Mohon tunggu...
Erick M Sila
Erick M Sila Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Menulis adalah mengabadikan diri dalam bentuk yang lain di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Belajar dari Nikmatnya Secangkir Kopi #9

15 Januari 2024   13:30 Diperbarui: 15 Januari 2024   13:46 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ini untuk kita," Agnes menggema, suaranya mantap dan pasti.

Mereka minum, dan pada saat itu, alam semesta tampak berkontraksi hingga tidak ada apa pun selain mereka berdua. Cinta adalah jangkar mereka, kompas mereka, bintang penuntun mereka. Dan seiring dengan lenyapnya tetes-tetes kopi terakhir dari cangkir mereka, keraguan yang masih ada mengenai jalan yang mereka lalui---bersama pun ikut hilang.

Aroma kacang sangrai masih melekat di udara, belaian penciuman familiar yang seolah selalu menggugah renungan terdalam Aditya. Di seberangnya, Agnes membuat sketsa pola kosong di serbetnya, kontur sudut potongan rambut pixie membingkai ekspresi penuh perhatiannya. Kafe sudah sepi, pengunjung asyik dengan dunianya masing-masing---laptop terbuka, earphone terpasang, kopi di tangan.

"Aditya," Agnes memulai, matanya terangkat menatap Aditya dengan intensitas yang sungguh-sungguh, "apa yang kamu lihat ketika membayangkan masa depanmu?"

Jari-jarinya menelusuri tepi cangkirnya yang kosong, menelusuri tepi cangkirnya yang halus saat dia memikirkan pertanyaan itu. "Aku melihat kehidupan di mana setiap hari berarti," katanya perlahan, "di mana tindakan sederhana yaitu bangun tidur saja sudah cukup untuk merasa bersyukur." Dia berhenti sejenak, mempertimbangkan bobot kata-katanya. "Tapi aku juga melihat... kita. Belajar dari satu sama lain, saling menantang."

Agnes tersenyum lembut, tatapannya tak tergoyahkan. "Aku juga menginginkannya. Eksistensi yang dilukis dengan guratan tebal dan garis halus, sebuah mahakarya yang kita ciptakan bersama." Dia mencondongkan tubuh ke depan, kilatan cahaya petualangan menerangi matanya. "Bayangkan tempat-tempat yang bisa kita kunjungi, kanvasnya belum tersentuh warna."

Dia mengangguk, pikirannya bercabang seperti pola rumit seni latte yang mereka berdua kagumi. Tindakan berbagi mimpi itu sendiri merupakan sebuah sentuhan intim pada hubungan mereka---perpaduan halus antara kerentanan dan kekuatan.

"Ayo kita buat perjanjian," saran Aditya sambil mengulurkan tangan ke seberang meja untuk meraih tangannya, merasakan kehangatan kulitnya. "Mari kita berjanji untuk tidak pernah berhenti menjelajah---baik dunia di sekitar kita maupun kedalaman diri kita."

"Kesepakatan." Agnes meremas tangannya, ibu jarinya menelusuri buku-buku jarinya. "Dan mari kita sepakat untuk tidak pernah melupakan passion kita masing-masing. Kecintaanmu pada kopi, karya seniku---itu bukan sekedar minat; tapi merupakan perpanjangan dari siapa kita."

"Sangat." Hatinya membengkak dengan pemahaman bersama bahwa cinta mereka bisa menjadi tempat perlindungan bagi usaha solo mereka. Dalam benaknya, ia membayangkan rumah masa depan mereka, sebuah ruangan yang bergema dengan suara dentingan cangkir dan bisikan kritik, sebuah simfoni harmonis dari pencarian mereka masing-masing.

"Mungkin suatu hari nanti, kita akan punya kafe kecil sendiri," renung Aditya, mimpinya terlukis dengan warna cerah di balik kelopak matanya. "Sudut dunia tempat setiap pengunjung menemukan kenyamanan dalam uap minuman mereka, tempat lukisan Anda menghiasi dinding, menceritakan kisah tanpa kata-kata."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun