Mohon tunggu...
Erka Ray
Erka Ray Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Mempunyai nama pena Erka Ray, kelahiran Januari 2003, di Kabupaten Sumenep Madura Jatim. Mempunyai cita-cita sebagai penulis semenjak kelas 4 SD. Mulai nekad mempublikasikan karyanya sejak 2019 lalu. Orangnya sering gabut. Kalau udah gabut, nulis. Kalau lagi sok sibuk, lupa nulis. Hasil gabutnya sudah ada 4 buku solo dan 7 buku antologi puisi yang gak pernah dia beli. Dan rencana gabutnya masih banyak lagi. Makanya beli bukunya Erka biar tau. 🥱😴

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Tidak Sama Rata"

6 Agustus 2022   16:31 Diperbarui: 7 Agustus 2022   23:55 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi hari nya, jam 7 tepat. Aku berpamitan pada Ibu berangkat kerja.

"Sudah tidak perlu dipikirkan lagi soal yang kemarin," ucap Ibu di ambang pintu. Aku mengangguk, mengiyakan. Sudah kubilang, tidak ada orang-orang yang benar-benar lupa atau melupakan hal-hal penting dalam hidupnya. Apalagi ini soal pencopetan. 

Sepagi ini kotaku sudah kembali sibuk. Pagi ini aku memilih berangkat dengan Riki teman sekantor. Malas sekali harus menyetir motor, jadi aku menumpang pada dia. Di kanan kiri jalan tampak toko-toko sudah mulai terbuka rolling-nya, siap menyambut pelanggan datang. Anak-anak dengan seragam merah putih yang hendak berangkat sekolah asyik berlarian, saling kejar-kejaran di jalan. 

Motor kami berhenti di lampu merah. Aku sibuk memperhatikan angka-angka yang berhitung mundur di atas lampu. Di samping kami, lebih tepatnya di mobil samping kami, ada anak jalanan yang sedang mengamen dengan memainkan ukulele. Setelah selang lima menit pengamen itu pindah ke samping motor kami, mulai memainkan ukulele dan bersenandung lagu-lagu yang sedang trand akhir-akhir ini. 

Barulah saat akan memberikan uang pada anak ini, aku melihat wajah pengamen ini. Anak ini, mencopet itu. Ya tidak salah lagi, aku hafal betul wajahnya. Dia yang kaget melihatku, otomatis langsung berhenti bernyanyi. Aku buru-buru turun dari motor memegangi tangannya, takut dia kabur lagi. Lupakan soal lampu yang sebentar lagi bergantung hijau. 

"Mau kabur kemana lagi kamu kali ini. Kalau jodoh emang gak kemana ya. Kita ketemu lagi. Kembalikan dompetku." Anak itu berusaha melepaskan diri dari dekapanku. Riki yang sedari tadi tidak paham, akhirnya ikut membantu memegangi anak itu setelah menepikan motornya ke depan salah satu toko. 

"Ampun, Bang. Lepaskan saya. Saya akan kembalikan dompetnya," ucap anak itu. 

"Aku tidak akan melepaskanmu, nanti kamu kabur." Aku kali ini tidak mau tertipu. Kubawa anak itu duduk di depan toko.

Selang beberapa menit, setelah perbincangan kami dia mengeluarkan dompetku dari saku celananya. Dia ternyata tinggal di kota sebelah. Sudah putus sekolah sejak satu tahun lalu. Orang tuanya bekerja serabutan, pendapatan tidak tetap. Jadi dia berhenti untuk membantu perekonomian mereka. Mungkin jika anak ini sekolah, dia saat ini kelas 1 SMA. 

"Saya terpaksa mencopet, Bang. Kemarin saya butuh uang. Ibu sakit parah, dirawat di rumah sakit, butuh uang untuk membayar rumah sakitnya," ucap anak itu. Ternyata di tengah kota yang semakin maju, ada saja sisi-sisi yang masih tidak mampu begini, sisi ketimpangan. 

"Kenapa tidak pinjam ke tetangga saja," usulku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun