Mohon tunggu...
Erina Katerin
Erina Katerin Mohon Tunggu... Konsultan - Legal Counsel

Jaga Apimu Tetap Menyala | Menulis untuk Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Upaya Hukum Dapat Dilakukan oleh Korban Tindak Pidana untuk Mendapatkan Pemulihan Kerugian

30 Mei 2023   11:37 Diperbarui: 30 Mei 2023   15:12 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kerugian yang diderita korban tindak pidana dapat dimintakan ganti rugi sebagai salah satu hak korban tindak pidana. United nations Declaration on The Prosecution and Assistance of Crime Victims pada butir 4 part I-General principles telah menegaskan kewajiban tiap-tiap negara dalam pemenuhan hak-hak korban tindak pidana. Dalam Declarasi ini juga dikedepankan Reparasi oleh pelaku kepada korban merupakan tujuan dari proses keadilan. Reparasi tersebut dapat mencakup:

1. Pengembalian harta curian,

2. Pembayaran uang untuk kerugian, kerusakan cedera pribadi dan trauma psikologis,

3. Pembayaran untuk penderitaan, dan

4. Pelayanan kepada korban yang secara menyeluruh perbaikannya harus didorong juga oleh proses pemasyarakatan.

Di Indonesia, Pengaturan mengenai upaya ganti kerugian korban tindak pidana telah diterapkan. Berikut peraturan terkait:

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014  tentang perubahan atas Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ("UU LPSK");

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban ("PP 7/2018");

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana ("PERMA 1/2022");

Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 17/SEOJK.04/2021 tentang Pengembalian Keuntungan Tidak Sah dan Dana Kompensasi Kerugian Investor di Bidang Pasar Modal ("SEOJK 17/2021").

Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan Oleh Korban Tindak Pidana Untuk Mendapatkan Pemulihan Kerugian.        

Secara sistem Upaya Ganti Kerugian Korban Tindak Pidana dapat dilakukan melalui:

1. Penggabungan Perkara Ganti Kerugian 

Sebagaimana diatur dalam pasal 98 hingga pasal 101 KUHAP. dimaksudkan agar ganti kerugian pada waktu yang sama diperiksa serta diputus sekaligus dengan perkara pidana yang bersangkutan. Upaya hukum penggabungan perkara pidana ini dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan. Ketua pengadilan atau hakim yang memutus perkara memerintahkan kepada tergugat dalam waktu paling lama 8 (delapan) hari agar memenuhi putusan. Apabila lewat dari waktu yang ditentukan maka hakim akan menerbitkan surat perintah untuk menyita barang bergerak milik terpidana yang diperkirakan senilai dengan kewajiban yang diputuskan untuk dipenuhi. Apabula barang bergerak tidak mencukupi maka barang yang tidak bergerak ikut disita. Penyitaan ini dinamakan penyitaan eksekutorial yang diajukan oleh panitera dibantu dua orang saksi.

2. Melalui Gugatan Perdata Pebuatan Melawan Hukum 

Pasal 1365 KUHPerdata,

"Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut."

Sehingga, orang yang menderita kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang lain yang melawan hukum memiliki hak untuk menuntut ganti kerugian.

3. Melalui Permohonan Restitusi

Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dalam Bantuan Kepada Saksi Korban, Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan berbunyi:

Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi berupa: 

  • ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
  • ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau 
  • penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis."

Permohonan restitusi dapat dilakukan melalui Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK), LPSK akan mengajukan restitusi baik sebelum maupun sesudah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

4. Melalui Pengaduan Konsumen 

Dalam perkara pidana di bidang pasar modal, upaya ganti rugi dapat dilakukan melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK), OJK mengeluarkan Surat Edaran Nomor 17/SEOJK.04/2021 tentang Pengembalian Keuntungan Tidak Sah dan Dana Kompensasi Kerugian Investor di Bidang Pasar Modal. Pemberlakuan Surat Edaran ini mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Juli 2021 yang bertujuan untuk melindungi para investor di Pasar Modal. Penerbitan surat edaran ini merupakan sikap yang diambil OJK untuk memerintahkan pihak yang melakukan dan/atau pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal untuk mengembalikan keuntungan yang diperoleh atau kerugian yang dihindari secara tidak sah kepada para investor. Dana kompensasi kerugian investor tersebut nantinya akan didistribusikan oleh Administrator yang telah ditunjuk oleh OJK. Kemudian, penyedian rekening dana akan memindah bukukan Dana Kompensasi kerugian Investor paling lambat tiga hari kerja setelah menerima instruksi administrator. Keuntungan tidak sah bisa dalam bentuk uang atau aset tetap.Apabila Pihak yang dikenakan Pengembalian Keuntungan Tidak Sah menolak untuk melakukan pembayaran, Otoritas Jasa Keuangan akan memerintahkan pencairan aset dalam rekening Efek dan/atau rekening lain kepada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, lembaga jasa keuangan, dan/atau pihak lain yang terkait. Tak hanya itu, OJK juga dapat membawa masalah ini ke ranah hukum apabila Pihak yang dikenakan Pengembalian Keuntungan Tidak Sah tidak dapat melakukan pembayaran. 

