Agnes mengulurkan tangan ke seberang meja, tangannya menutupi tangan pria itu. "Dan saya," akunya, "adalah kemungkinan yang terlalu berat untuk ditangani seseorang, menjadi badai dan bukannya pelabuhan yang aman."
Mereka duduk di sana, rentan dalam pengakuan mereka, keheningan di antara mereka tidak kosong tetapi dipenuhi dengan pemahaman baru. Itu adalah sebuah tantangan yang terbuka, sebuah tantangan yang dapat memutuskan ikatan atau memperkuat mereka untuk menanggung kesengsaraan hidup.
"Kalau begitu mari kita jadi badai bersama-sama," usul Aditya, sebuah tekad baru yang menerangi wajahnya. "Mari kita percaya bahwa kita dapat melewatinya, selama kita memiliki satu sama lain."
"Setuju," Agnes tersenyum, meremas tangannya, perjanjian diam yang disegel dengan sentuhan kulit.
Bersama-sama, mereka mengangkat cangkir mereka, bersulang atas keindahan kerentanan dan kekuatan yang ditemukan dalam persatuan. Saat mereka minum, dunia luar berlalu dengan cepat, namun di dalam, waktu berhenti, menghormati betapa berharganya dua jiwa yang berani tumbuh lebih dekat di tengah angin puyuh keberadaan.
Uap dari kopi berputar ke atas, terjalin dengan cahaya lembut yang menembus jendela besar kafe. Aditya menyaksikannya menghilang ke udara, seperti kekhawatirannya sebelumnya. Aroma kaya kacang yang baru digiling masih melekat, menjadi ikatan sensorik dengan dunia di sekitarnya.
"Kadang-kadang," dia memulai, suaranya berbisik pelan di atas denting porselen di atas meja kayu, "Aku bertanya-tanya apakah selama ini aku salah memandang kehidupan."
Agnes mendongak dari cangkirnya, matanya memantulkan tarian cahaya halus di kedalamannya. "Bagaimana?"
"Sepertinya itu adalah sesuatu yang harus dikelola, dikendalikan." Dia berhenti, menelusuri tepi cangkirnya dengan jari yang berpikir. "Tetapi bersamamu, rasanya lebih seperti...suatu seni. Sesuatu yang liar dan indah---sesuatu yang harus dialami, bukan ditahan."
Bibirnya membentuk senyuman yang menyimpan kebijaksanaan dari kanvas yang tak terhitung jumlahnya. "Hidup *adalah* seni, Aditya. Berantakan, tidak sempurna, dan dapat ditafsirkan. Itu yang membuatnya berharga."
Dia menghela nafas yang tidak dia sadari telah ditahannya, dan dalam embusan napas itu, dia menyerah pada kebenaran kata-katanya. "Aku ingin kita saling menginspirasi, Agnes. Untuk tumbuh, bukan karena hubungan kita, tapi karena hubungan itu."