"Mau pinjam ke tetangga yang mana lagi, Bang. Hutang kami sudah numpuk. Tetangga mana yang mau meminjamkan jika hutang yang lalu belum dibayar." Tampak sekali kesedihan di wajah anak ini.Â
"Maaf ya, Bang, uang satu juta di dompet Abang aku ambil untuk bayar rumah sakit. Tapi kartu-kartu di dalamnya lengkap, Bang," anak itu me jelaskan. "Dan berkat uang Abang juga Ibu segera ditangani Dokter. Terima kasih, Bang," lanjutnya.
"Iya sama-sama. Memang keluarga kamu tidak dapat bantuan apa gitu, kan banyak tuh sekarang bantuan ini itu dari pemerintah bagi orang yang tidak mampu."
"Jangan pernah tanya bantuan apapun pada keluarga kami, Bang. Kami tidak mengenal segala jenis bantuan itu. Kami tidak hidup dengan uang dari pemerintah."Â
Benar kata Ibu kemaren, banyak orang-orang yang seharusnya mendapatkan bantuan malah tidak dapat bantuan apapun. Negeri ini lelucon sekali rupanya. Entah kemana hati para aparat Desanya. Yang seperti ini seharusnya layak mendapatkan segala jenis bantuan itu.Â
Kami masih berbincang Lima belas menit lagi. Anak ini berulang kali meminta maaf udah mengambil dompetku. Aku sudah benar-benar ikhlas soal uang itu sekarang, karena anak ini memang sedang butuh, ya meskipun cara dia mengambil salah.Â
Sebelum kami berpisah, aku memberikan sedikit uang padanya. Tentunya hasil mengamennya tadi tidak akan seberapa kan. Riki juga ikut memberi.Â
Anak ini berulang kali meminta maaf dan berterima kasih, karena aku tidak memperpanjang perkara pencopetan ini. Kami berpisah di depan toko dekat lampu merah itu. Dia menyebrang jalan sambil menenteng ukulele-nya.Â
"Oh ya, sekarang jam berapa?" aku bertanya pada Riki.Â
"Jam sembilan kurang lima belas menit, kenapa?" Dengan bodohnya dia bilang kenapa? Kantor telah menunggu, bodoh. Mari bergegas. Saat teringat, Riki langsung tancap gas menuju kantor.Â
Diselesaikan Di Sumenep, 06 Agustus 2022