 

5. Dalam perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terdapat mekanisme lain dalam pengembalikan kerugian kepada korban jika kerugian yang disebabkan oleh tindak pidana pencucian uang dimana dapat dilakukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang merupakan Lembaga sentral (focal point) yang mengkoordinasikan pelaksanaan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan oleh Penyidik dalam waktu tiga puluh hari, maka Penyidik dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri untuk memutuskan harta kekayaan tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak berdasarkan pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Sehingga, melalui upaya diatas penegakan hukum berperspektif pada kepentingan korban. Korban mendapatkan perhatian yang proporsional dalam pemenuhan haknya sebagai korban untuk mengajukan restitusi di pengadilan.

TATA CARA PENYELESAIAN PERMOHONAN DAN PEMBERIAN RESTITUSI DAN KOMPENSASI KEPADA KORBAN TINDAK PIDANA

Permohonan Restitusi harus dibuat dalam bentuk surat permohonan yang didalamnya memuat beberapa keterangan antara lain; 

1. Identitas Pemohon;

2. Identitas Korban, dalam hal Pemohon bukan korban sendiri;

3. Uraian mengenai tindak pidana;

4. Identitas terdakwa/termohon;

5. Uraian kerugian yang diderita; dan

6. Besaran Restitusi yang diminta.

Pengajuan restitusi harus dilengkapi dengan beberapa dokumen lain seperti:

  • Fotokopi identitas Pemohon dan/ atau Korban;
  • Bukti kerugian materiil yang diderita oleh Pemohon dan/ atau Karban dibuat atau disahkan oleh pejabat berwenang, atau berdasarkan alat bukti lain yang sah;
  • Bukti biaya Karban selama perawatan dan/ atau pengobatan disahkan oleh instansi atau pihak yang melakukan perawatan atau pengobatan atau berdasarkan alat bukti lain yang sah;
  • Uraian kerugian immateriil yang diderita oleh Pemohon dan/ atau Kor ban;
  • Fotokopi surat kematian, dalam hal Karban meninggal dunia;
  • Surat keterangan hubungan Keluarga, ahli waris, atau wali jika permohonan diajukan oleh Keluarga, ahli waris atau wali;
  • Surat kuasa khusus, jika permohonan Restitusi diajukan melalui kuasa; dan 
  • Salinan atau petikan putusan Pengadilan, jika perkaranya telah diputus dan berkekuatan hukum tetap.

Pengajuan Permohonan Restitusi kemudian ditandatangai oleh Pemohon atau kuasanya dan diajukan kepada Ketua/Kepala Pengadilan, baik secara langsung atau melalui LPSK, Penyidik, atau Penuntut Umum. Pengajuan dan Pemeriksaan Permohonan seteah Putusan Pengadilan Berkekuatan Hukum Tetap sangatlah dapat dilakukan, namun disisi lain permohon restitusi tidak dilakukan jika Pemohon telah mengajukan kompensasi bersamaan dengan pengajuan permohonan restitusi sebelum putusan berkekuatan hukum tetap. Permohonan diajukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak pemohon mengetahui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

 

YURISPRUDENSI

         Adapun sepanjang penelusuran penulis, upaya ganti kerugian korban tindak pidana telah ditempuh banyak pihak salah satunya  termuat dalam putusan pengembalian kerugian korban berikut diantaranya:

1. Putusan Investasi Fahrenheith.

Putusan tingkat pertama Nomor 664/Pid.Sus/2022/PN Jkt.Brt hakim menjatuhkan Pidana penjara terhadap terdakwa Direktur Utama PT. FSP Akademi PRO  yaitu Hendry Susanto selama 10 (sepuluh) tahun dan denda Rp 3 miliar, dan menyatakan bahwa total 484 barang bukti sesuai dengan putusan pengadilan akan dikembalikan kepada yang berhak yaitu korban sebanyak 1449 orang melalui paguyuban yang terdaftar di Kemenkunham RI.

2. Putusan Biro Perjalanan Umroh First Travel.

Putusan Mahkamah Agung menetapkan seluruh jemaah korban penipuan agen perjalanan PT First Anugerah Karya Wisata atau First Travel akan mendapatkan kembali aset yang telah disita dalam pengusutan perkara. Total pengembalian uang para penggugat sebesar Rp.1.187.385.000. (Satu Miliar Seratus Delapan Puluh Tujuh Juta Tiga Ratus Delapan Puluh Lima Ribu Rupiah) Keputusan itu diambil setelah MA mengabulkan permohonan Kejaksaan Negeri Depok selaku pemohon peninjauan kembali (PK) 365PK/Pid.Sus/2022 first travel. 

KESIMPULAN

Semangat proses penegakan hukum tidak saja berorientasi pada penghukuman terdakwa, tetapi juga berkontribusi memulihkan kerugian masyarakat yang menjadi korban langsung dari sebuah kejahatan. Pengaturan yang sudah ada tentunya perlu dibarengi dengan implementasi yang mengoptimalkan kedudukan korban sebagai pihak yang paling dirugikan akibat perbuatan pelaku. Selain itu melalui kebijaksanaan para hakim, kepentingan para korban diperhatikan serius, agar bisa menjadi tonggak untuk penegakan hukum yang berperspektif korban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun