“Puisi yang kita tulis bersama, di sini dan saat ini,” Dinda Pramesti berbicara, nadanya yang kuat dan percaya diri memberikan makna pada kata-katanya. Dia mengangkat cangkirnya, mengakui perjalanan kolektif mereka.
“Namun begitu banyak yang terburu-buru tanpa menikmatinya,” sela Hendrik Wijaya, suaranya yang samar mengisyaratkan bab-bab kebijaksanaan yang tidak tertulis. “Kopi, seperti halnya waktu, harus dihormati.”
Aditya menyaksikan Fajar Kusuma melepaskan tembakan gandanya dengan tegukan cepat, sebuah tindakan yang mengkhianati pertarungan internal antara sifat kompetitifnya dan kerentanan yang dijaga dengan sangat hati-hati.
“Terkadang yang Anda butuhkan adalah kecepatan,” kata Fajar, nyaris membela diri, sebelum ekspresinya melembut. "Tapi menurutku ada gunanya memperlambat juga... untuk merasakan perjalanannya."
Hidup itu bukan hanya tentang garis finis saja, kata Siti Aisyah, perkataannya pelan dan hati-hati, seperti perjalanan waktu itu sendiri. Kehadirannya yang tenang seolah memberkati pertemuan mereka dengan rasa damai.
“Juga bukan semata-mata soal margin keuntungan dan pangsa pasar,” Aditya mendapati dirinya berkata sambil melirik ke arah Rizky Maulana yang duduk mengaduk kopi hitamnya, dengan tatapan penuh perhitungan di matanya. “Ada nilai pada momen-momen ini, melebihi mata uang apa pun.”
“Nilai yang sering disepelekan,” Rizky mengiyakan sambil mengangguk, suaranya yang halus tidak mengkhianati niat sebenarnya. “Namun, investasi kecil dalam pengalaman seperti inilah yang menghasilkan keuntungan paling besar.”
Aditya merenungi perkataan Rizky, mencari kebenaran di dalamnya. Dia menyesap lagi, membiarkan lapisan kompleks kopi terungkap di langit-langit mulutnya—pahit, manis, kuat, dan lembut sekaligus. Dalam permadani cita rasa yang kaya ini, ia merasakan keterhubungan dengan dunia yang lebih luas, dengan jaringan pengalaman manusia yang rumit.
“Jangan lupa di mana semuanya dimulai,” kata Aditya sambil meletakkan kembali cangkirnya. Teman-temannya menoleh padanya, penuh perhatian. “Dengan tanah, hujan, dan tangan yang merawat dan memanen biji kopi. Kita hanya satu perhentian dalam perjalanan kacang ini.”
"Dari tanah ke cangkir kita," Lilis menggema pelan.
"Dan dari cangkir kita ke dalam jiwa kita," Agnes menyimpulkan, nada akhir yang puitis dalam suaranya.