BAB 8 : EKSPLORASI
Udara dipenuhi aroma biji panggang saat Raden Aditya Wirawan membuka pintu kedai kopi pertama dalam daftar mereka, sebuah tempat kuno yang terletak di jantung kota yang ramai. Lonceng di atas pintu berdenting, mengumumkan masuknya mereka, dan dia langsung diselimuti kehangatan yang sepertinya merembes dari dinding. Teman-temannya, sekelompok roh yang dia temui sepanjang perjalanan, mengikuti di belakangnya, masing-masing membawa semangat yang mencerminkan keinginannya sendiri.
"Lihat tempat ini," gumam Aditya, matanya mengamati mesin espresso antik yang berkilauan di bawah lampu Edison yang digantung rendah.
“Rasanya seperti kita melangkah mundur ke masa lalu,” salah seorang teman menjawab, suaranya diwarnai kekaguman saat dia menelusuri penggiling kopi kuno.
Aditya mengangguk, merasakan kekerabatan dengan peninggalan masa lalu tersebut. Setiap mesin, setiap peralatan, menceritakan kisah keahlian dan tradisi—sebuah bukti abadinya ritual kopi. Dia mendekati konter, di mana seorang barista dengan tangan cekatan sedang menyiapkan minuman dengan penuh perhatian.
"Selamat pagi! Kami ingin menjelajahi pilihan Anda," kata Aditya, kata-katanya penuh dengan antisipasi akan rasa yang belum teruji yang menanti mereka.
"Tentu saja," jawab sang barista, senyumnya sehangat kopi yang disajikannya. "Jika Anda mencari sesuatu yang unik, bolehkah saya menyarankan asal tunggal kami di Sumatra? Warnanya bersahaja dengan sedikit aroma jeruk."
Teman-teman Aditya berkumpul saat barista memulai proses pembuatan bir dengan hati-hati. Uapnya mengepul dalam bentuk spiral yang lembut, membawa serta janji pengalaman baru. Aditya memperhatikan, tenggelam dalam pikirannya. Setiap tetes kopi bagaikan sebuah momen—sementara, berharga, dan penuh potensi.
"Pikirkanlah," Aditya merenung keras-keras kepada teman-temannya saat mereka meneguk minuman pertama mereka. "Setiap kacang telah melakukan perjalanan sejauh ini, hanya untuk berada di sini bersama kita."
“Berubah oleh panas, air, dan waktu,” teman lainnya menambahkan, mencicipi profil rasa yang bernuansa. "Sepertinya ia menceritakan kisahnya sendiri."
"Tepat sekali," Aditya menyetujui sambil memejamkan mata agar lebih menikmati rasanya. “Kopi lebih dari sekedar minuman; ini adalah sebuah perjalanan. Setiap cangkir adalah cerminan dari tanah, iklim, bahkan impian para petani yang menanamnya.”
Mereka berpindah dari satu toko ke toko lainnya, masing-masing memiliki karakter dan penawaran yang berbeda. Dalam satu produk, mereka menemukan perpaduan yang menghasilkan aroma coklat dan karamel, halus dan nyaman. Di sisi lain, daging panggang yang cerah dan asam menyegarkan indra dan memicu percakapan yang hidup di antara mereka.
“Bukankah menakjubkan bagaimana sesuatu yang sederhana seperti kopi bisa menghubungkan kita?” Aditya merenung, tatapannya beralih ke wajah teman-temannya. “Bukan hanya untuk satu sama lain, tapi untuk dunia yang lebih luas?”
"Benar," salah satu teman menyetujui. “Ini adalah bahasa global, yang dipahami oleh semua orang yang menghargai kedalamannya.”
Seiring berlalunya hari, penjelajahan mereka menjadi lebih dari sekadar tur mencicipi—hal ini berkembang menjadi pencarian pemahaman bersama. Di setiap kafe, di setiap cangkir, Aditya merasakan dunianya meluas, pikirannya semakin dalam. Kopi, dalam berbagai bentuknya, adalah wadah untuk menjalin hubungan, sarana untuk menggali benang-benang tak kasat mata yang mengikat umat manusia menjadi satu.
“Melalui kopi, kita melintasi batas negara tanpa bergerak,” kenang Aditya, hatinya penuh rasa syukur atas minuman yang telah menjadi inspirasi dan jembatannya menuju dunia. “Kita berbagi esensi kehidupan itu sendiri—kompleks, pahit, manis, dan pada akhirnya memperkaya.”
Dia mengangkat cangkirnya sambil bersulang tanpa suara kepada teman-temannya, kepada barista yang membuat setiap minuman dengan cinta, dan kepada tangan-tangan tak terhitung yang telah membawakan kopi ke bibirnya. Pada saat ini, dia menemukan kebenaran yang mendalam—yaitu kebenaran yang mendalami cairan gelap dan pekat yang membuat dunia berada dalam pelukannya yang sederhana.
Dentingan porselen pada kayu menandakan gumaman lirih percakapan saat Raden Aditya Wirawan meletakkan kembali cangkir kopinya ke atas tatakannya. Uap halus menari-nari dari pinggirannya, membawa serta aroma dalam dan bersahaja yang sepertinya selalu menggugah sesuatu dalam dirinya—kerinduan akan pengertian, kehausan akan cita rasa hidup yang tersembunyi.
“Lihat krema yang satu ini,” kata Agnes Ratna Dewi dengan nada gembira sambil mengangkat cangkirnya menghadap cahaya. Matanya, kumpulan rasa ingin tahu, mencerminkan permukaan coklat yang kaya dari espresso-nya.
Aditya mencondongkan tubuh ke depan, mengamati buih emas halus yang menghiasi cairan gelap. "Ini seperti sebuah karya seni," gumamnya, tatapannya melembut saat melihatnya. “Setiap cangkir menceritakan kisahnya sendiri.”
“Seni yang membangkitkan indera,” tambah Lilis Sulastri, senyum hangatnya melengkapi suasana nyaman kafe bertema vintage yang mereka temui. Dia menyesapnya dengan lembut, kelopak matanya berkibar sebagai penghargaan. "Dan setiap tegukan adalah sebuah syair dalam puisinya."
“Puisi yang kita tulis bersama, di sini dan saat ini,” Dinda Pramesti berbicara, nadanya yang kuat dan percaya diri memberikan makna pada kata-katanya. Dia mengangkat cangkirnya, mengakui perjalanan kolektif mereka.
“Namun begitu banyak yang terburu-buru tanpa menikmatinya,” sela Hendrik Wijaya, suaranya yang samar mengisyaratkan bab-bab kebijaksanaan yang tidak tertulis. “Kopi, seperti halnya waktu, harus dihormati.”
Aditya menyaksikan Fajar Kusuma melepaskan tembakan gandanya dengan tegukan cepat, sebuah tindakan yang mengkhianati pertarungan internal antara sifat kompetitifnya dan kerentanan yang dijaga dengan sangat hati-hati.
“Terkadang yang Anda butuhkan adalah kecepatan,” kata Fajar, nyaris membela diri, sebelum ekspresinya melembut. "Tapi menurutku ada gunanya memperlambat juga... untuk merasakan perjalanannya."
Hidup itu bukan hanya tentang garis finis saja, kata Siti Aisyah, perkataannya pelan dan hati-hati, seperti perjalanan waktu itu sendiri. Kehadirannya yang tenang seolah memberkati pertemuan mereka dengan rasa damai.
“Juga bukan semata-mata soal margin keuntungan dan pangsa pasar,” Aditya mendapati dirinya berkata sambil melirik ke arah Rizky Maulana yang duduk mengaduk kopi hitamnya, dengan tatapan penuh perhitungan di matanya. “Ada nilai pada momen-momen ini, melebihi mata uang apa pun.”
“Nilai yang sering disepelekan,” Rizky mengiyakan sambil mengangguk, suaranya yang halus tidak mengkhianati niat sebenarnya. “Namun, investasi kecil dalam pengalaman seperti inilah yang menghasilkan keuntungan paling besar.”
Aditya merenungi perkataan Rizky, mencari kebenaran di dalamnya. Dia menyesap lagi, membiarkan lapisan kompleks kopi terungkap di langit-langit mulutnya—pahit, manis, kuat, dan lembut sekaligus. Dalam permadani cita rasa yang kaya ini, ia merasakan keterhubungan dengan dunia yang lebih luas, dengan jaringan pengalaman manusia yang rumit.
“Jangan lupa di mana semuanya dimulai,” kata Aditya sambil meletakkan kembali cangkirnya. Teman-temannya menoleh padanya, penuh perhatian. “Dengan tanah, hujan, dan tangan yang merawat dan memanen biji kopi. Kita hanya satu perhentian dalam perjalanan kacang ini.”
"Dari tanah ke cangkir kita," Lilis menggema pelan.
"Dan dari cangkir kita ke dalam jiwa kita," Agnes menyimpulkan, nada akhir yang puitis dalam suaranya.
Saat sore menjelang, kelompok tersebut terus melakukan penjelajahan, namun kini lebih dari sekedar kafe dan kopi—ini adalah eksplorasi diri, persahabatan, kehidupan. Dengan setiap langkah, setiap kata, dan setiap tegukan, Aditya merasakan narasi keberadaannya tertulis, satu demi satu momen berharga.
BERSAMBUNG ....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H