uang Abang juga Ibu segera ditangani Dokter. Terima kasih, Bang," lanjutnya.
"Iya sama-sama. Memang keluarga kamu tidak dapat bantuan apa gitu, kan banyak tuh sekarang bantuan ini itu dari pemerintah bagi orang yang tidak mampu."
"Jangan pernah tanya bantuan apapun pada keluarga kami, Bang. Kami tidak mengenal segala jenis bantuan itu. Kami tidak hidup dengan uang dari pemerintah."Â
Benar kata Ibu kemaren, banyak orang-orang yang seharusnya mendapatkan bantuan malah tidak dapat bantuan apapun. Negeri ini lelucon sekali rupanya. Entah kemana hati para aparat Desanya. Yang seperti ini seharusnya layak mendapatkan segala jenis bantuan itu.Â
Kami masih berbincang Lima belas menit lagi. Anak ini berulang kali meminta maaf udah mengambil dompetku. Aku sudah benar-benar ikhlas soal uang itu sekarang, karena anak ini memang sedang butuh, ya meskipun cara dia mengambil salah.Â
Sebelum kami berpisah, aku memberikan sedikit uang padanya. Tentunya hasil mengamennya tadi tidak akan seberapa kan. Riki juga ikut memberi.Â
Anak ini berulang kali meminta maaf dan berterima kasih, karena aku tidak memperpanjang perkara pencopetan ini. Kami berpisah di depan toko dekat lampu merah itu. Dia menyebrang jalan sambil menenteng ukulele-nya.Â
"Oh ya, sekarang jam berapa?" aku bertanya pada Riki.Â
"Jam sembilan kurang lima belas menit, kenapa?" Dengan bodohnya dia bilang kenapa? Kantor telah menunggu, bodoh. Mari bergegas. Saat teringat, Riki langsung tancap gas menuju kantor.Â
Diselesaikan Di Sumenep, 06 Agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H