Mohon tunggu...
Erick M Sila
Erick M Sila Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Menulis adalah mengabadikan diri dalam bentuk yang lain di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Belajar dari Nikmatnya Secangkir Kopi #9

15 Januari 2024   13:30 Diperbarui: 15 Januari 2024   13:46 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BAB 9 : KISAH ROMANTIS

Jari-jari Aditya menelusuri tepi cangkir porselennya yang halus, dentingan samar bergema pelan di tengah hiruk pikuk kafe. Dia mengangkat pandangannya, menangkap cahaya pagi yang menari di atas uap yang mengepul dari kopi yang baru diseduh---sebuah visi seni yang fana. Agnes duduk di hadapannya, potongan rambut pixie-nya membingkai kilau ceria di matanya yang mencolok, yang berkilauan dengan energi dinamis dari tempat trendi yang mereka pilih untuk pertemuan mereka.

"Menarik sekali bukan," renung Aditya, aroma kaya biji panggang menyelimuti mereka, "bagaimana sesuatu yang biasa seperti kopi bisa diubah menjadi sebuah pengalaman? Hampir seperti sebuah ritual." Suaranya bergemuruh pelan, soundtrack lembut musik jazz lembut yang diputar sebagai latar belakang.

Agnes tersenyum, sedikit memiringkan kepalanya, cangkirnya digendong di antara jari-jarinya yang ramping. "Tentu saja. Ini seperti setiap cangkir menceritakan sebuah kisah," jawabnya, kata-katanya melukiskan udara seperti sapuan warna di atas kanvas.

Dia memperhatikannya menyesap kopinya, lekuk halus bibirnya memberi kehangatan di bawahnya. "Kau tahu," dia memulai, ragu-ragu sejenak sambil mengumpulkan pikirannya, "akhir-akhir ini aku menghabiskan banyak waktu untuk merenung."

"Refleksi itu bagus," desaknya lembut, mendorongnya untuk melanjutkan. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"

Aditya menarik napas dalam-dalam, membiarkan aroma bubuk kopi yang menenangkan menjangkitnya. "Saya mulai menghargai kesenangan sederhana," akunya. "Seperti ini---" Dia menunjuk ke sekeliling kafe, lalu kembali ke kopinya, "kompleksitas yang tersembunyi di balik kesederhanaan. Rasanya, suasananya, kebersamaannya..."

"Kenikmatan sederhana memiliki kedalamannya masing-masing," tambah Agnes, matanya tidak pernah lepas dari matanya. "Tidak sesederhana kelihatannya, bukan?"

Dia terkekeh, menemukan penghiburan dalam pemahaman bersama yang tampaknya muncul di antara mereka. "Tidak, tidak," Aditya mengiyakan, rasa hangat di dadanya bukan hanya berasal dari minuman yang diminumnya. "Ini merupakan perjalanan penemuan jati diri bagi saya, menyadari bahwa setiap momen kecil memiliki alam semesta tersendiri. Saat-saat seperti ini," tangannya secara halus memberi isyarat di antara momen-momen tersebut, "itu penting."

"Kedengarannya perjalanan yang cukup panjang," kata Agnes, nada mainnya memungkiri ketertarikan tulus yang terpancar darinya. "Saya kira kopi telah menjadi teman setia selama ini?"

"Lebih dari yang bisa kaubayangkan," akunya, tawa lembut keluar darinya. "Kopi telah menjadi meditasi saya, tombol jeda saya di dunia yang sering kali bergerak terlalu cepat. Kopi mengajari saya untuk menikmati---untuk benar-benar menikmati---setiap tegukan, setiap detik."

"Ini untuk menikmati bersama kalau begitu," Agnes bersulang, mengangkat cangkirnya ke arah cangkirnya dengan keanggunan yang seolah menyibak tabir kehidupan sehari-hari, mengungkapkan keajaiban dalam hal biasa.

Gelas mereka bertemu dengan bunyi lonceng lembut, sebuah pesan janji tertinggal di antara mereka. Aditya mendapati dirinya tersesat di kedalaman tatapan Agnes, tatapan yang menyimpan cerita yang belum diceritakan dan petualangan yang menunggu untuk terungkap. Dan saat mereka minum, dunia di luar dinding kafe terus berputar, namun di dalam, waktu melambat hingga cukup bagi dua jiwa untuk terhubung sambil menikmati minuman paling sederhana, dalam momen yang terasa seperti sapuan kuas pertama di atas kanvas kosong.

Gemuruh di sekitar kafe menyusut menjadi bisikan pelan saat Agnes mencondongkan tubuh ke depan, matanya memantulkan kerlap-kerlip inspirasi bagaikan bintang yang tertangkap di langit malam. "Hidup," dia memulai, suaranya seperti sapuan kuas di atas kanvas keheningan, "bukankah ini seperti seni? Tak terduga, penuh semangat, penuh peluang untuk menciptakan sesuatu dari ketiadaan."

Aditya, yang terpikat oleh semangat dalam nada bicaranya, hanya bisa mengangguk, cangkir kopinya digendong di antara kedua tangannya seperti piala suci.

"Setiap hari," lanjut Agnes, "aku bangun dan berpikir, 'Agnes, petualangan apa yang menantimu hari ini?' Ini tentang menjadi cukup berani untuk mengejar kemungkinan-kemungkinan yang diabaikan kebanyakan orang." Dia memutar jarinya ke udara seolah menelusuri spiral galaksi yang tak terlihat. "Ini soal risiko, Aditya. Tanpanya, kita hanyalah sosok statis dalam lukisan orang lain."

"Risiko," ulangnya sambil berpikir, merasakan kata itu menetap di dadanya seperti sebuah misteri yang belum terkuak. Sebagian dari dirinya, bagian yang dengan cermat mengukur ampas kopi setiap pagi, menolak anggapan tersebut. Namun bagian lain---bagian yang perlahan bangkit---sangat ingin melompat ke hal yang tidak diketahui.

"Omong-omong," kata Agnes, bibirnya membentuk senyuman nakal, "bagaimana kalau kita memulai petualangan kecil sekarang?"

Detak jantungnya bertambah cepat saat mendengar tawaran itu. "Sekarang?" Kata itu terasa janggal di lidahnya, seperti langkah canggung pertama di luar jalan yang telah dilalui dengan baik.

"Ya, sekarang," dia menegaskan, sambil bangkit dari kursinya dengan gerakan yang lancar seperti seorang penari. "Ada tempat yang saya temui dalam salah satu safari perkotaan saya---sebuah gang yang dipenuhi grafiti, di mana denyut nadi kota terasa hidup."

Telapak tangan Aditya menempel pada permukaan meja yang sejuk saat ia berdiri, meninggalkan keamanan ruang bersama mereka demi ketidakpastian yang menanti di balik pintu kaca kafe.

Mereka melintasi jalanan yang ramai, permadani suara dan warna yang semarak menyelimuti mereka. Indranya menajam, menangkap potret kehidupan dalam berbagai bentuknya---hirupnya jajanan kaki lima di warung terdekat, gelak tawa anak-anak yang mengejar merpati, kaleidoskop wajah-wajah yang kabur.

"Ini," Agnes mengumumkan ketika mereka berbelok di tikungan, tangannya bertumpu ringan pada lengannya untuk membimbingnya ke sebuah gang yang menganga terbuka seperti jalan rahasia.

Dinding-dinding di sini penuh dengan kesenian, perpaduan warna-warni yang menceritakan kisah-kisah dalam puisi bisu. Tatapan Aditya menelusuri kontur bentuk dan bayangan, masing-masing mural merupakan bukti jantung kota yang tersembunyi---jantung yang berdetak seirama dengan denyut nadinya yang tiba-tiba penuh petualangan.

"Wow," bisiknya, membiarkan dirinya hadir sepenuhnya di dunia terpencil ini.

"Luar biasa, bukan?" Suara Agnes menggema lembut keakraban penemuan mereka. "Ada begitu banyak kehidupan di sini, begitu banyak gairah. Ini membuat Anda menyadari betapa luasnya keberadaan kita---berapa banyak lapisan yang perlu diungkap."

Aditya mengangguk, monolog batinnya merupakan pusaran kekaguman terhadap jiwa liar Agnes. Dia mengamatinya saat dia bergerak melintasi ruang angkasa, bahasa tubuhnya melambangkan kebebasan dan keberanian yang dia dukung. Pada momen-momen tersebut, ia tidak hanya melihat keindahan gang tersebut, namun juga cerminan jiwa Agnes---cermin penjelajahan tanpa rasa takut dan ekspresi tanpa penyesalan.

"Terima kasih telah menunjukkan ini padaku," katanya dengan tulus, kata-katanya diwarnai dengan rasa takjub yang baru ditemukan.

"Berterimakasihlah padaku dengan berjanji mencari lebih banyak gang," jawab Agnes, matanya berbinar. "Lebih banyak risiko. Lebih banyak nyawa."

"Lebih banyak gang," dia setuju, senyum merekah di wajahnya seperti awal pemahaman baru. Dan saat mereka berlama-lama di antara gema petualangan para pemimpi lainnya, Aditya merasakan batas-batas dunianya meluas, didorong keluar oleh kekuatan lembut hati Agnes yang suka berpetualang.

Aroma batu kuno dan lumut masih melekat di udara saat Aditya dan Agnes turun ke dalam perut stasiun kereta bawah tanah tua yang terlupakan, peninggalan zaman dulu. Cahaya redup dari atas menyaring melalui celah-celah, memancarkan cahaya halus ke wajah Agnes saat dia memimpin jalan. Tangannya, hangat dan meyakinkan, menggenggam tangan Aditya---membimbingnya lebih jauh ke dalam ruang yang luas.

"Lihat ini," desahnya, suaranya sedikit bergema saat mereka tiba di sebuah danau bawah tanah, permukaannya berkaca-kaca dan tidak terganggu. Air memantulkan cahaya yang terfragmentasi, menciptakan konstelasi bintik-bintik bercahaya yang menari-nari di dinding.

"Cantik," gumam Aditya, pandangannya tertuju pada tablo tenang di hadapannya. Danau itu bagaikan cermin bagi jiwa, mengungkapkan apa yang sering tersembunyi di bawah permukaan.

Agnes melepaskan tangannya dan duduk di tepi peron, kakinya menjuntai di atas air. "Kau tahu, aku datang ke sini saat aku merasa tersesat," akunya, suaranya nyaris berbisik. "Ketika beban dari apa yang saya inginkan berbenturan dengan siapa saya."

Aditya bergabung dengannya, bahu mereka bersentuhan. Ini adalah momen yang penuh dengan kerentanan---sebuah momen yang mengupas lapisan-lapisan di baliknya, memperlihatkan inti ketakutan manusia. "Kadang-kadang," dia memulai, suaranya diwarnai keraguan, "aku khawatir pencarianku akan makna hanyalah...sebuah pelarian. Bahwa aku menggunakannya untuk menghindari bagian-bagian kehidupan yang tidak dapat aku kendalikan."

"Bukankah itu yang kita semua lakukan?" Agnes menoleh ke arahnya, matanya mencari matanya dalam cahaya remang. "Kita semua berusaha menemukan tempat kita di alam semesta yang luas ini, untuk memahami kekacauan yang terjadi."

"Namun kamu tampak begitu berani," kata Aditya, mengagumi kekuatan tatapannya.

"Penampilan bisa menipu," jawabnya sambil tertawa pelan. "Saya mengambil risiko karena saya juga takut---takut akan kehidupan yang belum dijelajahi, akan impian yang belum dikejar."

Bayangan mereka bercampur di permukaan air, dua jiwa terjalin karena pengakuan bersama. Di dunia bawah tanah ini, Aditya merasakan hubungan dengan Agnes yang sedalam dan misterius bagaikan air di bawahnya.

"Ayo," katanya tiba-tiba, berdiri dan mengulurkan tangannya padanya. "Izinkan aku berbagi sesuatu denganmu juga. Sesuatu yang menjadi dasar bagiku."

Mereka muncul dari kedalaman yang gelap, meninggalkan bisikan sunyi di bawah tanah. Kota menyambut mereka dengan kesibukan dan kebisingannya, sangat kontras dengan keakraban tenang yang mereka alami di bawah.

Aditya membawa Agnes ke sebuah kafe kecil yang terletak di antara gedung-gedung tinggi. Aroma biji kopi panggang menyelimuti mereka saat mereka melangkah masuk, sebuah janji indra akan kenyamanan dan kehangatan.

"Selamat datang di tempat perlindunganku," kata Aditya sambil menunjuk ke arah mesin espresso yang berkilauan. Tangannya bergerak dengan mudah, mengukur dan menggiling kopi sambil menjelaskan setiap langkah kepada Agnes. "Membuat kopi adalah sebuah seni, sebuah ritual. Ini tentang menemukan keseimbangan sempurna---seperti kehidupan, bukan begitu?"

Agnes memperhatikan, terpikat oleh ketelitian dan kehati-hatian yang ia curahkan dalam setiap gerakan. Uapnya mendesis, dan cairan kental berwarna gelap mengalir ke dalam cangkir dengan kedalaman dan kerumitan yang menjanjikan.

"Setiap cangkir menceritakan sebuah kisah," lanjut Aditya sambil menyerahkan kopi yang baru diseduh. "Ini adalah kisah asal usul, perjalanan, dan pada akhirnya, tentang tangan yang menciptakannya."

Dia menyesapnya, rasa terbentang di langit-langit mulutnya, permadani yang ditenun dari nada pahit dan manis. "Ini luar biasa," katanya, matanya mencerminkan keajaiban yang sama yang dilihatnya di danau bawah tanah. "Kamu telah mengubah sesuatu yang biasa menjadi sesuatu yang luar biasa."

Aditya tersenyum, merasakan gelombang kebanggaan. Saat mereka menyesap kopi, dunia luar memudar. Yang tersisa hanyalah dua roh yang sama, berbagi kesenangan sederhana yang telah membawa mereka lebih dekat---lebih dekat satu sama lain, dan lebih dekat untuk memahami makna hidup.

Kafe itu ramai dengan dengungan obrolan tengah hari, sebuah simfoni denting cangkir dan piring. Aditya duduk di kursi mewah, aroma biji kopi panggang yang familiar menyelimuti dirinya seperti selendang yang menenangkan. Tatapannya terpaku pada kanvas yang terbungkus Agnes yang meluncur ke seberang meja.

"Untukmu," katanya, suaranya terdengar seperti sapuan kegembiraan melawan ketenangan penantian pria itu.

Jari-jarinya menelusuri tepi kain, dengan hati-hati membuka lapisannya untuk memperlihatkan karya seni di bawahnya. Itu adalah sebuah lukisan---perpaduan abstrak warna coklat tua dan emas yang berputar bersama dalam sebuah tarian yang intim seperti percakapan mereka. Di tengahnya, sebuah cangkir espresso yang lembut, uap yang mengepul darinya membentuk bentuk-bentuk halus yang mengisyaratkan tawa dan bisikan mimpi mereka bersama.

"Agnes, ini... indah sekali," gumam Aditya tak mampu mengalihkan pandangan dari seni yang begitu gamblang menangkap esensi hubungan mereka.

"Anggap saja sebagai refleksi," jawabnya sambil menyelipkan sehelai rambut ke belakang telinganya. "Itulah cara saya memandang kami---perpaduan cita rasa individu yang menciptakan sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih kaya."

Aditya merasakan kehangatan menjalar di dadanya, gema dari kehangatan yang menyelimuti setiap goresan di kanvas. Namun di tengah bara rasa syukur, sebuah pertanyaan tak terucap muncul dalam dirinya. Dia bergeser dari kursinya, pikirannya mengarungi lapisan emosinya.

"Agnes, kapan kita menarik garis batasnya?" dia bertanya, keragu-raguan mengaburkan kata-katanya. "Antara siapa kita bersama dan siapa yang perlu kita pisahkan?"

Dia memiringkan kepalanya, matanya yang tajam sedikit menyipit. "Apa maksudmu?"

"Maksudku," dia memulai, lalu berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat. "Bukankah ada risiko kehilangan diri kita sendiri? Membiarkan 'kita' menutupi 'aku'?"

Agnes bersandar, kursinya berderit pelan karena berat badannya. Jari-jarinya mengetuk meja kayu dengan irama hening, merenungkan pertanyaannya. "Apa maksudmu bersamaku menghambatmu?"

"Tidak, tidak, tidak sama sekali." Tangan Aditya terulur, ragu-ragu. "Tetapi bukankah pertumbuhan pribadi sama pentingnya dengan pertumbuhan bersama? Bagaimana kita memelihara keduanya tanpa mengabaikan salah satu hal?"

Keheningan menyelimuti mereka, berat dan kental seperti uap yang mengepul dari cangkir kopi mereka. Aditya memperhatikan wajahnya, sebuah kanvas terbuka tempat segudang emosi bermain petak umpet. Dia bisa melihat pikirannya melukiskan alur pemikiran, memadukan keraguan dengan pemahaman.

"Aditya," akhirnya dia berkata, suaranya mantap namun lembut, "kita ini seniman, bukan? Kita mencipta, kita bertransformasi. Bukankah hal yang sama juga berlaku untuk hidup kita? Untuk cinta kita?"

"Ya tapi-"

"Cinta tidak seharusnya menjadi sangkar," selanya, bibirnya membentuk setengah senyuman, setengah cemberut. "Seharusnya itu adalah langit---luas dan tak terbatas. Jika kita memang ditakdirkan demikian, kita akan menemukan keseimbangan."

Aditya membiarkan kata-katanya tenang, hatinya seperti roda tembikar yang berputar perlahan di bawah sentuhan lembutnya. Pikirannya berputar-putar, mempertimbangkan sudut pandangnya, merasakan kebenaran di dalamnya namun bergulat dengan rasa tidak amannya sendiri.

"Baiklah," dia mengakui, suaranya nyaris berbisik. Kalau begitu, mari kita temukan langit kita.

Mereka duduk di sana, keheningan bersama merupakan bukti kompleksitas dua jiwa yang mencari harmoni. Dan saat mereka menyesap kopi, dunia di luar kembali melanjutkan langkahnya, sebuah pengingat bahwa kehidupan, seperti halnya percakapan mereka, adalah perpaduan rumit antara pahit dan manis.

Bayangan Aditya bergetar di jendela kedai kopi yang gelap, bayangannya terdistorsi oleh rintik-rintik hujan yang mengubah dunia luar menjadi kanvas yang dilumuri warna abu-abu dan biru yang melankolis. Lonceng di atas pintu menandakan dia masuk, suaranya sama familiarnya dengan aroma kaya kacang panggang yang menyelimutinya seperti selendang yang menenangkan. Dia menemukan Lilis di belakang meja kasir, rambutnya yang bergelombang mengalir seperti air terjun di atas bahu celemeknya, cahaya hangat dari mesin espresso memancarkan cahaya tembaga di kedalamannya.

"Aditya, semuanya baik-baik saja?" Lilis bertanya, matanya mencerminkan kekhawatiran di balik alisnya yang berkerut saat dia melihat badai muncul di tatapannya.

Dia ragu-ragu sejenak, jari-jarinya menelusuri tepi cangkir kosong di konter---sebuah awal dari kegelisahan di hatinya. "Aku butuh saran, Lilis."

"Sial," katanya sambil mencondongkan tubuh ke depan, posturnya menunjukkan undangan terbuka untuk berbagi beban.

"Agnes dan aku... kita berada di persimpangan jalan," dia memulai, suaranya menembus dengungan lembut toko. "Dia melihat cinta sebagai sebuah langit terbuka, tapi aku takut kakiku terlalu membumi untuk melakukan lompatan itu bersamanya."

Lilis memiringkan kepalanya, rambut panjangnya menyentuh meja. "Suatu kali, saya juga ditambatkan," katanya, nadanya merupakan campuran nostalgia dan kebijaksanaan. "Tetapi hubungan---seperti halnya kopi---membutuhkan kesabaran dan keberanian untuk membiarkan mereka bernafas, untuk berkembang dengan cita rasa mereka sendiri."

Aditya menyerap kata-katanya, introspeksinya menjadi lautan pikiran yang berputar-putar. Namun, bagaimana Anda menyeimbangkannya? Pertumbuhan pribadi dengan impian orang lain?

"Dengan memahami bahwa pertumbuhan tidak linier atau sendirian," saran Lilis, tanpa sadar jari-jarinya memoles sendok hingga bersinar jernih. "Ini tentang berbagi perjalanan, bukan hanya tujuan. Kompromi tidak berarti kehilangan diri sendiri; itu berarti merancang jalan bersama---jalan yang memungkinkan Anda berdua untuk berkembang."

Bel berbunyi lagi saat Aditya pergi, gaung nasihat Lilis bergema di langkahnya.

***

"Agnes," suara Aditya membawa nada kerentanan saat mereka duduk di tepi air mancur kota, di mana air menari seperti perak cair di bawah tatapan bulan. "Aku sudah berpikir..."

"Tentang kami?" Agnes menyela, matanya memantulkan kolam yang berkilauan, konstelasi emosi yang berkelap-kelip di dalam.

"Ya," akunya, sambil menggenggam tangannya, kehangatannya sangat kontras dengan udara malam yang sejuk. "Aku ingin menjadi langitmu, luas dan tak terbatas, tapi aku perlu tahu bahwa kita bisa terbang bersama tanpa kehilangan pandangan terhadap bumi di bawah."

Bibir Agnes terbuka, napasnya bagaikan bisikan kabut di tengah segarnya suasana. "Terbang bukan berarti melepaskan, Aditya," ucapnya sambil meremas tangannya. "Kami percaya bahwa kami memiliki sayap yang cukup kuat untuk membawa kami berdua, bahkan melewati badai."

"Bisakah kita menjanjikan hal itu?" dia bertanya, matanya menatap mata wanita itu---seorang pencari kepastian di tengah ketidakpastian.

"Mari kita berjanji untuk mencoba," jawabnya, suaranya tegas namun lembut, seperti melodi yang memahami ritme keraguannya. "Untuk saling menopang ketika salah satu dari kita terputus, untuk mengarungi arus bersama-sama."

"Kalau begitu, itulah kompromi kita," Aditya menyetujui, merasakan harapan yang tidak berbobot, mengangkat sudut mulutnya menjadi senyuman kecil yang tulus. "Untuk mendukung penerbangan satu sama lain, tidak peduli seberapa tinggi atau jauhnya."

Mereka bersandar satu sama lain, malam menyelimuti mereka dalam keheningan yang hening, nafas mereka yang bersama menjalin permadani cinta dan komitmen---sebuah bukti dua hati yang belajar berdetak dalam simfoni, selaras dengan keyakinan bahwa bersama-sama, mereka memang bisa menemukan langit mereka. .

Aroma biji kopi yang baru digiling mengikuti dentingan porselen saat Aditya menyelaraskan cangkir-cangkir tersebut dengan presisi di atas meja kayu reklamasi. Kafenya nyaman, sebuah kantong rahasia waktu yang tersimpan di jantung kota yang ramai. Cahaya redup memancarkan cahaya hangat pada berbagai nuansa cokelat yang menghiasi ruangan, mulai dari foto-foto berwarna sepia di dinding hingga pusaran karamel di setiap latte.

"Tutup matamu," perintahnya pada Agnes, suaranya terdengar seperti gumaman lembut yang bercampur dengan senandung lembut melodi akustik yang diputar di latar belakang.

Dia menurut, rambutnya yang berpotongan pixie menangkap cahaya saat kepalanya sedikit miring ke belakang, sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman. Tangan Aditya bergerak dengan hati-hati, menuangkan air panas secara perlahan dan mantap ke atas bubuk kopi. Dia menyaksikan mekarnya bunga---gelap dan kaya, alam semesta yang mengembang di dalam cangkir.

"Bolehkah aku membukanya sekarang?" Agnes bertanya, kata-katanya diwarnai dengan ketidaksabaran yang lucu.

"Belum," jawabnya sambil meletakkan teko kopinya. "Sekarang, tarik napas."

Dia mengamatinya menarik napas dalam-dalam, dadanya terangkat saat aroma kuat menyelimuti mereka berdua, permadani kenangan yang dijalin oleh kenikmatan sederhana dari kecintaan mereka pada kopi. Itu adalah perpaduan yang sama yang mereka nikmati bersama saat pertama kali bertemu---roasting medium dengan aroma hazelnut dan sedikit jeruk.

"Oke, sekarang," katanya.

Matanya terbuka lebar, menyesuaikan diri dengan pemandangan di hadapannya---sederetan hidangan favorit mereka disertai dengan secangkir kopi yang mengepul. Dia mengulurkan tangan, jari-jarinya menyentuh jari-jarinya saat dia mengambil cangkir, tatapannya melembut karena kasih sayang.

"Aditya, ini... seperti mengenang kembali saat kita bertemu," kagumnya.

"Terkadang, kembali ke awal mula membantu kita mengingat alasan kita melakukan perjalanan ini," jelasnya sambil menatap ke arahnya. "Ini tentang menemukan kegembiraan di saat-saat sederhana."

Saat mereka menyesap kopi, kafe mulai memudar, digantikan oleh dunia intim yang dibuat hanya untuk dua orang. Setiap rasa adalah penemuan kembali, setiap pandangan adalah kata yang tak terucapkan.

"Ingat risiko yang Anda bicarakan? Bagaimana risiko tersebut membentuk kehidupan kita?" Aditya memberanikan diri, suaranya hampir berbisik.

Agnes mengangguk, matanya memantulkan kehangatan ruangan yang remang-remang itu.

"Yah," lanjutnya sambil meletakkan cangkirnya, "kurasa sudah saatnya kita menghadapi salah satu cangkirku."

Dia menelan ludahnya dengan keras, tenggorokannya tercekat karena ketakutan. "Ketakutanku akan kehilangan diriku sendiri... terhanyut dalam sesuatu yang berada di luar kendaliku."

Agnes mengulurkan tangan ke seberang meja, tangannya menutupi tangan pria itu. "Dan saya," akunya, "adalah kemungkinan yang terlalu berat untuk ditangani seseorang, menjadi badai dan bukannya pelabuhan yang aman."

Mereka duduk di sana, rentan dalam pengakuan mereka, keheningan di antara mereka tidak kosong tetapi dipenuhi dengan pemahaman baru. Itu adalah sebuah tantangan yang terbuka, sebuah tantangan yang dapat memutuskan ikatan atau memperkuat mereka untuk menanggung kesengsaraan hidup.

"Kalau begitu mari kita jadi badai bersama-sama," usul Aditya, sebuah tekad baru yang menerangi wajahnya. "Mari kita percaya bahwa kita dapat melewatinya, selama kita memiliki satu sama lain."

"Setuju," Agnes tersenyum, meremas tangannya, perjanjian diam yang disegel dengan sentuhan kulit.

Bersama-sama, mereka mengangkat cangkir mereka, bersulang atas keindahan kerentanan dan kekuatan yang ditemukan dalam persatuan. Saat mereka minum, dunia luar berlalu dengan cepat, namun di dalam, waktu berhenti, menghormati betapa berharganya dua jiwa yang berani tumbuh lebih dekat di tengah angin puyuh keberadaan.

Uap dari kopi berputar ke atas, terjalin dengan cahaya lembut yang menembus jendela besar kafe. Aditya menyaksikannya menghilang ke udara, seperti kekhawatirannya sebelumnya. Aroma kaya kacang yang baru digiling masih melekat, menjadi ikatan sensorik dengan dunia di sekitarnya.

"Kadang-kadang," dia memulai, suaranya berbisik pelan di atas denting porselen di atas meja kayu, "Aku bertanya-tanya apakah selama ini aku salah memandang kehidupan."

Agnes mendongak dari cangkirnya, matanya memantulkan tarian cahaya halus di kedalamannya. "Bagaimana?"

"Sepertinya itu adalah sesuatu yang harus dikelola, dikendalikan." Dia berhenti, menelusuri tepi cangkirnya dengan jari yang berpikir. "Tetapi bersamamu, rasanya lebih seperti...suatu seni. Sesuatu yang liar dan indah---sesuatu yang harus dialami, bukan ditahan."

Bibirnya membentuk senyuman yang menyimpan kebijaksanaan dari kanvas yang tak terhitung jumlahnya. "Hidup *adalah* seni, Aditya. Berantakan, tidak sempurna, dan dapat ditafsirkan. Itu yang membuatnya berharga."

Dia menghela nafas yang tidak dia sadari telah ditahannya, dan dalam embusan napas itu, dia menyerah pada kebenaran kata-katanya. "Aku ingin kita saling menginspirasi, Agnes. Untuk tumbuh, bukan karena hubungan kita, tapi karena hubungan itu."

"Dan kami akan melakukannya," dia meyakinkannya, mengulurkan tangan untuk meletakkan tangannya di atas tangannya. Ibu jarinya menyentuh kulitnya, sebuah gerakan sederhana yang penuh dengan janji.

Mereka kemudian terdiam dalam keheningan yang nyaman, hanya diselingi oleh suara lembut kafe---gesekan lembut kursi, percakapan teredam dari pengunjung lain yang tenggelam dalam dunia mereka sendiri. Aditya menemukan kenyamanan dalam keheningan, pikirannya berkembang seperti uap di atas cangkir mereka.

Saat dia menyesapnya lagi, rasa kopi yang kuat menyelimuti indranya, membumi. Dia menikmati kerumitannya, setiap nada mengingatkan seberapa jauh kemajuan yang telah dia capai---dari renungan sendirian hingga wahyu yang dibagikan.

"Ingat pertama kali kita membicarakan tentang arti hidup?" Agnes bertanya, tatapannya membawa sedikit nostalgia.

Aditya terkekeh. "Di tempat seperti ini. Kamu menantang setiap gagasanku."

"Hanya untuk melihatmu membela mereka dengan penuh semangat," balasnya bercanda. "Dan sekarang lihatlah kami---kami bersama-sama mendefinisikan makna hidup."

Di matanya, dia melihat bukan hanya pertumbuhannya yang terpantul, tapi juga pertumbuhan mereka sebagai jalinan pengalaman yang tak terpisahkan. Itu adalah permadani momen, ada yang bersemangat, ada yang tenang, semuanya sama pentingnya.

"Hidup," katanya, "memiliki rasa yang berbeda jika dibagikan. Mirip seperti kopi ini, bukan?"

"Lebih kaya, lebih dalam," Agnes menyetujui. "Lebih kompleks."

Mereka mengangkat cangkir mereka lagi, kehangatan cairan merupakan bukti perjalanan mereka. Dalam diri satu sama lain, mereka telah menemukan semangat yang sama, kaki tangan dalam upaya memahami dunia yang sering kali sulit dijelaskan.

"Ini untuk cinta," bisik Aditya, hatinya membengkak karena rasa kepuasan yang dulunya dia pikir tidak mungkin tercapai. "Dan keindahan yang terungkap dalam segala hal."

"Ini untuk kita," Agnes menggema, suaranya mantap dan pasti.

Mereka minum, dan pada saat itu, alam semesta tampak berkontraksi hingga tidak ada apa pun selain mereka berdua. Cinta adalah jangkar mereka, kompas mereka, bintang penuntun mereka. Dan seiring dengan lenyapnya tetes-tetes kopi terakhir dari cangkir mereka, keraguan yang masih ada mengenai jalan yang mereka lalui---bersama pun ikut hilang.

Aroma kacang sangrai masih melekat di udara, belaian penciuman familiar yang seolah selalu menggugah renungan terdalam Aditya. Di seberangnya, Agnes membuat sketsa pola kosong di serbetnya, kontur sudut potongan rambut pixie membingkai ekspresi penuh perhatiannya. Kafe sudah sepi, pengunjung asyik dengan dunianya masing-masing---laptop terbuka, earphone terpasang, kopi di tangan.

"Aditya," Agnes memulai, matanya terangkat menatap Aditya dengan intensitas yang sungguh-sungguh, "apa yang kamu lihat ketika membayangkan masa depanmu?"

Jari-jarinya menelusuri tepi cangkirnya yang kosong, menelusuri tepi cangkirnya yang halus saat dia memikirkan pertanyaan itu. "Aku melihat kehidupan di mana setiap hari berarti," katanya perlahan, "di mana tindakan sederhana yaitu bangun tidur saja sudah cukup untuk merasa bersyukur." Dia berhenti sejenak, mempertimbangkan bobot kata-katanya. "Tapi aku juga melihat... kita. Belajar dari satu sama lain, saling menantang."

Agnes tersenyum lembut, tatapannya tak tergoyahkan. "Aku juga menginginkannya. Eksistensi yang dilukis dengan guratan tebal dan garis halus, sebuah mahakarya yang kita ciptakan bersama." Dia mencondongkan tubuh ke depan, kilatan cahaya petualangan menerangi matanya. "Bayangkan tempat-tempat yang bisa kita kunjungi, kanvasnya belum tersentuh warna."

Dia mengangguk, pikirannya bercabang seperti pola rumit seni latte yang mereka berdua kagumi. Tindakan berbagi mimpi itu sendiri merupakan sebuah sentuhan intim pada hubungan mereka---perpaduan halus antara kerentanan dan kekuatan.

"Ayo kita buat perjanjian," saran Aditya sambil mengulurkan tangan ke seberang meja untuk meraih tangannya, merasakan kehangatan kulitnya. "Mari kita berjanji untuk tidak pernah berhenti menjelajah---baik dunia di sekitar kita maupun kedalaman diri kita."

"Kesepakatan." Agnes meremas tangannya, ibu jarinya menelusuri buku-buku jarinya. "Dan mari kita sepakat untuk tidak pernah melupakan passion kita masing-masing. Kecintaanmu pada kopi, karya seniku---itu bukan sekedar minat; tapi merupakan perpanjangan dari siapa kita."

"Sangat." Hatinya membengkak dengan pemahaman bersama bahwa cinta mereka bisa menjadi tempat perlindungan bagi usaha solo mereka. Dalam benaknya, ia membayangkan rumah masa depan mereka, sebuah ruangan yang bergema dengan suara dentingan cangkir dan bisikan kritik, sebuah simfoni harmonis dari pencarian mereka masing-masing.

"Mungkin suatu hari nanti, kita akan punya kafe kecil sendiri," renung Aditya, mimpinya terlukis dengan warna cerah di balik kelopak matanya. "Sudut dunia tempat setiap pengunjung menemukan kenyamanan dalam uap minuman mereka, tempat lukisan Anda menghiasi dinding, menceritakan kisah tanpa kata-kata."

"Kopimu akan menjadi yang terbaik di kota ini," kata Agnes, sebuah tantangan lucu yang sesuai dengan nada bicaranya. "Dan saya akan mengadakan pameran di sana, di antara wewangian yang menginspirasi kenyamanan dan kreativitas."

"Kalau begitu, sudah beres." Dia berdiri, menariknya dengan lembut untuk berdiri. Bersama-sama, mereka melangkah keluar menuju senja, lampu-lampu kota mulai berkelap-kelip bagaikan bintang di kejauhan di langit yang gelap.

Saat mereka berjalan, bahu sesekali bergesekan, keheningan nyaman menyelimuti mereka---ruang bersama tempat mimpi menari bebas di antara jari-jari mereka yang saling bertautan. Setiap langkah adalah sebuah komitmen; setiap tarikan napas, sumpah diam-diam untuk mendukung dan memelihara---bukan hanya aspirasi mereka, tapi cinta yang membuat segala hal layak untuk dikejar.

BERSAMBUNG ....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun