Mohon tunggu...
Erik Mangajaya Simatupang
Erik Mangajaya Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis

Pengamat Isu-Isu Kontemporer

Selanjutnya

Tutup

Money

Waiver Kekayaan Intelektual bagi Penanganan COVID-19 dan Kesiapan Nasional

26 Mei 2021   20:50 Diperbarui: 31 Mei 2021   17:32 1533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Proposal Waiver (Dok IP/C/W/669).  

Pembahasan mengenai pengesampingan atau pengabaian (waiver) sebagian ketentuan kekayaan intelektual dalam Perjanjian Trade Related Aspects and Intellectual Property Rights (TRIPS) semakin mengemuka di ranah publik nasional. Namun demikian, jumlah kajian di dalam negeri mengenai isu waiver yang fokus pada aspek hukum dan kesiapan dalam negeri masih kurang.

Tulisan ini diharapkan dapat memberi kontribusi, antara lain: (i) pemahaman mengenai konsep waiver dan implikasinya pada hukum nasional;               (ii) perlunya kesiapan dalam negeri untuk menyiapkan posisi nasional dalam perundingan; dan (iii) perlunya kesiapan dalam negeri untuk memanfaatkan waiver bagi percepatan kemandirian industri kesehatan nasional.

Pada bagian awal, penulis akan menjabarkan sejarah singkat posisi Indonesia mengenai waiver lalu diikuti dengan makna waiver, pengaruh pada hukum nasional, monopoli produksi dan distribusi, tujuan waiver, kebijakan investasi dan kolaborasi penelitian, perkembangan negosiasi, perlunya kesiapan dalam negeri dan ditutup dengan beberapa saran tindak lanjut.

Pendahuluan

Proposal waiver pertama kali diajukan oleh India dan Afrika Selatan pada tanggal 2 Oktober 2020 di forum WTO (Dok IP/C/W/669).  

Ibu Menlu Retno Marsudi saat memberikan sambutan kedatangan vaksin AstraZeneca dari COVAX-AMC di Bandara Soekarno Hatta tanggal 8 Mei 2021 yang lalu menyatakan dukungan Pemerintah Indonesia atas proposal waiver. Pemerintah Indonesia menyampaikan permohonan resmi sebagai co-sponsor pada tanggal 10 Mei 2021. Secara resmi, Indonesia tercatat sebagai co-sponsor proposal waiver pada dokumen WTO IP/C/W/699/Rev.1 tertanggal 19 Mei 2021.

Pada perkembangannya, tanggal 21 Mei 2021 Presiden Joko Widodo menyampaikan statement  di sela-sela pertemuan virtual KTT Kesehatan Global yang menegaskan kembali dukungan atas proposal waiver dan posisi sebagai co-sponsor (laman Kantor Presiden RI tertanggal 21 Mei 2021).  Pernyataan resmi Presiden Jokowi tersebut menjadi puncak posisi Indonesia yang mendukung proposal waiver.

Mengutip Sekjen WHO, Presiden menyatakan bahwa pandemi COVID-19 di tahun kedua sepertinya akan lebih mematikan dan mutasi virus pun terus berkembang. Namun disayangkan terjadi kesenjangan distribusi vaksin COVID-19 secara global. Sampai saat ini, hanya ada 0,3 persen pasukan vaksin global yang tersedia bagi negara berpenghasilan rendah. Adapun 83 persen pasokan vaksin global telah diterima negara-negara kaya. Sisanya sekitar 17 persen tersedia untuk negara-negera berkembang yang menduduki sekitar 47 persen populasi dunia.

Sebagaimana disampaikan dalam pernyataan Kepala Pemerintah, kerja sama kolektif global diperlukan untuk melipatgandakan kapasitas dan distribusi vaksin global. Kecepatan pemulihan ekonomi global sangat tergantung dari upaya untuk mengatasi masalah rintangan supply vaksin. Dunia harus melipatgandakan kapasitas dan distribusi vaksin. Ditambahkan, no one is safe until everyone is.

Dukungan Indonesia adalah bentuk global solidary yang sejalan dengan amanat Pembukaan UUD 1945, Piagam PBB dan cerminan nilai-nilai Dasasila Bandung Konferensi Asia Afrika tahun 1955.

Sesungguhnya sedari awal proposal waiver diajukan oleh India dan Afrika Selatan, Indonesia sudah berdiri di garda depan mendukung proposal waiver. Posisi Indonesia ini dapat dicek dalam dokumen resmi pertemuan sidang resmi WTO TRIPS Council.

Indonesia bersama India dan Afrika Selatan selalu memimpin perjuangan negara berkembang di berbagai forum multilateral. Ketiganya menjadi kompas negara berkembang dalam negosiasi di forum multilateral. Indonesia adalah natural leader bagi negara berkembang dalam norm setting process di forum multilateral, termasuk forum WTO.

Dari segi hukum internasional, proposal waiver merupakan terobosan hukum terbesar abad ke-21 sejak berdirinya forum multilateral yang membahas isu kekayaan intelektual seperti WIPO pada tahun 1967 dan WTO pada tahun 1995.

Makna Waiver

Menurut penulis, konsep waiver mengandung beberapa makna. Pertama, waiver tidak serta merta menghapus hukum kekayaan intelektual global secara keseluruhan. Waiver hanyalah menunda pelaksanaan (freeze) beberapa norma hukum kekayaan intelektual TRIPS untuk jangka waktu tertentu.

Kedua, waiver tidak serta merta menghapuskan hukum kekayaan intelektual nasional, khususnya UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU Paten). Hal ini disebabkan UU Paten adalah “pengembangan” dari standar minimum perlindungan kekayaan intelektual yang dimuat TRIPS. UU Paten bukanlah TRIPS.

Ketiga, waiver memberi “freedom to operate” secara penuh kepada hukum nasional untuk mengatur perlindungan kekayaan intelektual yang di-waived. Waiver memberikan keleluasaan pada hukum nasional untuk mengatur standar minimum perlindungan kekayaan intelektual. Dengan kata lain, hukum nasional diberi kebebasan untuk mengisi “policy space” seperti apa untuk mengatur isu kekayaan intelektual yang di-waived.

Keempat, waiver adalah penyerahan kewenangan kepada hukum nasional untuk mengatur isu kekayaan intelektual yang di-waived. Negara anggota memiliki kekuasaan dalam menetapkan opsi kebijakan sesuai kepentingan nasionalnya.

Kelima, waiver membuat negara yang mengeluarkan kebijakan nasional isu kekayaan intelektual yang  di-waived tidak akan dianggap melanggar hukum WTO dan tidak dapat digugat di WTO.

Pengaruh pada Hukum Nasional

Bilamana proposal waiver disepakati, anggota WTO berhak untuk memilih beberapa kebijakan nasional. Di bidang paten misalnya, anggota WTO dapat mengambil kebijakan, antara lain: (i) menunda sebagian ketentuan hukum nasional; atau (ii) mengubah hukum nasional; atau (iii) tetap mempertahankan hukum nasional yang ada.

Apabila memutuskan untuk mengubah UU Paten misalnya, Indonesia dapat mengatur fleksibilitas melebihi dari apa yang diberikan oleh TRIPS. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain: (i) Mengubah ketentuan mengenai penelitian agar lebih fleksibel bukan saja untuk kepentingan ilmiah sebagaimana selama ini diatur Pasal 19 UU Paten; (ii) Mengubah ketentuan penelitian untuk kepentingan komersialisasi (pengecualian bolar provisions) dalam Pasal 167 atau (2); (iii) Mengubah ketentuan impor paralel dalam Pasal 167 ayat (1) UU Paten; (iv) Mengubah ketentuan "Lisensi Wajib" (Compulsory License) atau "Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah" (Government Use) dalam UU Paten, tanpa harus mengadopsi total syarat-syarat menurut Pasal 31 TRIPS; dan (v) mengatur flekbilitas-fleksibilitas lainnya.

Jadi waiver tidak boleh hanya dilihat dalam konteks "Lisensi Wajib" atau "Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah" semata. Waiver harus dilihat lebih luas dari pada sekedar isu "Lisensi Wajib" atau "Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah". Waiver tidak boleh dibatasi hanya pada konsep "Lisensi Wajib" atau "Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah". Waiver berbicara mengenai kebebasan negara untuk menerapkan kebijakan yang luas dalam mengatur isu kekayaan intelektual di level nasional.

Monopoli Produksi dan Distribusi

Dilihat dari negosiasi dan berbagai kajian serta perdebatan, termasuk di beberapa lini media online, isu paling mendasar adalah: apakah kelangkaan supply dan terbatasnya pusat produksi vaksin diakibatkan oleh sistem kekayaan intelektual? Dokumen perdebatan isu waiver ini seluruhnya dapat diakses pada laman WTO TRIPS Council.

Kelompok penolak proposal waiver berargumen bahwa isu kelangkaan produksi vaksin bukanlah isu kekayaan intelektual. Persoalan sesungguhnya adalah teknis distribusi dan bagaimana membuat pusat produksi vaksin. Bagi penulis, pandangan ini hanyalah statement politik yang tidak didasarkan atas argumen hukum yang kuat. Argumen ini bahkan cenderung misleading.

Rejim paten bukan hanya mengenai perlindungan inovasi, tetapi juga distribusi, jual-beli dan lisensi. Paten adalah hak eksklusif (exclusive rights) yang memberikan kewenangan bagi pemegang hak paten untuk mengizinkan kepada siapa produk tersebut dapat dibuat dan produksi, didistribusikan, diperjualbelikan dan diberikan lisensi (secara eksklusif maupun non-eksklusif). 

Keberadaan paten sebagai hak eksklusif tegas diatur dalam Pasal 28 TRIPS. Ketentuan ini kemudian dijabarkan dalam beberapa norma UU Paten, seperti antara lain Pasal 1 ayat (1), Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 76. Prinsip dasar mengenai hak eksklusif paten ini juga diatur dalam berbagai hukum anggota WTO.

Kelangkaan vaksin dan obat COVID-19 sekarang terjadi karena pemegang paten hanya memberikan persetujuan lisensi sukarela (voluntary license) kepada pihak tertentu saja. AstraZeneca misalnya hanya mengizinkan pembuatan produksi vaksin di India, Korea Selatan dan Thailand. Hal sama juga berlaku bagi vaksin lainnya. Pfizer dan BioNTech misalnya hanya mengizinkan pembuatan vaksin di Amerika Serikat, di Puurs Belgia, di Marburg Jerman dan Tiongkok (Fosun Pharma). Vaksin Sputnik misalnya hanya dapat diproduksi di Rusia, India (Panacea Biotec) dan Mesir (Minapharm).

Saat India mengalami ledakan (tsunami) COVID-19, vaksin AstraZeneca tidak dapat diekspor karena diperuntukan bagi keperluan dalam negeri India. Akibatnya, distribusi vaksin ke seluruh dunia pun terhambat. Distribusi vaksin AstraZeneca ke COVAX-AMC, Uni Eropa dan negara-negara lainnya mengalami gangguan. Uni Eropa bahkan mengancam akan menggugat AstraZeneca karena terlambat mengirim vaksin AstraZeneca. AstraZenca pada lamannya memberikan pernyataan akan membahas isu ini lebih lanjut dengan pihak Uni Eropa (AstraZeneca, 26 April 2021).

Sebagaimana disampaikan dalam laman resminya, Gilead sebagai pemegang paten obat Remdesivir hanya memberikan non-exclusive voluntary license untuk memproduksi obar Remdesivir kepada beberapa perusahaan di Mesir, India dan Pakistan. Obat Remdesivir diizinkan untuk didistribusikan kepada 127 negara, termasuk Indonesia. 

Sebenarnya Indonesia sejak awal pandemi tahun 2020 telah meminta voluntary license obat Remdesivirnamun sampai saat ini belum berhasil mendapat respon positif dari Gilead.

Adanya pembatasan ekspor Remdesivir oleh Pemerintah India untuk kebutuhan dalam negeri mengakibatkan semakin menipisnya persediaan Remdesivir di berbagai negara.  Kiranya perlu diantisipasi terjadinya kelangkaan obat Remdesivir di Indonesia akibat terhambatnya distribusi salah satu obat andalan untuk penanganan pasien COVID-19 dengan level infeksi sedang dan parah.

Perusahaan vaksin COVID-19 seperti Moderna secara eksplisit mengakui bahwa kekayaan intelektual, khususnya paten, dapat mengakibatkan hambatan produksi dan distribusi vaksin. Moderna, sebagaimana dapat diakses pada laman resminya, pada tanggal 8 Oktober 2020 menyatakan bahwa:

Beyond Moderna’s vaccine, there other COVID-19 vaccines in development that may use Moderna-patented technologies. We feel a special obligation under the current circumtatnces to use an end as quickly as possible. Accordingly, while the pandemic continues, Moderna will not enforce our COVID-19 related patents against those making vaccines intended to combat the pandemic. Further, to eliminate any perceived IP barriers to vaccine development during the pandemic period, upon request we are also willing to license our intellectual property for COVID-19 vaccines to others for the post pandemic period.

Paten sebagai hak eksklusif menjadi muara penyebab terbatasnya dan tidak meratanya pusat-pusat produksi dan distribusi vaksin, obat dan alat kesehatan di berbagai belahan dunia. Hal ini pada gilirannya mengakibatkan failure of global market. Permintaan (demand) akan vaksin, obat, bahan baku obat (BBO) serta alat kesehatan COVID-19 lebih besar daripada supply yang ada.

Mengubah Game

Waiver ditujukan untuk mengubah game hubungan antara negara-perusahaan farmasi. Kelangkaan produksi dan distribusi mendorong berbagai negara, khususnya negara berkembang dan negara kurang berkembang, untuk mengubah strategy melalui proposal waiver. Pada masa pandemi seperti sekarang ini, bargaining position perusahaan farmasi sangatlah tinggi. Waiver ditujukan untuk menaikan daya tawar anggota WTO di atas perusahaan farmasi.

Proposal waiver mengubah game agar perusahaan farmasi tidak terlalu mendominasi , tetapi "dipaksa secara tidak langsung" untuk berkerja sama dengan negara. Kerja sama tersebut dapat dilakukan melalui voluntary license (berinvestasi) ke berbagai negara.

Melalui waiver, perusahaan farmasi dihadapkan pada pilihan apakah membiarkan anggota WTO melakukan “Lisensi Wajib” atau “Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah”, atau memilih untuk  melakukan voluntary license (berinvestasi). Dari sudut perusahaan farmasi, proposal waiver tentunya akan merugikan perusahaan farmasi karena akan membuka perlindungan paten mereka. Namun pada akhirnya, perusahaan farmasi "terpaksa" memilih apakah melakukan pendekatan win-win melalui voluntary license dan kolaborasi, atau memilih pendekatan zero-sum game seperti "Lisensi Wajib" dan "Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah."

Proposal Waiver mencoba untuk menciptakan pasar sempurna yang diwarnai kompetisi di antara industri farmasi. Hal ini tentunya akan menekan harga dan dapat semakin mendorong kompetisi di antara perusahaan farmasi. Proposal waiver diharapkan mendorong scaling up of global manufacturing process. Inilah rasional dari proposal waiver.

Kebijakan Investasi dan Kolaborasi Penelitian

Salah satu kelemahan dari waiver adalah tetap tidak dibukanya know how dan trade secret. Kendatipun tirai pelindung (shield) paten telah dibuka, namun know how dan trade secret masih dipegang oleh pemilik paten. Dibutuhkan waktu sangat lama untuk mempelajari know how sedangkan batas waktu waiver sangat pendek.

Hal ini mendorong penulis pada pandangan bahwa kendatipun proposal waiver diadopsi oleh WTO, sebaiknya pemerintah tetap mendorong dan mengupayakan dilakukannya voluntary license (investasi) dan kolaborasi penelitian dan pengembangan (research and development). Dengan demikian, know how dan transfer of technology perlahan dapat dilakukan. Diharapkan kolaborasi penelitian dan pengembangan akan men-generate penelitian selanjutnya di dalam negeri.

Keberhasilan waiver untuk menarik voluntary license dan kolaborasi riset dipengaruhi berbagai faktor terkait calon penerima investasi. Faktor-faktor tersebut antara lain: Pertama, apakah negara yang membutuhkan vaksin atau obat dan alat kesehatan tersebut cukup proaktif menarik investasi vaksin, obat, bahan baku obat dan alat kesehatan untuk penanganan COVID-19. Kedua, bagaimana kesiapan iklim investasi, infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) termasuk peneliti dan  tenaga kerja di calon negara penerima. Ketiga, kelangkaan sumber bahan baku di negara calon penerima. Keempat, faktor pertimbangan geo-politik kedekatan hubungan bilateral negara.

Faktor pertama yang penulis sebutkan di atas mungkin sudah tidak menjadi masalah lagi sebab  Presiden Jokowi pada tanggal 21 Mei 2021 di KTT Kesehatan Global telah menyatakan bahwa Indonesia ingin menerima investasi dan alih teknologi vaksin. Sebagai negara produsen vaksin terbesar di Asia Tenggara, Indonesia siap untuk menjadi hub produksi vaksin di ASEAN. Isu yang ada adalah bagaimana aparatur pejabat di bawahnya dapat mengimplementasikan arahan Presiden dimaksud.

Upaya menarik investasi industri kesehatan, khususnya vaksin dan obat COVID-19, patut menjadi prioritas nasional. Hal ini perlu menjadi perhatian  sebab bila dibandingkan dengan negara lain kawasan Asia Tenggara, harus diakui Indonesia tertinggal di bidang investasi, kolaborasi riset dan pengembangan vaksin COVID-19.  

Vietnam telah berhasil membuat beberapa vaksin yang sudah memasuki uji klinis. Vietnam telah memulai uji klinis tahap  tiga (tahap akhir) dari vaksin yang diberi nama “Nanocovax”.  Vaksin ini berbasis protein rekombinan yang dikembangkan secara mandiri oleh Vietnam Military Medical University. Ditargetkan vaksin akan segera dapat distribusi pada bulan Agustus 2021.  

Pembuatan vaksin Nanocovax milik Vietnam lebih cepat daripada pembuatan Vaksin Merah Putih.

Vietnam saat ini sedang melanjutkan tahap kedua uji klinik beberapa vaksin lainnya. Salah satu vaksin yang sudah masuk tahap kedua uji klinis adalah vaksin Covivac berbasis viral vector. Vaksin ini dikembangkan oleh Khanh Hoa-based Institute of Vaccines and Medical Biologicals di bawah Kementerian Kesehatan dengan berkoordinasi bersama PATH dan menggunakan teknologi telur (egg-based vaccine production technology).  Vietnam juga akan segera memasuki tahap kedua uji klinis vaksin Vabiotech berbasis teknologi protein subunit hasil kerja sama Vabiotech dengan Bristol University.  

Melihat perkembangan produksi vaksin dalam negeri, sepertinya Vietnam akan menjadi negara ASEAN pertama yang secara mandiri berhasil membuat vaksin COVID-19.

Di bidang teknologi vaksin mRNA, Indonesia tertinggal dari negara ASEAN lainnya. Thailand melalui Chulalongkorn University telah mendapat lisensi kerja sama pengembangan vaksin mRNA dengan Pennsylvania University untuk membuat vaksin ChulaCov19. Vaksin ini dikabarkan dapat disimpan pada suhu 2-8 derajat celsius.  Singapura telah memasuki tahap kedua uji klinis vaksin mRNA yang dikembangan Arcturus dan Duke-NUS.

Di bidang investasi vaksin berbasis teknologi mRNA, negara ASEAN lainnya juga lebih maju dari Indonesia. Singapura telah berhasil mendapat voluntary license dari BionTech untuk memproduksi vaksin teknologi mRNA. Produksi vaksin teknologi mRNA ditargetkan pada tahun 2023.  Singapura akan menjadi basis produksi vaksin BioNTech di Asia Tenggara. Vietnam juga saat ini berupaya dengan gencar untuk mencari investor dan menyediakan dana bagi pengembangan vaksin berbasis teknologi mRNA.

Fakta di atas seharusnya menjadi wake up call bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalan produksi vaksin COVID-19 di kawasan ASEAN. Kemajuan Industri bio-teknologi nasional harus terus ditingkatkan.

Perkembangan Negosiasi

Pembahasan formal teks proposal waiver akan dilakukan pada bulan Juni 2021. Seluruh anggota WTO akan duduk bersama menentukan level of expectation untuk mencapai agreed shared of understanding and value mengenai isu waiver. Diharapkan proses negosiasi dapat difinalisasi dalam WTO Ministerial Conference  atau melalui keputusan WTO General Council.

Saat ini masih agak sulit untuk memprediksi landing zone teks. Masih terlalu dini untuk memprediksi apakah teks akan diadopsi melalui konsensus atau voting sebagaimana diatur Pasal IX GATT.

Banyak isu legal yang masih perlu dibahas, antara lain apakah bentuk dokumen akhir keputusan waiver akan menjadi soft law seperti Doha Declaration 2001 atau dalam bentuk hard law. Isu lain adalah apakah dokumen final perlu diratifikasi seperti Protokol Amandemen Pasal 31bis TRIPS atau tidak.

Kompleksitas juga terlihat dari bahasan sejauh mana ruang lingkup waiver, apakah meliputi seluruh produk vaksin, obat, bahan baku obat dan alat kesehatan. Isu lain adalah apakah rejim hukum kekayaan intelektual yang diatur meliputi paten, desain, merek dan lain-lain.

Amerika Serikat sendiri di bawah Administrasi Biden-Harris, kendatipun mendukung pembahasan proposal waiver, hanya bersedia untuk membahas isu paten vaksin saja (Statement from Ambassador Katherine Tai on the Covid-19 Trips Waiver, 5 Mei 2021).  Selain itu, masih belum dapat diperoleh kejelasan bagaimana sikap senat Amerika atas isu waiver. Ada pandangan di dalam negeri Amerika Serikat bahwa waiver justru hanya akan menguntungkan Tiongkok dan Rusia.

Sikap Administrasi Biden-Harris atas isu waiver menarik untuk dikaji dari sudut politik dalam dan luar negeri Amerika Serikat. Kebijakan Biden-Harris berbeda jauh dengan Kebijakan Biden yang sangat keras menolak proposal waiver. Isu ini sebaiknya dikaji secara mendalam, termasuk juga dengan melihat persaingan geo-politik antara Amerika Serikat dengan Tiongkok dan Rusia terkait vaksin COVID-19.    

Pada tanggal 21 Mei 2021, kelompok co-sponsor telah menyampaikan revisi teks proposal waiver (Dok IP/C/W/699/Rev.1).  Revisi disusun untuk mempersempit ruang lingkup waiver yang dianggap masih terlalu luas. Beberapa revisi antara lain: (i) menambah elemen preamble mengenai mutasi virus SAR-CoV-2 dan munculnya varian baru yang belum diidentifikasi; (ii) ruang lingkup yang dibatasi pada “health products and technology”; dan (iii) menambahkan durasi jangka waktu minimum 3 (tiga) tahun periode waiver

Revised Text Proposal (Dok IP/C/W/669).  
Revised Text Proposal (Dok IP/C/W/669).  
Penyusunan periode minimal waktu 3 tahun dilakukan agar memenuhi syarat kurun waktu tertentu dengan batas waktu definit sebagaimana diatur Pasal IX ayat (4) GATT dan putusan Appellete Body pada kasus EC – Bananas III (Article 21.5 – Ecuador II) / EC Bananas III (Article 21.5 -US).  

Tampaknya ruang lingkup waiver dan jangka waktu waiver akan menjadi isu paling sulit dibahas dalam proses negosiasi.

Perlunya Kesiapan di Dalam Negeri

Sehubungan dengan hal-hal di atas, pekerjaan rumah terbesar kita adalah bagaimana memanfaatkan waiver sebesar mungkin bagi kepentingan nasional. Menurut penulis, di dalam negeri, kita perlu membahas beberapa hal, antara lain:

a. Menentukan program prioritas nasional industri nasional apa yang akan dikembangkan selama momentum waiver;
b. Menentukan persiapan hukum nasional apa yang diperlukan untuk memanfaatkan waiver di level nasional;
c. Mempersiapakan masukan bagi para tim perunding dalam proses negosiasi teks waiver di WTO agar sesuai dengan kebutuhan nasional.

Penulis mengusulkan agar salah satu program nasional yang dapat dirumuskan adalah memperkuat pembuatan Vaksin Merah Putih dengan seluruh platform teknologi yang ada. Sampai saat ini, Vaksin Merah Putih masih belum masuk clinical test tahap pertama. Tampaknya kita perlu segera mengejar ketertinggalan dari Vietnam dan Thailand.

Industri kesehatan nasional dapat memanfaatkan open access of information dan mengembangkan kolaborasi seluruh teknologi vaksin dalam kerangka waiver. Bilamana diperlukan, kita dapat mengembangkan kerja sama dengan pihak asing. Hal ini juga sudah dilakukan oleh Vietnam, Thailand dan Singapura. Terbukti kerja sama internasional dengan lembaga internasional yang kredibel dapat lebih cepat mendorong pembuatan vaksin di ketiga negara ASEAN tersebut.

Pengembangan vaksin bukan saja meliputi teknologi inactivated vaccine, tetapi juga vaksin berbasis replicating viral vector, non-replicating viral vector, protein rekombinan, DNA dan RNA/mRNA. Indonesia sebaiknya menguasai teknologi nano-particle lipid (NPL) yang berfungsi sebagai drug delivery system (DLS) vaksin mRNA. Konon katanya teknologi ini akan menjadi masa depan bio-teknologi dunia. Teknologi ini bukan hanya untuk vaksin COVID-19, tetapi juga dapat diterapkan bagi vaksin penyakit lainnya.

Dalam memaksimalkan manfaat waiver, pihak-pihak di Indonesia dapat melakukan beberapa hal, yaitu: (i) penelitian mandiri hasil paten pihak lain; (ii) menarik investasi dan kolaborasi penelitian vaksin dan obat COVID-19; atau (iii) kerja sama lembaga internasional.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan pengembangan industri vaksin dan obat COVID-19, perlu melihat beberapa faktor, antara lain:

a. apakah industri nasional memiliki appetite untuk memanfaatkan open knowledge hasil dari waiver;
b. political willing Pemerintah untuk memanfaatkan waiver dan koordinasi lintas kementerian / lembaga untuk menyusun program prioritas dan kegiatan;
c. kesiapan infrastuktur baik pendanaan, sistem hukum, iklim investasi dan kemampuan SDM;
d. kesiapan supply bahan baku vaksin dan bahan baku obat; dan
e. tidak terjebak dalam politisasi isu vaksin dan obat COVID-19.

Sehubungan dengan hal-hal di atas, penulis mengusulkan beberapa langkah-langkah untuk disusun bersama para pemangku kepentingan, antara lain:

a. Melakukan evaluasi atas progress Vaksin Merah Putih;
b. Menyusun road map khusus program target pengembangan teknologi vaksin dan obat COVID-19, termasuk membuka kemungkinan kerja sama kolaborasi penelitian dan pengembangan dengan peneliti asing untuk mendorong alih teknologi seperti dilakukan Thailand, Vietnam dan Singapura. Road Map meliputi jangka pendek, menengah dan panjang;
c. Melihat kembali apakah perlu mengubah total Program “Percepatan Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan” yang telah ditetapkan sejak tahun 2016; atau
d. Mencari alternatif-alternatif kreatif lainnya untuk membangun industri kesehatan nasional, khususnya vaksin, obat, bahan baku obat dan alat kesehatan.

Penutup

Mengingat mutasi virus SARS-CoV-2 terus terjadi, kita belum tahu sampai kapan pandemi COVID-19 akan berlangsung. Kita juga belum tahu apakah pandemi yang sama atau lebih parah akan terjadi lagi di masa depan. Namun kita tahu, lndonesia harus siap sedia untuk menghadapi segala kemungkinan ke depan. Oleh karena itu, percepatan kemandirian industri kesehatan national menjadi suatu keharusan.

Penulis harapkan tulisan ini dapat menggugah dan memotivasi kesiapan nasional untuk mengejar ketertinggalan penguasaan teknologi pembuatan vaksin COVID-19 dari negara ASEAN lainnya.

Dalam catatan penulis, di level nasional belum ada pembahasan program khusus untuk memanfaatkan waiver. Seluruh pemangku kepentingan nasional perlu segera mempersiapkan program nasional bila waiver diberlakukan. Semoga kita tidak hanya akan menjadi penonton bagaimana negara lainnya mengambil manfaat atas waiver.

Kendatipun kita belum tahu apakah WTO dapat berhasil mengadopsi teks proposal waiver dan bagaimana bentuk akhir keputusannya, namun penulis berpandangan bahwa investasi, dan kolaborasi penelitian dan pengembangan tetap harus menjadi prioritas.

Seberapa canggihnya para negosiator kita membahas proposal waiver di WTO, tanpa adanya kesiapan dalam negeri maka proses diplomasi di Jenewa tidak akan dirasakan betul manfaatnya. Diplomasi memang sejatinya sangat tergantung dari kesiapan dalam negeri.

Indonesia seharusnya mampu bersaing untuk menjadi basis produksi vaksin, obat, bahan baku obat dan alat kesehatan di kawasan Asia Tenggara. Indonesia sebaiknya mengembangkan investasi dan kolaborasi riset pengembangan vaksin, obat, bahan baku obat dan alat kesehatan. Kita perlu mengejar ketinggalan dari VietNam dan Thailand.

Erik Mangajaya Simatupang, pengamat isu kekayaan intelektual dan anggota Asosiasi Pengajar Hukum Kekayaan Intelektual Indonesia (APHKI)

Seluruh pendapat dalam tulisan ini adalah tanggung jawab pribadi penulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun