Mohon tunggu...
Erick M Sila
Erick M Sila Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Menulis adalah mengabadikan diri dalam bentuk yang lain di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Belajar dari Nikmatnya Secangkir Kopi #8

15 Januari 2024   12:05 Diperbarui: 15 Januari 2024   12:37 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Sohu edit teks pribadi

"Tepat sekali," Aditya menyetujui sambil memejamkan mata agar lebih menikmati rasanya. “Kopi lebih dari sekedar minuman; ini adalah sebuah perjalanan. Setiap cangkir adalah cerminan dari tanah, iklim, bahkan impian para petani yang menanamnya.”

Mereka berpindah dari satu toko ke toko lainnya, masing-masing memiliki karakter dan penawaran yang berbeda. Dalam satu produk, mereka menemukan perpaduan yang menghasilkan aroma coklat dan karamel, halus dan nyaman. Di sisi lain, daging panggang yang cerah dan asam menyegarkan indra dan memicu percakapan yang hidup di antara mereka.

“Bukankah menakjubkan bagaimana sesuatu yang sederhana seperti kopi bisa menghubungkan kita?” Aditya merenung, tatapannya beralih ke wajah teman-temannya. “Bukan hanya untuk satu sama lain, tapi untuk dunia yang lebih luas?”

"Benar," salah satu teman menyetujui. “Ini adalah bahasa global, yang dipahami oleh semua orang yang menghargai kedalamannya.”

Seiring berlalunya hari, penjelajahan mereka menjadi lebih dari sekadar tur mencicipi—hal ini berkembang menjadi pencarian pemahaman bersama. Di setiap kafe, di setiap cangkir, Aditya merasakan dunianya meluas, pikirannya semakin dalam. Kopi, dalam berbagai bentuknya, adalah wadah untuk menjalin hubungan, sarana untuk menggali benang-benang tak kasat mata yang mengikat umat manusia menjadi satu.

“Melalui kopi, kita melintasi batas negara tanpa bergerak,” kenang Aditya, hatinya penuh rasa syukur atas minuman yang telah menjadi inspirasi dan jembatannya menuju dunia. “Kita berbagi esensi kehidupan itu sendiri—kompleks, pahit, manis, dan pada akhirnya memperkaya.”

Dia mengangkat cangkirnya sambil bersulang tanpa suara kepada teman-temannya, kepada barista yang membuat setiap minuman dengan cinta, dan kepada tangan-tangan tak terhitung yang telah membawakan kopi ke bibirnya. Pada saat ini, dia menemukan kebenaran yang mendalam—yaitu kebenaran yang mendalami cairan gelap dan pekat yang membuat dunia berada dalam pelukannya yang sederhana.

Dentingan porselen pada kayu menandakan gumaman lirih percakapan saat Raden Aditya Wirawan meletakkan kembali cangkir kopinya ke atas tatakannya. Uap halus menari-nari dari pinggirannya, membawa serta aroma dalam dan bersahaja yang sepertinya selalu menggugah sesuatu dalam dirinya—kerinduan akan pengertian, kehausan akan cita rasa hidup yang tersembunyi.

“Lihat krema yang satu ini,” kata Agnes Ratna Dewi dengan nada gembira sambil mengangkat cangkirnya menghadap cahaya. Matanya, kumpulan rasa ingin tahu, mencerminkan permukaan coklat yang kaya dari espresso-nya.

Aditya mencondongkan tubuh ke depan, mengamati buih emas halus yang menghiasi cairan gelap. "Ini seperti sebuah karya seni," gumamnya, tatapannya melembut saat melihatnya. “Setiap cangkir menceritakan kisahnya sendiri.”

“Seni yang membangkitkan indera,” tambah Lilis Sulastri, senyum hangatnya melengkapi suasana nyaman kafe bertema vintage yang mereka temui. Dia menyesapnya dengan lembut, kelopak matanya berkibar sebagai penghargaan. "Dan setiap tegukan adalah sebuah syair dalam puisinya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun