"Copet, copet," aku berteriak. Copetnya panik karena saat akan kabur dengan dompetku aku berhasil menarik tangannya.Â
Orang-orang mulai ramai disekitar
"Yang mana copetnya, yang mana?" Bapak-bapak di sampingku panik bertanya.Â
"Di depan saya, Pak."Â
Saat aku berbicara dengan Bapak itu, copetnya berhasil melepaskan tangannya dari tanganku. Dia kabur menyelinap diantara orang-orang.Â
Aku yang tersadar langsung sigap mengejarnya. Lupakan Ibu, lupakan kantor yang harus datang tepat waktu jam 9. Urusan copet ini gawat sekali. Dompetnya tidak berarti memang, tapi uang dan kartu-kartu lain di sana berarti sekali. Sedangkan orang dibelakang sana hanya sibuk panik bukannya ikut mengejar. Sudahlah aku kerja sendiri saja.Â
Jadilah sekarang terjadi adegan kejar-kejaran antara pencopet dan yang dicopet.
"Woy ..., jangan kabur kamu." Nafasku terengah-engah mengejarnya. Pencopet kecil ini lincah sekali menyelinap di antara orang-orang. Dia menyeringai ke kiri ke kanan, masuk ke lapak yang satunya. Aku terus mengikuti mempercepat lariku yang mulai lamban, hampir saja menabrak Bapak-bapak yang sedang membawa ayam.Â
Sial, setelah mengejar sekitar tiga puluh menitan, aku kehilangan jejaknya. Entah anak itu kabur kemana. Cepat sekali menghilangnya. Akan susah sekali mencari di tengah banyaknya orang-orang di pasar ini. Aku tidak menyerah, mulai mencari lagi anak itu.Â
Di setiap lapak, dari lapak baju sampai ke lapak sayur. Tetap tidak ketemu. Aku ingat betul wajahnya, pakaian yang seadanya dengan kaus selengan dan celana bola selutut serta sandal jepit lusuh nan tipis.Â
Sekitar sepuluh menit aku mencari lagi dan tidak ketemu-ketemu, akhirnya aku memutuskan kembali. Mungkin dompet itu harus kuikhlaskan kali ini. Tapi isinya bagaimana.Â